Pijat urut, cetak stempel, dan kunci-kunci yang menggantung, menyambut saya menuju jalur ‘tikus’ a la urban, menemukan kotak sejarah yang kalah mentereng dari Monas atau pun Kota Tua.
Apa yang terlintas di benak Anda jika mendengar Jatinegara? Stasiun, atau pasar batu akik yang beberapa tahun silam sempat nge-hit, atau justru pasar keberadaan hewan? Bagaimana jika kita lekatkan Jatinegara dengan Pecinan?
Selama ini, kawasan Pecinan di Jakarta identik dengan Glodok, Jakarta Pusat. Namun bukti sejarah menunjukkan, Jatinegara— nama yang juga juga diabadikan Ismail Marzuki lewat Juwita Malam—tersebut memiliki sepotong Pecinan.
Saat warga Jakarta kebanyakan sedang merayakan rutinitas hari bebas kendaraan, saya melipir menuju timur ibu kota: keluar dari Stasiun Jatinegara, dilanjutkan berjalan kaki ke sebuah kompleks gedung berwarna dominan putih. Gaya arsitektur lawas menunjukkan zaman yang telah dilalui gedung ini, yang sudah menjadi saksi sejak era kolonial. Bau pesing menguar menusuk hidung, ketika hendak memasuki gerbang dengan papan bertulis gedung eks MAKODIM.
Dari sini, lembar-lembar sejarah Jatinegara mulai terbuka. Gedung ini pun kini diproyeksikan menjadi ala Setu Babakan, di Jakarta Selatan, sebagai kompleks kebudayaan Betawi, dengan tambahan beberapa gedung di halaman belakang. Dulunya, gedung ini merupakan kantor Meester Cornelis Senen, rohaniwan yang mengelola Jatinegara.
Saya melanjutkan perjalanan menuju gang kecil, dihiasi rumah-rumah lawas, lalu menelusup ke “Gang Padang”. Di samping warung penjaja makanan, ada bangunan merah mencolok berhias khas lampion. Wewangian menyeruak, musik nuansa Mandarin membuat saya melepas sepatu, singgah di rumah peribadatan Shia Jin Kong. Ini adalah salah satu dari sekian banyak klenteng yang ada di Jatinegara.
Menurut Reyhan Biadillah, pemerhati sejarah dari komunitas Ngopi Jakarta, klenteng selain sebagai rumah ibadah, juga diyakini menjadi penyerap hawa buruk sha chi. “Di Jatinegara terdapat banyak klenteng atau wihara, ada Wihara Amurvabhumi atau Fu De Gong (Hok Tek Tjeng Sin), Wihara Avalokiteshvara, Klenteng Kwan Im Po Sat, dan Klenteng Shia Jin Kong,” Reyhan bercerita.
Klenteng di Jalan Bekasi Timur IX, Rawa Bunga, Jatinegara, ini dibuka untuk umum sejak 1945. Menariknya, ketika kebanyakan klenteng atau wihara di Indonesia memiliki Kongco (dewa tuan rumah), dewa perdagangan atau perniagaan, Shia Jin Kong justru menjadikan dewa kesehatan sebagai tuan rumah.
Musababnya, rumah ibadah itu terbentuk setelah seorang pengusaha di bidang kesehatan, Thung Djie Hoey, mengubah rumah pribadinya menjadi klenteng. “Kakek moyang saya, Thung Djie Hoy, dulunya adalah seorang sinshe. Sehingga dewa di sini adalah dewa kesehatan,” tutur Chandra Jaya, penjaga Shia jin Kong, Minggu (10/9).
Semasa Orde Baru, ketika represi pemerintah menekan perkembangan ajaran Konfusius, dan melarang hal-hal berbau China, klenteng ini melebur namanya menjadi Wihara Dharma Kumala, yang identik dengan ajaran Budha. Ketika Gus Dur menjabat Presiden, yang membuka keran kebebasan beribadah bagi umat Kong Hu Chu, klenteng ini kembali memakai nama Shia Jin Kong, dengan tidak menghilangkan Dharma Kumala.
Hingga kini, di dalam Shia Jin Kong masih terdapat patung Budha. Teddy yang kini seorang muslim pun, dengan tekun merawat rumah ibadah moyangnya. Toleransi yang teduh ada di tanah bekas hutan jati, ketika yang pura-pura fanatik menyulut para fanatis untuk berteriak meniadakan keberagaman liyan.
Transformasi Meester Cornelis
Jatinegara dulunya merupakan kawasan hutan jati, yang menjadi dugaan asal nama wilayah tersebut. Saat masa penjajahan Belanda, Jatinegara bernama Meester Cornelis, merujuk pada pengelola kawasan ini. Namun saat penjajahan Jepang, nama-nama berbau Barat dan Eropa, diganti, sehingga muncullah Jatinegara.
Cornelis Senen, kelahiran Pulau Lontar, Kepulauan Banda Neira, ketika berusia sembilan tahun (1621), diboyong Jan Pieter Zoon Coen ke Batavia. Ia mengabdi pada VOC sebagai rohaniwan.
“Pada 1635, dia membuka sekolah dan memimpin doa dengan bahasa Melayu di dalam kastil Batavia. Keahliannya dalam bidang agama (Kristen Protestan), bahasa lokal, serta Portugis dan Belanda, membuatnya menjadi salah satu orang terpenting dalam kastil Batavia,” ujar Reyhan.
Ia diganjar gelar Meester, sebagai penghormatan baginya. Meski demikian, ia pernah ditolak saat ujian katekisasi, untuk menjadi calon pendeta pada 1657. Namun justru ia diberi kepercayaan ketika Batavia membuka konsensi lahan di luar kastil Batavia.
Cornelis Senen diberi mandat mengelola hutan jati, sekaligus berkantor di sana mulai tahun 1661. Bahkan di era kekuasaan VOC hingga Hindia Belanda, konsensi hutan jati di tenggara kastil Batavia tersebut diberi nama Meester Cornelis. Kayu-kayu jati dimanfaatkan VOC sebagai bahan baku pembuatan serta perbaikan kapal milik kongsi dagang itu.
Dalam perkembangannya, Meester Cornelis menjadi daerah penyangga Batavia yang memadai, sebuah kabupaten di bawah Karesidenan Batavia. “Secara administratif, Karesidenan Batavia terbagi dalam dua wilayah, Kabupaten (Regentschap atau Afdeeling), yaitu Batavia dan Meester Cornelis,” Reyhan menerangkan.
Meester Cornelis bertransformasi sejak dibuka sebagai lahan konsensi hutan jati menjadi daerah administratif kabupaten yang meliputi wilayah Bekasi dan Cikarang di sisi timur, serta Kebayoran dan Pesanggrahan di sisi selatan. Kini Jatinegara berstatus kecamatan di bawah wilayah administratif Jakarta Timur.
**
Fathurrozak Jek, artikel pertama tayang di Aksara Institute.