Bagi kebanyakan orang, daerah Grogol di Jakarta tidaklah asing untuk didengar. Kesan “gelap dan menyeramkan” pada jaman dahulu lambat laun sedikit terkikis dengan banyaknya pembangunan di kawasan itu. Namun, ikon wilayah seperti terminal dan rumah sakit jiwa masih ada sampai sekarang.
Wilayah yang secara toponimi mempunyai beberapa arti misalnya saja “sungai kecil” yang berasal dari bahasa Sunda atau dari nama tumbuhan Grogolan, sejenis rumput yang banyak tumbuh di daerah tersebut ini makin terkenal karena suatu peristiwa kelam dalam sejarah republik ini. Peristiwa itu adalah peristiwa 12 Mei 1998 yang dikenal dengan nama Tragedi Trisakti.
Tragedi Trisakti
Awal dari tragedi ini adalah demonstrasi mahasiswa yang menuntut Soeharto – presiden RI kala itu – untuk mundur dari jabatannya, karena dianggap tidak mampu menurunkan harga-harga kebutuhan yang melonjak pada tahun 1997. Sebelumnya mahasiswa sudah menutut agar MPR tidak mencalonkan lagi Soeharto sebagai presiden RI, tetapi tuntutan itu tak dihiraukan.
Pada tanggal 12 Mei 1998, mahasiswa Trisakti sebenarnya ingin melakukan demo di depan gedung DPR/MPR tetapi dihadang oleh aparat Polri. Mahasiswa mencoba melakukan negoisasi tetapi tetap diperbolehkan.
Akhirnya pada jam 17.15 WIB, mahasiswa mundur, diikuti majunya para aparat. Tiba-tiba ada beberapa aparat yang kemudian menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Mahasiswa pun panik, bercerai-berai dan sebagian berlindung di Universitas Trisakti. Aparat tetap melakukan penembakan dan akhirnya ada 4 orang mahasiswa yang tewas yaitu Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
Tugu 12 Mei Reformasi
#Ngojak40 dimulai dari sebuah tugu yang berdiri di sebuah taman kecil tepatnya di belokan yang mengarah ke Slipi dari arah Roxy. Tugu dengan tinggi 3 meter dan terbuat dari keramik berwarna hitam ini bertuliskan 12 Mei Reformasi dengan warna abu-abu.
Tugu yang merupakan bentuk permintaan maaf dari pemerintah sekaligus untuk “menolak lupa” tragedi ini diresmikan oleh Plt Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Peresmian tugu ini dilakukan pada tanggal 10 Desember 2014 bertepatan dengan Hari HAM se-dunia dengan disaksikan seluruh keluarga besar civitas akademika Univeristas Trisakti.
Museum Tragedi 12 Mei 1998 Universitas Trisakti
Rombongan #Ngojak40 kemudian mengunjungi Museum Tragedi 12 Mei 1998 Universitas Trisakti yang terletak di lobby Gedung Dr. Syarief Thayeb. Museum yang diresmikan pada tahun 1999 ini dirancang oleh Tim Universitas Trisakti yang diketuai Dr. Ing. Eka Sediadi Rasyad yang pada saat itu menjabat sebagi Dekan FTSP Universitas Trisakti. Museum ini sendiri didirikan dengan visi untuk menjadi sumber informasi dan pengetahuan mengenai Tragedi 12 Mei 1998.
Di museum ini pengunjung bisa mendapatkan informasi lengkap bagaimana peristiwa pada waktu itu terjadi dalam bentuk narasi berdasarkan waktu kejadian beserta dokumentasinya. Hal menarik yang bisa dilihat di museum ini antara lain papan panel yang digunakan untuk mengangkut almarhum mahasiswa yang tertembak serta bukti penembakan berupa lubang di sebuah kaca di salah satu sisi museum.
Museum ini juga berisi barang-brang peninggalan almarhum mahasiswa yang telah tewas, beserta piagam Tanda Kehormatan Bintang Jasa Pratama Presiden Indonesia kepada pahlawan reformasi yang telah gugur. Piagam itu sendiri ditanda tangani oleh presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.
Monumen Reformasi
Monumen ini terletak tepat di depan gedung rektorat Universitas Trisakti. Ketika menuju ke monumen itu, kita bisa menemukan 2 tempat yang diberi tanda khusus. Dua tempat tadi adalah tempat di mana Hafidin Royan dan Hery Hartanto tewas setelah terkena peluru dari aparat.
Monumen Reformasi konon bisa dilihat dari delapan penjuru mata angin dan memiliki beberapa komponen yang memiliki makna mendalam.
- Empat tugu: melambangkan 4 mahasiswa yang gugur dalam tragedi itu
- Ketinggian tugu yang beragam, mulai dari 10-12 meter: melambangkan urutan tanggal menjelang dan terjadinya puncak peristiwa berdarah pada 12 Mei 1998.
- Sisi dari keempat tugu itu terdiri dari lima bidang: melambangkan bulan terjadinya peristiwa itu.
- Batu sebanyak 98 buah yang berada di alas monumen: melambangkan tahun tragedi itu terjadi.
- Lubang di posisi berbeda di masing-masing tugu: menggambarkan posisi lubang peluru yang menembus tubuh keempat mahasiswa Trisakti yang tewas.
Selain itu konon bagian atas tugu yang berbentuk miring juga melambangkan bahwa meskipun orang sudah meninggal, tetapi semangatnya tidak akan hilang dan batu di bagian alas pun bisa melambangkan betapa kacaunya kondisi waktu itu.1
Di samping monumen itu ada sebuah batu dengan prasasti di dalamnya. Isi prasasti itu adalah bentuk dukungan dan penghargaan kepada keempat mahasiswa yang tewas dalam memperjuangkan reformasi pada 12 Mei 1998.
Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan
Di luar konteks reformasi, rombongan #Ngojak40 kemudian bergerak ke salah satu ikon wilayah Grogol yaitu Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan. Rombongan memang tidak bisa masuk karena sesuatu dan lain hal, tetapi banyak hal yang bisa dikulik dari rumah sakit ini.
Rumah sakit jiwa yang terletak di jalan Prof. Dr. Latumenten Nomor 1 Grogol Jakarta Barat ini berdiri berdasarkan keputusan Kerajaan Belanda tertanggal 30 Desember 1865 dan berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 14 April 1867. Namun pembangunannya baru dimulai pada tahun 1876.
Nama rumah sakit ini pun berubah-ubah, sampai akhirnya pada tahun 2002 rumah sakit ini menjadi RS. Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan. Beliau adalah seorang tokoh medis di Indonesia yang dikenal sebagai pionir dalam bidang psikiatri. Beliau juga merupakan dokter spesialis jiwa yang banyak berkontribusi dalam pengembangan layanan kesehatan mental di Indonesia.2
Rumah sakit yang bisa dikatakan rumah sakit tertua ini mempunyai bangunan sekitar 23 ribu meter persegi dan berdiri di tanah seluas 64 ribu meter persegi. Untuk saat ini, rumah sakit jiwa yang berada di sekitar stasiun Grogol ini bisa dikatakan menjadi rumah sakit utama untuk mengobati orang-orang yang mengalami masalah dengan kejiwaannya di daerah Jakarta dan sekitarnya.
Pura Candra Prabha
Bukan Ngojak kalau tidak mengajak peserta membuktikan kalau sebenarnya toleransi itu masih hidup secara nyata di masyarakat. Kali ini rombongan dengan berbekal “membajak” angkutan umum menuju ke salah satu pura yang terletak di Jalan Indraloka Raya No.1 Jelambar, Jakarta Barat.
Pura dengan nama Pura Candra Prabha ini diresmikan oleh Gubernur Jakarta saat itu yaitu Bapak R. Soeprapto pada tanggal 29 Maret 1983. Sampai sekarang pura ini menjadi satu-satunya pura yang ada di wilayah Jakarta Barat. Pura ini menjadi menarik karena di sekitarnya ada gereja dan masjid, sehingga menjadi bukti bahwa keberagaman itu nyata dan patut untuk disyukuri bersama.
Rombongan #Ngojak40 sendiri diterima oleh Bapak Nyoman selaku pemangku adat pura dengan sangat baik. Rombongan diberi informasi dan wawasan tentang agama hindu baik dari ajaran maupun dari tata laksana peribadatan secara sederhana.
Misalnya saja rombongan diminta memakai Senteng (slempot ataupun selendang) yang mempunyai filosofi sebagai pembatas antara bagian manusia yang suci (kepala keatas) dan yang tidak (pinggul kebawah) agar pada saat sembayang tidak memikirkan hal-hal negatif. Sebuah hal yang menarik bagi para peserta.
Seperti biasanya Ngojak selalu memberikan hal baru kepada peserta terutama yang sering mengikuti kegiatannya. Narasumber di luar narasumber intern Ngojak pun sangat kompeten sehingga peserta banyak mendapatkan informasi maupun wawasan yang luar biasa.
Akhir kata, muncul harapan agar Ngojak berikutnya lebih baik lagi, tema dan destinasi tak kalah menarik dari Ngojak edisi-edisi sebelumnya. Harapan lainnya adalah agar komunitas ini bisa menginspirasi banyak orang terutama anak muda untuk lebih mencintai sejarah negeri sendiri. Karena kalau bukan kita, siapa lagi?