Photo by Markus Spiske
//

Sepakbola dan Ketakutan(-ketakutannya)

Dibaca normal 3 menit

Tentu saja, saya akan mengawali tulisan saya kali ini dengan mengucapkan selamat kepada kota yang pernah dan akan selalu saya cintai, Bandung. Selamat karena Persib berhasil keluar menjadi juara dalam Final Piala Presiden. Namun, tak akan pernah ada ucapan selamat bagi para suporter pertandingan tersebut yang akhirnya harus ditahan oleh pihak kepolisian.

Untuk saya, itu bukanlah hal yang perlu diucapkan selamat. Sepakbola, bagi saya, adalah sarana hiburan dan sportivitas yang paling tinggi. Bagaimana tidak, untuk sebuah pertandingan final di Gelora Bung Karno semalam, setidaknya lebih dari 80 ribu pentonton yang hadir secara langsung. Belum lagi yang sedang dalam perjalanan dan mendengarkan pertandingan atau yang sedang sibuk menyantap makan malam sembari menghadapkan kepalanya ke layar kaca.

Kini terbayang sudah, untuk sebuah pertandingan tersebut, berapa banyak mata yang menyaksikan?

Dan apakah Anda sadar, berapa banyak orang yang justru merasa tertekan akibat adanya pertandingan tersebut?

Ah, ya, saya masih teringat ketika dalam perjalanan ke Jakarta semasa masih berkuliah di Bandung, saya mendapat telepon dari teman saya. “Kamu jangan keluar dari kos,” katanya. Saya hanya tertawa kecil. Saya pikir itu nasihat agar saya dapat menghindari geng motor.

“Bukan! Penonton Persib lagi mecahin kaca dan nendang mobil.”

Motor saya berplat Jakarta. Sedikit was-was, saya mengabarkan kepada teman saya bahwa saya akan berada di Jakarta. Dia pun bernapas lega. Setidaknya temannya yang satu ini tak akan bernasib malang karena mengendarai motornya yang berplat Jakarta di tengah lautan pendukung Persib.

Beda cerita dengan teman saya satu lagi. Dia akan menuju Jalan Merdeka, Bandung, untuk talkshow penulis. Alhasil, dia harus kembali ke Jakarta dengan mobil yang penyok di bagian belakang. Katanya, ada motor yang sedang sengaja menabraknya dan meneriakinya dengan kata-kata yang tidak pantas. Yang lebih memalukannya lagi, si pelaku justru masih menggunakan seragam klub sepakbola yang dicintainya itu.

Muncul ketakutan-ketakutan ketika sepakbola di Indonesia, khususnya di Jakarta dan Bandung, bergulir. Bahkan Ibu saya pun sampai berujar,”ngapain ada sepakbola lagi? Nanti malah merusak mobil orang dan jadi keributan.” Saya tak senada dengan beliau. Namun, saya pun tak mau sampai ada orang yang merasa ketakutan, terancam, atau bahkan bergidik hanya karena sebuah pertandingan diselenggarakan.

Lantas, sepakbola masa kini bukan lagi sekadar hiburan semata? Ada ketakutan yang tercipta di dalamnya. Sepakbola tak lagi seperti sesuatu yang saya kenal. Tak lagi ada fair play yang bisa diejawantahkan oleh para penontonnya.

Tinggalkan Balasan