Memaknai Privilese Ibukota

Dibaca normal 3 menit

255 juta jiwa sekian-sekian, saya tak lagi tahu pasti berapa penduduk Indonesia saat ini sejak Bang Rhoma vakum di kancah perdangdutan nasional hingga lebih memilih jalur eksis di dunia politik. Sekitar lima persen menjadi komuterian di Jakarta dari pagi hingga sore hari, dan tinggal tiga persennya saja yang benar-benar menetap, itu pun bukan masyarakat asli Betawi, alias sudah mengalami heterogenitas ras juga etnis.

Sejak awal abad ke-20 dan khususnya setelah Pengakuan Kedaulatan (1949), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi – dalam arti apa pun juga – tinggal sebuah minoritas. Pada tahun 1930 suku Betawi mencakup 36,2% dari jumlah penduduk Jakarta di waktu tersebut. Pada tahun 2000 mereka menjadi 27,6 persen saja. Semakin berkurang hingga tahun ini, terdesak ke pinggir, bahkan ke luar Jakarta.

Menjadi warga Jakarta, sekali pun sebagai pemain baru di arenanya, adalah sebuah kebanggaan bagi sebagian besar penghuninya, semacam golongan orang-orang yang secara tidak langsung memiliki privelese. Siapa yang memberikan? Sadar atau tidak, tentu saja kondisi sosial dan politik negara yang menciptakan. Ada apa-apa di Jakarta, penduduk Mamberamo mesti tahu. Kenapa-kenapa di Jakarta, suku Dayak Punan harus tahu.

Pernah suatu waktu, ketika saya jalan nyubuh di Pasar Besar Pangkalan Kerinci, seorang pedagang nasi lemak perantauan mengoceh mengeluhkan asap yang tiada hentinya melanda Riau beberapa waktu lalu. Anak pedagang ini sudah tak bersekolah tiga hari, sibuk membantu berkedai di Pasar. “Entah asap, entah guru-guru PNS-nya yang malas, padahal kami pun lah diminta uang buku lima ratus ribu semalam, tak ada pun harus diadakan, bila tak ya takut lah anak kami ke sekolah karena guru-gurunya sibuk mengancam nak dibuat nilai buruk kalau tak bayar uang buku. Tolong lah ya kami ini Dek, lapor ke pusat, Adek ini kan di Jakarta”. Saya sontak terdiam.

Bapak penjual nasi lemak, dan mungkin orang-orang daerah luar Jakarta kebanyakan lainnya memiliki anggapan bahwa menjadi warga Ibukota Negara adalah sebuah privilese. Maka berdasarkan pemahaman mereka pula, mestinya Jakartan, dalam artian tak hanya yang menetap tinggal di Jakarta saja, tapi semua yang merasakan kehidupan dan mencari penghidupan di dalamnya, dapat memanfaatkan keberadaan diri sebagai jembatan, mengikis sedikit demi sedikit sekat tembok yang terbangun selama puluhan tahun. Dari hal yang paling tak terlalu muluk, mungkin bisa diawali dengan berhenti membuat status di media sosial tentang pilkada Gubernur DKI Jakarta misalnya, dan mulai menggaungkan sisi positif perkembangan pembangunan infrakstruktur daerah, prestasi bergengsi putra-putri luar Pulau Jawa saat Olympiade Internasional, atau perpustakaan-perpustakaan yang didirikan oleh kepemudaan di desa, dan tentunya masih banyak hal-hal baik yang bisa diketahui dari luar kota gagap metropolitan ini.

Jakarta, Oktober 2016

pemainkata

Warga kota yang menolak dungu dan berharap tak tersesat.

Tinggalkan Balasan