Belum lama, peraturan menerobos jalur busway kembali mendapat perhatian warga Ibukota. Jumlah denda yang tak tanggung-tanggung kepada mereka yang menerobos jalur busway adalah faktornya. Kendaraan roda empat atau lebih bakal kena denda Rp1 juta, sedangkan kendaraan roda dua akan dikenakan denda Rp 500 ribu. Jika dikalkulasikan, jumlahnya cukup lumayan untuk membeli bergelas-gelas kopi, tentu saja di warung kopi.
Meski denda baru diberlakukan hari Senin (11/11) kemarin, efek jera nampaknya mulai terlihat. Angkutan Perbatasan Terintegrasi Bus Transjakarta (APTB) jurusan Ciputat-Kota misalnya, bus berwarna biru ini mengalami penghematan waktu tempuh lebih dari setengah jam. Pihak Polda Metro Jaya bahkan menyebut angka penurunan penerbos jalur Busway sekitar 60-70 persen. Skenario ini sengaja dirancang pemda DKI untuk mengurai kemacetan di Ibukota.
”Kalo jalur Trans Jakarta lancar, masak sih pengguna kendaraan pribadi enggak ngiri. Iya nggak, Kang?” ujar Kang Tikno, pedagang bubur langganan saya yang mangkal di Kemandoran, daerah sekitar Rawa Belong, Jakarta Barat. Usai menyajikan bubur, ia kembali duduk di samping saya lalu membolak-balikkan koran pagi langganannya.
“Lah, Kang. Saya malah dengar kalau menyerobot Busway itu katanya merampas hak 60-an orang yang ada dalam Bus. Tapi bukannya jalur Busway juga dulunya merampas hak pengguna jalur utama yang kemudian jalannya jadi sempit?” kata saya penasaran.
“Ndak, Kang. Busway itu kalo yang pernah saya baca ya, kan masuknya itu di jalur hijau ya.. Hehehe.” Kata Kang Tikno meyakinkan.
Hampir setiap pagi saya mampir untuk sarapan bubur Kang Tikno sebelum berangkat menuju kantor. Selain karena kelezatan dan kemurahan buburnya, ada hal lain yang saya tangkap dari Bapak 2 anak ini. Meski keluarganya tinggal di Brebes, ia begitu percaya diri untuk berusaha ‘menaklukkan’ tanah Jakarta.
Kepada saya ia pernah bercerita bagaimana ia pernah kena tipu ketika membuka usahanya di sekitar Kampus Bina Nusantara. Saya sengaja menanyakan kepadanya mengapa tidak jualan di daerah yang lebih ramai saja.
“Beresiko, Kang. Di Binus dulu saya dimintain sama premannya sampe 300 ribu deket ruko yg ada Indomaret. Begitu saya jalanin, pihak ruko ngusir saya. Katanya nggak boleh jualan, padahal saya bilang sudah bayar uang keamanan. Tapi pas saya cari-cari, premannya kabur. Nasib..nasib.” Ucapnya sambil menggelengkan kepala.
Rupanya sepetak gerobak di Jakarta pun bisa mewakili simbol sebuah bingkai untuk memamerkan siapa lebih kuat, siapa lebih hebat, dan siapa lebih berkuasa. Lain hari, Kang Tikno pernah menyarankan kepada saya agar membuka usaha di Jakarta, “Kalau ada uang, Kang. Mending beli tanah di sini lalu bikin kos-kosan, untungnya pasti lumayan.”
**
Leo Tolstoy dalam bukunya Tuan dan Hamba pernah menceritakan tentang petani Rusia yang rela mengorbankan rumah dan hartanya demi sebuah tanah yang baru. Ia rela mengungsi puluhan kilometer karena tanah yang baru itu cukup subur untuk ditanami gandum, sayuran, dan keperluan lainnya.
Setelah menempati tanah barunya, petani ini mendengar lagi kabar bahwa ada lagi tanah yang sangat subur dengan harga yang sangat murah. Syaratnya sederhana, tanah tersebut bisa dikuasai berapa pun ukurannya asal mampu dibuktikan dengan sejauh mana calon pemiliknya lari dari pagi sampai sore. Jika berhasil, tanah seluas itu bisa diklaim pemiliknya.
Disaksikan beberapa orang, petani Rusia ini kemudian berusaha mewujudkan mimpinya, berlari sekuat tenaga mengitari dataran luas di tanah baru tersebut. Meski kakinya sempat terluka, dan hampir saja nafasnya putus, petani ini tak peduli. Yang ada di benaknya hanyalah tanah yang luas. Ia terus berlari hingga matahari akan pulang ke peraduan.
Saksi petani yang berdiri di atas bukit melihat bahwa mimpi si petani telah terwujud untuk memiliki tanah luas, tanah yang diinginkannya. Tatkala matahari terbenam, nafas petani itu habis. Hari menjadi gelap. Ia pun mati di perjalanan. Dengan sedih para saksi kemudian mengatakan, “Ia terlalu bersemangat. Seluas apapun tanah yang ia kehendaki, akhirnya cuma dua meter juga yang dia perlukan.”
Tanah Jakarta setiap tahunnya turun 18 cm, lalu air permukaannya sulit dikendalikan karena gagal diserap tanah. Setiap tahunnya terancam banjir, macetpun masih menjadi rutinitas, dan setiap periodenya juga siapapun pemimpinnya pasti disalahkan.
Kang Tikno dan saya sepertinya sedang berlari mengejar mimpi layaknya petani Rusia itu. Saksinya tentu saja mulai dari kemacetan, banjir, PKL di jalur pedestarian, lampu merah yang mati, pengemis palsu, sampai para pengamen setengah pria setengah wanita di pertigaan.
Musim hujan telah tiba, tepat pada waktunya. Jakarta sudah gelap. Siaran televisi masih memberitakan tentang timnas kita yang baru saja kalah di daratan China. Tentu menyedihkan. Untungnya masih ada segelas kopi. Dan lantunan Iwan Fals pun berhasil menutup hari,
“Jakarta sudah habis. Musim kemarau api. Musim penghujan banjir. Jakarta tidak bersahabat. Api dan airnya bencana.”