Bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 2023, Ngojak kembali mengadakan acara #Ngojak38 dengan tema History of Health In Batavia. Berbeda dengan kegiatan tur sejarah yang lain, Ngojak berusaha melihat Sumpah Pemuda kali ini dari sisi berbeda yaitu dari latar belakang pelaku Sumpah Pemuda yang notabene adalah mahasiswa kedokteran.
Kali ini peserta diajak untuk menelusuri tempat-tempat yang berhubungan dengan “kesehatan”, dalam hal ini adalah beberapa rumah sakit yang ada di daerah Cikini. Tentu tidak lupa dengan penjelasan beberapa tempat bersejarah lainnya yang dilewati.
Gedung Departemen Mikrobiologi FKUI
Tempat pertama yang dikunjungi adalah Gedung Departemen Mikrobiologi FKUI yang tidak jauh dari pintu selatan Stasiun Cikini tempat berkumpul #Ngojak38 kali ini. Gedung yang masuk dalam cagar budaya provinsi DKI Jakarta pada tahun 1993 ini dulunya bernama Laboratorium Bakteriologi Eijkmann Institute.
Gedung ini ternyata berhubungan erat dengan Proklamasi Kemerdekaan RI. Hal ini dikarenakan konon di salah satu ruangan di dalamnya, pernah dipakai menjadi tempat rapat pemuda dalam rangka penculikan Bung Karno ke Rengasdengklok.1 Namun sayang, tidak ada penanda yang pasti di mana ruangan yang dipakai kala itu dan Ngojak pun juga tak bisa masuk ke dalamnya.
Rumah Tinggal Ahmad Soebardjo
Ngojak memang tidak spesifik datang ke tempat ini, tetapi di tengah perjalanan ada informasi-informasi dan semacam diskusi karena rombongan Ngojak sempat melewatinya. Rumah yang berada di Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat ini telah dijual oleh pihak keluarga Ahmad Soebardjo ke pihak swasta setelah Deplu yang pertama kali ditawari, tidak sanggup untuk membelinya.
Konon bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 2.916 meter persegi, dengan luas bangunan 1.676 meter persegi ini adalah Kantor Kemenlu pertama. Saat itu, Ahmad Soebardjo yang menjadi Menteri Luar Negeri memakai rumah pribadinya ini sebagai kantor dikarenakan belum ada gedung yang dipersiapkan oleh negara menjadi kantornya.2
Gedung Bekas Markas Lekra
Tujuan Ngojak berikutnya adalah gedung bekas markas Lekra. Meskipun tidak berada di depan gedungnya langsung, tetapi banyak cerita yang terungkap yaitu masalah Lekra vs Manikebu. Memang pada tahun 1960-an, seniman di Indonesia bisa dikatakan terbagi menjadi dua kelompok besar.
Satu kelompok bernama Lekra yang merupakan singkatan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat dan dekat dengan PKI, sedangkan kelompok yang lain adalah Manikebu yang merupakan singkatan dari Manifes Kebudayaan, yang berdiri menjadi penyeimbang Lekra yang saat itu semakin kuat.
Hal yang membedakan dua kelompok seniman itu adalah cara pandang mereka terhadap seni. Bagi Lekra, seni itu untuk rakyat sehingga seniman Lekra banyak menulis kepahitan hidup rakyat dalam bentuk cerpen dan puisi. Sedangkan bagi seniman Manikebu seni adalah untuk seni yang menegaskan bahwa nilai intrinsik seni harus dipisahkan dan tidak mempunyai tujuan seperti nilai-nilai moral hingga fungsi didaktik (pendidikan, pengajaran).
RSCM Kintani
RSCM Kintani yang berada Jl. Raden Saleh Raya, Cikini adalah bagian dari RSUP Dr Cipto Mangunkusumo yang melakukan pelayanan khusus kesehatan wanita. Pertama kali dipakai setelah pergolakan kemerdekaan pada tahun 1965 dengan nama awal Klinik Raden dan pada tahun 2017 berubah namanya menjadi RSCM Kintani. Rumah sakit ini dulunya adalah rumah sakit dengan nama Princess Margriet Hospital. Rumah sakit ini pernah dipakai sebagai rumah sakit darurat (untuk melakukan pembedahan) pada tahun 1945-1950.
RS PGI Cikini
Rumah sakit yang berganti nama menjadi Primaya Hospital PGI Cikini pada bulan Januari 2022 ini menjadi persinggahan Ngojak berikutnya. Rumah sakit yang masuk cagar budaya provinsi Jakarta ini berdiri di atas lahan seluas sekitar 5,6 hektare. Rumah sakit ini tadinya adalah rumah asli pelukis terkenal Indonesia Raden Saleh.
Raden Saleh sendiri yang merancang rumahnya itu pada tahun 1852, dan menempatinya sampai tahun 1862. Pada Juni 1897, gedung ini dibeli oleh Dominee de Graaf dan istri yang tadinya mendirikan dan menjalankan balai pengobatan di Gang Pool (daerah dekat Istana Negara) pada 1 September 1895.
Konon rumah sakit yang berdiri pada tanggal 12 Januari 1898 di bawah manajemen Vereniging voor Ziekenverpleging Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini ini dikenal juga dengan nama Koningin Emma Ziekenhuis (Rumah Sakit Ratu Emma) sebagai penghormatan kepadanya karena Ratu Emma (ratu Belanda saat itu), memberikan bantuan sebesar 100 ribu gulden untuk membeli rumah dan lahan yang dimiliki Raden Saleh. Pada 1 Agustus 1913, nama RS Ratu Emma berubah menjadi Rumah Sakit Tjikini.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya rumah sakit diserahkan pengelolaannya kepada Prof. Dr. Joedono yang merupakan pimpinan sementara Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI) pada tahun 1957, setelah berganti-ganti kepemilikan karena kondisi perang saat itu.
Ada cerita menarik yang mungkin jarang diungkap terkait sebuah masjid yang ada di kawasan itu. Ketika pemilik baru lahan itu mempermasalahkan, warga memprotesnya. Masalah ini pun menjadi besar dan sampai ke telinga Tjokroaminoto. Dia pun kemudian mengangkat hal itu sampai ke Volksraad, dan berujung pada keputusan masjid itu tetap berdiri dengan Sarekat Islam sebagai penanggung jawabnya.
Hal yang mungkin menjadi perhatian kita semua adalah bahwa sebagai cagar budaya, kondisi bangunan bekas rumah Raden Saleh sangat memprihatinkan. Ada beberapa retakan terutama di pilar-pilar penyangga yang membahayakan bagi pengunjung. Mungkin pihak-pihak terkait perlu dengan cepat melakukan perbaikan.
Stasiun Salemba
Pada perjalanan menuju FKUI Salemba, terdapat bekas bangunan yang tak boleh dilupakan yaitu bekas bangunan Stasiun Salemba. Stasiun yang konon dibangun sekitar tahun 1880-an, atau tidak lama setelah jalur NIS (Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij) membuka jalur kereta api dari Batavia Noord ke Buitenzorg (Bogor).3Peranan stasiun ini sangatlah vital, karena dekat dengan pabrik opium. Namun, stasiun ini akhirnya berhenti beroperasi pada tanggal 2 September 1981 seiring berhentinya pabrik opium beroperasi.
Hal yang sangat disayangkan adalah bangunan stasiun yang berubah fungsi menjadi tempat tinggal. Meskipun masih ada beberapa jejak yang terlihat, tetapi tetap saja kaum awam tidak bisa mendapatkan gambaran bangunannya secara utuh.
Kawasan Kampus Universitas Indonesia Salemba
a. Kompleks Pascasarjana UI
Arkeolog Candrian Attahiyat pernah mengulik bisnis opium di Batavia. Salah satu bukti nyatanya adalah keberadaan pabrik itu di kawasan kompleks Pascasarjana Universitas Indonesia Salemba. Konon pabrik opium Salemba merupakan perwujudan usaha Belanda untuk sepenuhnya memonopoli bisnis opium yang dijalankan oleh perusahaannya yaitu Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM).
Menurut Candrian, NHM adalah inkarnasi VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda). Kalau VOC memonopoli rempah-rempah, NHM memonopoli candu. NHM sendiri menerima hak monopoli candu pada 1 Januari 1827 dan pabrik opium Salemba yang dibuat pada tahun 1894 itu adalah cara NHM untuk memenuhi permintaan opium di Hindia.
Hal menarik dalam bisnis candu ini adalah adanya fakta bahwa setelah kemerdekaan RI, pemerintah Indonesia pernah menjual sebanyak 22 ton candu mentah yang berasal dari pabrik candu di Salemba pada tahun 1948. Menurut buku yang berjudul Organisasi Kementerian Keuangan – Dari Masa Ke Masa (2020) yang diterbitkan Kementerian Keuangan, selain untuk melakukan hubungan ekonomi dengan negara lain, penjualan candu itu juga untuk membentuk dana devisa dari luar negeri untuk membiayai pegawai perwakilan pemerintah RI di beberapa negara dan barter dengan senjata yang diselundupkan ke daerah Republik Indonesia.
b. Fakultas Kedokteran UI
Di kawasan ini, Ngojak juga berkunjung ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang dulu dikenal dengan nama STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen = Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra). Gedung yang menjadi cagar budaya berdasarkan SK Menteri No PM.13/PW.007/MKP/05 ini dibangun tahun 1916 hingga 1920, sebagai pengganti sekolah kedokteran STOVIA sebelumnya yang berada di Museum Kebangkitan Nasional.
Bangunan ini masih terawat dengan baik, bahkan ketika Ngojak mengadakan kunjungan ke sana masih ditemukan kelas dengan kondisi bangku dan peralatan yang masih sama dengan aslinya. Kelas dengan gaya bertingkat sehingga dosen bisa melihat semua mahasiswanya dengan jelas.
Hal lain yang menarik untuk dibicarakan adalah adanya satu tokoh yang patungnya berada di depan gedung fakultas yaitu Abdulrachman Saleh. Mungkin banyak yang heran mengapa patung pahlawan ini ada di sana. Ternyata Abdulrachman Saleh adalah lulusan dari fakultas kedokteran. Tokoh yang lahir di Jakarta pada tanggal 1 Juli 1909 ini memang dikenal memiliki banyak talenta, sebagai dokter, ahli ilmu faal, perintis teknologi radio, dan sekaligus perintis penerbangan Indonesia.
Nama pria yang akrab dipanggil “Karbol” yang merupakan plesetan dari panggilan seorang dosen Belanda kepadanya yaitu “Krullebol” yang mempunyai arti si keriting yang cerdas ini, juga dipakai sebagai nama studio radio fakultas itu. Hal ini tentu tidak mengherankan karena Abdulrachman Saleh juga merupakan salah satu pendiri RRI.
Rumah Sakit St. Carolus
Rumah sakit ini muncul dari ide sejumlah tokoh awam Katolik Batavia di bawah pimpinan Mgr. Edmundus Sybrandus Luypens SJ (Vikaris Apostolis Batavia) pada tahun 1910. Hal ini ditanggapi pada awal tahun 1915 oleh Mdr. Lucia Nolet, pemimpin umum Suster-suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus pada saat itu. Pada tanggal 22 Juni 1918, sepuluh Suster CB berangkat dari dari Negeri Belanda menuju ke Batavia dengan kapal laut dan tiba di Tanjung Priok pada tanggal 7 Oktober 1918.
Gedung yang mulai dibangun pada tahun 1916 akhirnya diresmikan penggunannya pada tanggal 21 Januari 1919 dan diberkati oleh Mgr. E.S Luypen, SJ dengan kapasitas awal sebanyak 40 tempat tidur. Rumah sakit yang awalnya didirikan oleh Perhimpunan St. Carolus (St. Carolus Vereeniging) ini pada tahun 1980 diubah namanya menjadi Pelayanan Kesehatan St. Carolus (disingkat PK St. Carolus, atau PKSC).
Sampai tahun 2023, rumah sakit yang menerima banyak penghargaan ini telah mempunyai gedung pelayanan rawat jalan dengan kapasitas 1.000 orang per hari, dan kapasitas rawat inap sebanyak 275 tempat tidur. Selain fakta bahwa rumah sakit ini dipercaya sebagai rumah sakit pendidikan untuk mendidik dokter dan perawat yang ada.4
#Ngojak38 kali ini mengingatkan kepada kita semua bahwa peristiwa sejarah itu selain bisa dilihat dari peristiwanya itu sendiri, juga bisa dilihat dari tempat dan para pelaku beserta latar belakangnya. Hal itu bisa membuat cara pandang terhadap peristiwa sejarah pun menjadi lengkap.
Selain itu, Ngojak kali ini semakin memperlihatkan bahwa kita sebagai bangsa belum bisa menghargai sejarah dengan banyaknya bangunan sejarah yang terbengkalai tak terawat. Padahal founding father kita pernah mengingatkan agar kita tidak meninggalkan sejarah, karena segala sesuatu memiliki asal mula dan perjalanan suatu sejarah tak akan lekang oleh waktu. Tanpa ada sejarah maka kita tidak akan bisa hidup di kehidupan selanjutnya.
Sumber rujukan:
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190816095936-20-421842/napak-tilas-jejak-proklamasi-kemayoran-hingga-rengasdengklok. Diakses 03 November 2023.
- https://megapolitan.kompas.com/read/2021/04/13/13350401/rumah-menlu-pertama-ri-achmad-soebardjo-dijual-rp-400-m-sudah-ada-yang?page=all. Diakses 03 November 2023.
- https://redigest.web.id/2017/02/menguak-stasiun-salemba-sentral-jalur. Diakses 03 November 2023.
- https://www.hidupkatolik.com/2022/07/26/62681/rumah-sakit-st-carolus-terus-berjuang-keras-dan-bertahan.php. Diakses 03 November 2023.