Napak Tilas 27 Tahun Reformasi

Dibaca normal 9 menit

#Ngojak49 ini mungkin merupakan NgoJak edisi terpendek rutenya dan tercepat waktunya. Namun, perjalanan kali ini terasa berarti karena tempat utama yang dikunjungi adalah tempat di mana peristiwa yang terjadi di situ “mungkin” adalah peristiwa sejarah yang tidak akan muncul di buku besar Sejarah Indonesa yang tengah digarap oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) yang ditargetkan rampung dan diluncurkan pada 17 Agustus 2025. Peristiwa itu adalah Tragedi Semanggi I dan II.

Tragedi Semanggi I

Demo Mahasiswa/archipelagoid.com, 2024

Tragedi Semanggi I merupakan peristiwa yang terjadi pada tanggal 11-13 November 1998. Perisitiwa ini merujuk pada dua aksi protes masyarakat dan mahasiswa terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR di awal pemerintahan Presiden BJ Habibie. Mahasiswa dan masyarakat sebenarnya tidak menginginkan BJ Habibie dan para anggota DPR/MPR saat itu, karena dinilai sebagai kepanjangan tangan Orde Baru. Mereka mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.1

Puncaknya, pada November 1998, pemerintahan transisi Indonesia menjadwalkan untuk mengadakan Sidang Istimewa (SI) MPR untuk membahas mengenai pemilihan umum (pemilu) berikutnya serta agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Namun, hal ini ditentang oleh mahasiswa dan masyarakat dengan gencar melakukan demonstrasi memenuhi jalan-jalan Jakarta.

Demonstrasi ini akhirnya berujung pada Tragedi Semanggi I terjadi pada 13 November 1998. Pada sore hari, aparat yang ingin membubarkan massa, menembakkan tembakan membabi-buta sehingga korban pun berjatuhan. Dari data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, ada 17 korban yang jatuh, terdiri dari enam mahasiswa, dua pelajar SMA, dua anggota Polri, satu satpam, empat anggota Pam Swakarsa, dan tiga warga sipil.

Kampus Atma Jaya Jakarta

Kampus Atma Jaya Semanggi/kompas.com, 2024

Salah satu tempat dalam peristiwa Semanggi adalah Kampus Unika Atma Jaya. Kampus yang didirikan oleh Yayasan Atma Jaya pada 1 Juni 1960 ini memang menjadi titik pusat tragedi itu. Unika Atma Jaya sendiri sekarang telah memiliki delapan fakultas dengan 20 program studi untuk program sarjana (S1) dan Program Pasca Sarjana dengan 14 program magister dan menempati 3 kampus yang berbeda, yaitu Kampus 1 di Karet Semanggi, Jakarta Selatan; Kampus 2 di Pluit, Jakarta Utara; dan Kampus 3 di Cisauk, Kab. Tangerang, Banten.

Patung Light of Hope

Patung Light of Hope/Instagram alumni_uaj, 2024

Di salah satu ruang terbuka hijau di kampus Unika Atma Jaya Semanggi terdapat sebuah patung yang diberi nama Light of Hope.  Patung ini sendiri merupakan program kerja Perluni UAJ 2022 – 2025, Bidang Kajian Kebijakan Publik dan dibiayai oleh Yayasan Atma Jaya.

Secara khusus, patung ini didedikasikan kepada Bernardus Realino Norma Irmawan (Wawan), seorang mahasiswa Atma Jaya yang tewas tertembak pada peristiwa Tragedi Semanggi I. Selain ada penghormatan kepadanya dengan menamai sebuah ruang dosen di lantai 5 dengan namanya.2

Patung karya Ibu Dolorosa Sinaga sendiri memperlihatkan seseorang yang sedang berada dalam pelukan ibu dan mendapat dukungan dari teman-temannya. Sebuah symbol dari apa yang terjadi pada Wawan kala itu.

Museum Perjuangan Indonesia

Museum Perjuangan Indonesia/kompas.com, 2025

Museum ini terletak di Lower Ground Lippo Mall Nusantara. Museum yang berbetuk lingkaran dengan air mancur di tengah-tengahnya ini menjadi semacam oase bagi pelestarian sejarah Indonesia. Bagaimana, tidak? Museum ini terletak di antara tenant-tenant yang menjual makanan dan minuman, sehingga pengunjung bisa menikmati hidangan itu dan kemudian mengunjungi tempat ini.3

Museum ini sendiri menampilkan 11 pahlawan Indonesia, yaitu Frans Kaisiepo, Hasyim Ning, Soebianto Djojohadikusumo, Maria Walanda Maramis, W. R Supratman, M. H. Thamrin, R. A. Kartini, Soedirman, Mohammad Hatta, Ir. Soekarno, dan Sabrini Martodihardjo. Serta sebuah panel yang khusus didekasikan kepada pahlawan tidak dikenal, karena tanpa mereka maka kemerdekaan Indonesia pun tidak akan bisa terwujud.

Dengan teknologi LED di masing-masing panel dan di atap museum yang berbentuk melingkar itu, pengunjung dimanjakan dengan tampilan visual yang sangat indah. Terlebih dengan permainan air mancur pada jam-jam tertentu diiringi lagu-lagu nasional dan lagu daerah, museum ini bisa bukti bagaimana sebuah institusi memiliki ide brilian untuk memperkenalkan dan menanamkan kecintaan kepada tanah air kepada orang-orang di sekitarnya.

Masjid Hidayatullah Karet Semanggi

Masjid Hidayatullah/NgoJak, 2017

Tempat terakhir yang dikunjungi #Ngojak49 ini adalah Masjid Hidayatullah. Masjid yang berdiri sejak tahun 1747 ini, memiliki desain yang unik yaitu memiliki desainnya mendapatkan pengaruh dari tiga budaya yaitu Hindu, Tionghoa, dan Betawi.

Atap masjid ini tidak mengikuti kubah mesjid konvensional, tetapi malah seperti atap bangunan arsitektur China, atap perisai yang bertingkat seperti Kelenteng. Budaya Betawi nampak pada kusen pintu dan jendelanya yang dibuat dari kayu.

Interior bangunannya sendiri sangat dipengaruhi plafon gaya bangunan Joglo dari Jawa. Kaso-kaso diekspos seperti jari-jari payung, dengan tiang penyangga seperti pada struktur Soko Guru. Tiang-tiang di ruangan itu diukirkan dekorasi kaligrafi Arab. Sedangkan ciri-ciri ornamen China muncul berupa bunga yang diukir di mimbar masjid.

Masjid yang telah menjadi cagar budaya pada tahun 2001 ini, dulu pernah menjadi markas melawan penjajah Belanda pada masa perjuangan kemerdekaan . Di masjid inilah strategi perjuangan dirumuskan oleh kaum muslim Betawi. Selain itu, ternyata dari masjid inilah pasokan senjata  yang digunakan dalam pertempuran Kerawang – Bekasi yang digambarkan dalam puisi oleh Chairil Anwar, seorang sastrawan Betawi, dikirim.

Hal menarik lainnya adalah sang pemberi wakaf tanah masjid ini. Konon, sang pemberi wakaf tanah yaitu Muhammad Yusuf  yang merupakan keturunan campuran Betawi dan Bugis ini tidak mau dimakamkan di dekat masjid. Seakan beliau ini tidak mau dikenang dan dikultuskan. Sebuah sikap yang luar biasa hebat dan patut ditiru oleh kita bangsa Indonesia.

Setelah mengikuti rangkaian #Ngojak49, kita bisa merenungkan sebuah pendapat dari Ibnu Khaldun seorang cendekiawan terkemuka dari Tunisia yang mengatakan bahwa mempelajari sejarah mempunyai fungsi salah satunya adalah untuk belajar dari kesalahan masa lalu dan mengambil keputusan yang lebih bijak dalam politik, ekonomi, dan kehidupan sehari-hari. Jadi, boleh dikatakan kalau sejarah bukan cuma angka dan peristiwa, tetapi lebih kepada bagaimana kita sebagai manusia belajar dari peristiwa yang telah berlalu untuk diambil hikmah sebagai pembelajaran ke masa depan.

Oleh karena itu, tentu sangatlah picik kalau sekarang ada sekelompok elit yang kemudian berupaya menghilangkan sejarah hanya karena kepentingan kelompoknya. Mungkin mereka menganggap sejarah sebuah aib yang harus disingkirkan, padahal akan lebih bijaksana kalau mereka malah belajar dari sejarah itu. Mereka seharusnya dengan kewenangan yang ada, memperbaiki sejarah dengan mencari kebenaran yang mungkin belum diungkap sebelumnya.

Namun, pada akhirnya ini adalah pola berpikir. Walaupun mungkin orang-orang itu mempunyai jabatan atau mempunyai deretan gelar akademi yang mentereng, tetapi kalau pola pikirnya keliru karena berpikir picik maka apa pun yang diungkapkannya pun akan keliru. Malahan, mereka yang harus belajar kepada kaum awam bagaimana memperlakukan sejarah dengan bijak.

Sumber rujukan:

  1. https://www.kompas.com/stori/read/2022/09/20/130000779/tragedi-semanggi-i-latar-belakang-korban-dan-upaya-penyelesaian
  2. https://www.instagram.com/p/DGdCa5EPmbH/?img_index=1
  3. https://megapolitan.kompas.com/read/2025/02/18/11413871/plaza-semanggi-hadirkan-wajah-baru-kini-dilengkapi-museum-perjuangan-yang#google_vignette

Lestyo Haryanto

Suka baca buku non fiksi....
Suka nonton film (terkadang estafet keluar masuk studio) untuk menghabiskan waktu...

Tinggalkan Balasan