Senandung pujian bergema lewat corong pengeras suara. Iringan rebana membuat malam di Condet begitu panjang. Para jemaah makin hanyut ketika tiba pada syair ‘mahalul qiyam’. Mereka berdiri seraya membaca, “Ya Nabi Salam Alaika, Ya Rasul Salam Alaika, Ya Habib Salam Alaika, Shalawatullah Alaika”. Di sudut lain, beberapa jamaah nampak menangis, seakan merasakan kehadiran Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam.
Dari pinggir warung nasi yang ada di seberang masjid, antrian yang menahan lapar mulai menjalar. Diselingi deru dan bising kendaraan yang lalu lalang, nasi putih dengan bebek goreng sebagai menu andalan. Empat deretan bangku plastik masih diduduki yang entah siapa dan dari mana. Dalam situasi seperti ini, kadang kenikmatan tergadai dengan rasa tak enak lainnya karena sebuah kursi duduk giliran. Tapi urusan perut bisa saja membuat segalanya menjadi khilaf.
Warung nasi bebek tersebut hanya sebagian bagaimana warna warni kecil bisa hadir di sepanjang Jalan Raya Condet. Nuansa Timur Tengah justru lebih dominan, mulai dari martabak, nasi kebuli, sate, bakhour, parfum, obat-obatan herbal, hingga busana muslim dan air zam-zam. Menurut catatan, banyaknya hunian bernuansa Arab di Condet karena perpindahan komunitas Arab yang mulanya tergusur di daerah Pekojan, Krukut, dan Tanah Abang.

Jauh sebelumnya, kota-kota pelabuhan seperti Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, dan Surabaya memang menjadi tujuan perniagaan para pendatang dari Arab. Sebagian dari mereka berasal dari Hadramaut, sebuah provinsi di Yaman Selatan. Ada juga yang berasal Hijaz dan Mesir. Efek transaksi dengan penduduk lokal menyebabkan lahirnya akulturasi budaya, baik sebagai pedagang maupun pendakwah yang akhirnya bisa diterima dengan baik hingga jauh menciptakan generasi baru lewat proses perkawinan. Hal yang sedikit dilakukan para pendatang dari Eropa.
Di Jakarta, proses pembauran dengan penduduk lokal bisa terlihat dari gaya berpakaian dan tradisi yang berkembang. Musik marawis misalnya yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan sebagai budaya khas Betawi.
Kubuka jendela, sapa angin pagi. Ringan kau melangkah songsong hidup ini.
Hela lenguh lembu. Halau burung burung. Bocah tawa riang, canda di kali yang jernih.
Bagi penggemar Iwan Fals, nama Condet memang tidak begitu asing. Condet merupakan salah satu judul lagu yang ia lantukan pada album Swami yang dirilis tahun 1989 silam. Iwan juga sempat tinggal di Condet beberapa tahun sebelum akhirnya pindah ke Leuwinanggung, sebuah desa kecil di pinggiran Depok, -dulu masuk wilayah Bogor-.
Condet, sebagaimana dilantunkan Iwan Fals merupakan sebuah kawasan perkebunan dan pertanian yang dikelilingi pohon rindang, juga pesawahan yang menghidupi penghuninya. Sungai Ciliwung yang masih jernih juga tergambar jelas di lirik lagu tersebut.
Seiring waktu, Condet kemudian berkembang pesat dari kawasan perkebunan dan pertanian menjadi kawasan hunian padat. Satu penyebabnya adalah tidak berjalannya Surat Keputusan Gubernur di masa Ali Sadikin tahun 1975. Dalam SK tersebut, Condet ditetapkan menjadi kawasan cagar budaya Betawi. “Tapi pas ke sininya, SK itu mandek, gak dijalanin lagi ame gubernur berikutnye,” ujar Iwan Setiawan, pengurus Yayasan Cagar Budaya Betawi Condet. Ia lantas membeberkan bahwa ada SK Gubernur tahun 2000, yang dianggapnya sebagai SK peralihan cagar cudaya Betawi dari Condet ke Setu Babakan. “Ini kaya nyakitin hati orang Condet, padahal budaya Betawi di sini belon punah.”
Tak jauh dari Jalan Raya Condet, sebuah hutan rindang seluas 3 hektar begitu memanjakan mata. Hutan tersebut dikelola Pemerintah Daerah DKI dengan sebutan Cagar Buah Condet yang dibuka tahun 2006 silam. Kawasan ini banyak ditanami buah-buahan khas Condet tempo dulu, mulai dari salak, nangka, kecapi, dan dukuh. Warga Condet kala itu rela tanahnya dibeli Pemda agar anak cucunya bisa melihat buah-buahan asli Condet, terutama Salak Condet sebagai salah satu ikon Jakarta hingga kini.

Cagar Buah Condet yang ada di Balekembang dipandang Iwan mulanya sebagai hal buat ‘nyenengin warga aje’. Padahal menurutnya, kalau budaya dipindah harusnya semua penghuninya juga dipindah. “Karena itulah sesuai SK Gubernur nomor 646 yang baru, yayasan ini kita dirikan untuk mengawal,” terang Iwan yang kini giat mengadakan pagelaran budaya Betawi secara rutin seperti Festival Condet. SK bernomor 646 tahun 2016 sendiri menetapkan Condet, termasuk Rumah Tanjung Oost atau Villa Nova, sebagai kawasan cagar budaya dan destinasi wisata.

Condet begitu menyimpan catatan sejarah panjang. Makam Ki Tua yang ditaksir berusia tujuh ribu tahun di pinggiran Ciliwung, Rumah Tua Mujitaba, legenda Entong Gendut yang heroik melawan Belanda, juga kemasyhurannya sebagai Kampung Arab menjadikannya sebagai wajah Jakarta yang unik dan nyentrik. “Siapa aja bisa jadi orang Condet asalkan tinggal di Condet,” ujar Achmad Syairozi, tokoh muda yang aktif di organisasi Nahdhlatul Ulama Jakarta. Keterbukaan penduduk Condet terhadap pendatang rupanya menciptakan varian kultur dan budaya. Condet telah menyusun sejarah masa lalunya dalam suatu kerangka kronologis. Namun tetap menjaga unsur-unsur lokal yang telah bertahan.
Di era 80-an, saat kawasan Condet banyak hunian penampungan Tenaga Kerja Indonesia, sebuah pameo cukup popular beredar. Para tenaga kerja yang mengadu nasib di Timur Tengah kerap ditanya identitasnya, “Dari Indonesia? Tinggal di sebelah mananya Condet?”