Saat hujan turun, kota ini kerap memainkan sisi melankolisnya.
Selain banjir, apa lagi hal yang sering diingat kala mendung menggantung di langit Jakarta?
Hampir tak bisa dibedakan lagi ketika berangkat dan pulang kerja menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan umum, kemacetan bukan lagi momok yang menakutkan, tapi sudah jadi kebiasaan yang sudah tak layak untuk dikutuk dan dikeluhkan. Alih-alih mengumpat, yang ada justru malah membuang hal sia-sia. Apakah dengan mengutuk kemacetan lantas jalanan menjadi lancar seketika? Apalagi saat hujan turun di jam pulang kantor, laju akan terhambat karena banyak pengendara yang berteduh di bawah flyover. Jangan pernah bertanya mengapa mereka tak mempersiapkan diri dengan membawa jas hujan misalnya. Si pengemudi mungkin membawanya, tapi yang menumpang tak mau repot-repot karena tujuan mulanya toh hanya sekadar nebeng.
Ada hal yang dapat dinikmati di Jakarta saat hujan turun. Hujan kerap jadi pertanda apa-apa saja yang sedang dirasakan oleh para penghuninya. Suasananya, rintiknya, aromanya, dari air yang luruh dari langit. Kalau sudah seperti ini, Jakarta terkesan melankolis.
Maka dari kaca jendela sebuah kopaja yang berpacu lambat, bayangkan orang-orang di rumah yang sedang menunggu kehadiran kita. Si kecil yang sedang lucu-lucunya. Senyum merekah anak istri, pun pelukan hangat ayah, juga punggung tangan halusnya ibu yang kita cium bersamaan hidangan istimewa yang ia racik dari bilik dapurnya. Atau sekali dua kali libatkan dan larutlah dalam sebuah obrolan urban di mikrolet yang pintunya tertutup karena air yang kian meninggi. Daerah resapan air di kota ini makin hari kian memburuk. Menurut data BNPB, hanya 15% saja kawasan pemukiman di Jakarta yang wilayahnya membiarkan air hujan jatuh langsung meresap tanah.
Pernah pada suatu sore, saya memerhatikan obrolan ibu-ibu dalam sebuah mikrolet M-09 jurusan Tanah Abang-Kebayoran Lama di kala hujan deras. Satu rombongan keluarga yang saya tafsirkan mewakili tiga generasi: seorang nenek, ibu muda paruh baya, dan seorang anak kecil. Mereka berjejer duduk di dekat sopir. Di sudut paling ujung, ada ibu-ibu berpenampilan agak mencolok, dua-duanya berkacamata dengan ragam aksesoris dan tas bermerek. Sementara di depannya nampak seorang ibu hamil. Kelihatan. Sendirian. Di belakangnya lagi, nampak tiga perempuan dari dua generasi: ibu dan dua anak gadisnya yang terlihat panik karena beberapa kali menanyakan alamat pada sopir. Saya sendiri duduk membelakangi sopir.
“Ibu mau nyobain? Ambil aja nih gak bayar kok,” terang seorang nenek dari keluarga tiga generasi. Rupanya, ibu hamil di hadapannya beberapa kali melirik jambu air yang sedang asyik dimakan cucu si nenek. Dengan malu, ibu hamil tadi sempat menolak walau akhirnya berujung, “Gak apa-apa nih saya minta?”
Lampu merah menghadang perjalanan di persimpangan Halte Trans Jakarta Slipi Petamburan. Satu persatu penumpang lainnya tiba di tempat tujuan. Dua ibu berpenampilan mencolok itu baru saja turun tak jauh dari seberang sebuah masjid yang mengarah menuju stasiun Palmerah. Sembari membuka payung, mereka sempat berdiskusi kecil sebelum membayar.
Klakson mobil di belakang sempat mengundang kemacetan karena dua ibu itu tak ada uang pas, sementara sang sopir punya masalah serupa; tak punya kembalian. Kalau sudah begitu, kepanikan sopir angkot bisa dimaklumi dan jadi jawaban dari pertanyaan lawas, mengapa mereka suka ngetem seenak udel sih? Karena mereka dikejar setoran dan waktu, apalagi jika klakson dari arah belakang makin melengking-lengking. Tak bisa dipungkiri, sulit menerima kenyataan untuk mencegah ruang pribadi dimasuki budaya publik yang tak punya perubahan. Dari dalam mikrolet, ibu yang tengah hamil merogoh kocek dan menemukan empat lembar lima ribuan yang akhirnya ditukarkan pada dua ibu tadi.
Melintas Pasar Palmerah, hujan sudah mulai reda. Gerombolan anak kecil usia sekolah membawa payung menjajakan jasa menghampiri pintu mikrolet. Pak sopir memberhintakan pedagang asongan yang berjalan di depannya untuk memesan dua batang Dji Sam Soe. Laju kembali melambat.
Sepintas kalau dinikmati, hujan di Jakarta selalu mengundang cerita menarik. Bagi adik-adik ojek payung, tentu hujan selalu dinanti. Recehan yang didapat bisa membantu dan meringankan beban hidup orangtua mereka.
Namun ada juga yang suka hujan karena menginspirasi untuk update status media sosialnya. Lantas menjadi penyair membayangkan nasib percintaannya.
Seorang kawan pernah berbagi pengalamannya menyoal hujan, “Aku suka hujan. Tapi pas mau menggalau, eh malah berhenti”.
Jakarta sore ini tetap turun hujan dan pantas dinikmati.