Saya sudah lupa bagaimana meniup lilin di atas kue tar ulang tahun Jakarta yang makin tua. Ah, tapi apakah kota ini masih menyimpan kue tar yang lilinnya kita tiup bersama-sama sambil menyanyikan lagu ulang tahun – hip hip hurray itu? Barangkali kita sudah lupa bagaimana caranya menyulut api kecil yang secara gembira kita tiup habis dengan hembusan angin lembut dari mulut kita. Kita lebih senang mengobarkan api hingga besar dan membakar apa saja yang ingin kita hanguskan.
Api pertama yang kita kobarkan adalah ruang-ruang kosong di atasnya. Rawa-rawa yang dulu tempat air bersembunyi, mula-mula ditutup dengan tanah dan pasir, lalu ditimbun rumah-rumah baru yang tampilannya lebih cemerlang dari rumah yang lebih dulu berdiri di sekitarnya. Orang-orang menyebutnya sebagai sumbatan mewah – karena air tertahan tak mengalir, lalu banjir kerap melanda. Berangsur-angsur membesar dan memanjang. Mulanya sekali setahun, lalu dua kali setahun, hingga sulit lagi dihitung dengan jari dan kapan saja banjir itu ingin datang, makai a datang tanpa harus diundang lagi.
Api kedua adalah gedung-gedung tinggi yang menjulang. Orang-orang kecil itu – yang dulu menjadi penghuni asal kota ini – adalah butiran arangnya yang terbakar hangus. Dulu anak-anak mereka bermain di petak-petak tanah kosong, berlari-lari di jalan dan gang untuk bersembunyi, dan menendang kaleng hingga bunyi berkelontang. Di sana ada butiran kelereng yang menjadi saksi betapa jari jemari mereka terlalu kekar untuk sekadar memencet-mencet tombol Nintendo Switch. Di sana ada kapur-kapur kecil yang sengaja mereka bawa pulang dari kelas sekolah setelah guru-gurunya menulis panjang catatan tentang matematika, Bahasa Indonesia, menulis indah, dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa di papan tulis, lalu mereka balurkan di atas semen untuk melukis garis kotak-kotak untuk bermain taplak – atau engklek.
Api kedua itu membakar hangus rumah mereka. Tidak dengan nyala merahnya, tetapi dengan traktor-traktor besar yang dimulakan dengan amplop dan surat bermaterai. Mereka harus pindah. Rumah-rumah kecil, tanaman, warung, lapangan bulu tangkis tempat berlomba makan kerupuk, harus mereka tinggalkan. Diganti dengan gedung-gedung tinggi yang mencakar langit. Mereka pindah ke pinggiran, tetapi setiap hari pula mereka berziarah ke rumahnya yang dulu itu – yang sekarang berganti menjadi mal, apartemen, dan pusat belanja. Mereka mencari hidup di situ. Sebagian rela membayar sewa ruang kecil 3×2 meter untuk berjualan. Sebagian yang lain mendaftar diri menjadi petugas security yang di-outsourcing dan kapan saja dapat diberhentikan tanpa perlu alasan. Sebagian yang lain lagi mengangsurkan kehidupannya dengan menyewakan helm dan jok motor belakangnya untuk ditumpangi.
Mereka berkumpul lagi di warung kecil – tempat penjualnya bertarung menghidupi diri dengan pisang goreng dan kopi tubruk yang dilebur dengan susu kental manis cap bendera. Mereka tak punya daya untuk membuat dalgona, apalagi membangun merek kenangan dan starbucks. Hanya itu yang mereka bisa. Menjaja apa saja yang masih tersisa dari ruang pengalaman hidup mereka dan menawarkan kesahajaan tempat orang-orang kecil lainnya terbahak-bahak mengomentari tontonan YouTube yang diakses dengan data bonus ala kadarnya.
Meritokrasi memang keparat. Hanya menyudutkan mereka di ruang marjinal yang makin sempit. Di tengah kota yang setiap hari tumbuh dan berkembang ini, mereka terjepit. Sekolah anak-anak makin mahal, sedangkan sekolah biasa-biasa saja tak bisa mendongkrak masa depan menjadi lebih cerah. Sekali-sekali mereka mengintip masa depan lewat layar telepon selulernya yang dibeli secara angsuran itu – berharap anak-anak mereka suatu ketika menjadi artis YouTube, Instagram, atau Facebook. Tapi, apalah daya. Mereka lebih sering menjadi peniru karena kreativitas sudah lebih dahulu dikuasai oleh anak-anak yang dididik di dengan sistem yang brilian: montessori, dalton, atau apalah namanya itu – yang semua istilahnya terasa asing dan baru.
Semakin asyik mereka berselancar di atas telepon selulernya yang mati hidup setiap empat jam karena baterainya bodong, makin terbakar mereka dengan api ketiga. Dunia maya membuat kota ini terasa pengap dan sesak, dan mereka bersenggolan setiap waktu. Bukan hanya di atas kereta komuter, di halte-halte bus, di perempatan jalan, di lampu merah, di tempat-tempat parkir, di pintu masuk Indomaret. Di dunia maya, pikiran mereka juga bersenggolan satu sama lain. Setiap saat telepon berbunyi, notifikasi dari grup WhatsApp: memberitakan pemerintah yang dianggap makin bobrok, menyalahkan orang-orang yang terlalu bising mengkritik, memanggil-manggil makian untuk segera datang meriung, mengagitasi umpatan-umpatan yang sama sekali tak diperlukan.
Mereka bertengkar setiap waktu – pertengkaran yang entah kapan berakhir dan siapa yang jadi pemenangnya, karena memang tak ada aturan, wasit, dan pialanya sama sekali. Tiba-tiba saja, kota sudah disulap berubah oleh kobaran api ketiga yang datang membakar. Mereka yang telah tinggal lebih lama di kota ini, lebih bercucur keringat menempuh jarak setiap sudut kota ini, seperti tak punya saham apapun dalam pembangunan. Suara mereka terbakar senyap – kalah oleh bising politisi dan buzzer yang bertingkah setiap pagi hingga malam. Suara demokrasi itu hanya fatamorgana. Dibeli lewat kartu suara di dalam bilik pencoblosan, lalu dibakar oleh mereka yang sudah terpilih duduk nyaman di atas kursi jabatannya.
Kota ini – Jakarta tercinta – semakin tua saja. Ia mungkin tak lagi butuh kue tar dan lilin yang menyala di setiap ulang tahunnya. Terlalu banyak mulut yang ingin meniup api lilinnya, terlalu buas mulut-mulut yang ingin menyantap kue tar-nya.
Orang-orang kecil lebih baik meminggirkan diri barang sejenak. Jika ada perayaan ulang tahun ini, mari rayakan di pinggir sungai yang memekat – yang dinding sungainya makin galau akan dibeton atau dibiarkan saja dinormalisasi, yang alirannya masih saja tersumbat sampah entah dari mana dan selalu saja dipersalahkan sebagi biang banjir yang sulit sekali surut. Mungkin di situ ada keriuhan lain – keriuhan yang tak padam oleh kerisauan terinfeksi virus corona karena setiap hari mereka meminum jamu, memakan nasi kucing, terhambat urusan KTP dan SIM-nya karena birokrasi yang berbelit-belit lewat kantor ribuan pintu dan meja.
Kota ini – Jakarta tercinta – mudah-mudahan saja makin keladi. Entah mampu atau tidak; di tengah lautan manusia yang mengambil jalan kearifan yang dangkal dan superfisial.
Selamat ulang tahun, Jakarta. Kue tar-mu sepertinya sudah habis. Dimakan kompeni.
Catatan dari negeri kompeni,
untuk ulang tahun tanah betawi tercinta
mudah-mudahan masih 22 juni waktu Rotterdam.