/

Bubur Ase yang Semakin Langka di Tanah Asalnya

Dibaca normal 7 menit

Menyantap Bubur Ase bukan sekadar mengisi perut atau memanjakan lidah, ada cerita di balik setiap sendokannya. 

Selama ini saya gemar menikmati Bubur Cianjur. Bubur yang lembut berpadu dengan aneka topping nan menggiurkan, diantaranya suwiran ayam, potongan cakwe hingga remahan kerupuk.

Tak lupa kecap dan sambal yang semakin menggugah selera. Bagaimana dengan Bubur Ase?

Saya  belum pernah mendengar nama makanan itu, apalagi membayangkan rasanya. Hingga pada 15 Juli 2018 lalu saya mengikuti #Ngojak15 dengan tema Tanah Abang; Punya Cara dan Cerita. Ngopi Jakarta yang dikenal dengan NgoJak adalah komunitas pegiat apresiasi sejarah dan budaya.

Tanah Abang yang identik dengan kemacetan dan keramaian ternyata menyimpan kisah yang tak habis diulas. Betawi menjadi basis Tanah Abang.

Budaya warga asli Jakarta tersebut hidup berdampingan dengan budaya Arab dan Tionghoa serta budaya kaum pendatang lainnya. Tanah Abang, destinasi belanja itu kini menawarkan pesona yang tak sabar untuk segera diulik.

Sekitar 40 peserta #Ngojak15 dengan tertib menyusuri gang demi gang. Bubur Ase Ci Elis menjadi tujuan pertama kami selain tujuan lainnya, seperti Masjid Al-Makmur dan Klenteng Hok Tek Ceng Sin.

Deretan rumah yang tergolong padat menjadi pemandangan kami pagi itu. Senyum dan tatapan warga setempat seolah menyiratkan pertanyaan, “hendak ke mana rombongan yang terlihat mengular ini?.”

Tibalah kami di kedai bertenda biru. Ditemani menantunya, Ci Elis melayani kami sambil sesekali berkisah.

Ci Elis berusaha melestarikan Bubur Ase, masakan khas Betawi. (foto dokumentasi pribadi)
Ci Elis berusaha melestarikan Bubur Ase, masakan khas Betawi. (foto dokumentasi pribadi)

Lies Mulyani yang akrab disapa Ci Elis berjualan Bubur Ase sejak tahun 2001. Usaha yang diawali keterpaksaan itu kini nyaman dijalani perempuan berusia 56 tahun tersebut. K

emampuan membuat Bubur Ase diperoleh Ci Elis dari nenek suaminya. “Saya melestarikan warisan mertua untuk menjaga tradisi Bubur Ase,” kata Ci Elis yang tinggal di Tanah Abang sejak tahun 1978.

Sebagian orang termasuk saya masih asing dengan Bubur Ase, bubur legendaris khas Betawi. Dinamakan Ase yang merupakan kepanjangan dari asinan semur.

Bubur Ase tidak seperti bubur yang biasa ditemui pada umumnya. Meskipun bahan dasarnya sama dengan bubur kebanyakan, kita tidak akan menemui suwiran ayam pada Bubur Ase. Kuahnya juga bukan kuah santan kuning, melainkan berwarna gelap. Pasalnya Bubur Ase menggunakan kuah semur daging sapi dan tahu.

Uniknya Bubur Ase menempatkan asinan sebagai pelengkap. Asinannya khas Betawi, terdiri dari tauge, lobak, dan sawi asin. Kuah Ase berisi tahu dan kentang. Taburan kacang kedelai dan kerupuk merah menambah rasa gurih. Kalian penggemar pedas bisa menuangkan sambal encer.

Ci Elis yang asli Banten tapi lahir di Jakarta itu menyampaikan, Bubur Ase dinikmati dengan pendamping sate kikil sapi dan kikil kambing. “Asinan bikin sendiri, kalau beli tidak enak,” tutur Ci Elis, ibu dua anak dan nenek lima cucu. Ci Elis mulai memasak Bubur Ase yang akan dijual esok pagi sejak sore hari. Ia menilai cara tersebut bisa membuat kuah meresap. Sementara itu bahan lainnya disiapkan jam 3 pagi, beberapa jam sebelum Ci Elis membuka kedainya.

Ci Elis menandaskan, pembeda Bubur Ase dan bubur pada umumnya adalah kuah dengan daging sapi dan iga kambing dan topping asinan. Tanpa asinan, Bubur Ase tidak ada bedanya dengan bubur kebanyakan.

Penikmat Bubur Ase tidak hanya berasal dari warga di sekitar Tanah Abang, juga wilayah lainnya seperti Ciledug, Jombang, Pondok Gede, dan Bekasi. Mereka dahulu tinggal bersama orangtua dan menghabiskan masa kecil di Tanah Abang.

Setelah menikah atau kondisi tertentu, mereka berpindah tempat tinggal. Orang-orang yang tidak lagi tinggal di Tanah Abang itu seolah pulang kampung.

Mereka rela datang dari jauh ke kedai Ci Elis sekadar melahap Bubur Ase yang mengingatkan akan kampungnya. “Pelanggan yang sudah akrab sejak dulu dengan Bubur Ase naik kereta untuk sampai ke sini,” ujar Ci Elis yang ogah dipanggil mpok.

Pahlawan Kuliner

Ci Elis berjualan dari hari Selasa sampai Minggu. Hari Senin kedainya tutup. Sebaiknya kalian tiba sebelum jam 8 pagi.  Di atas jam itu Bubur Ase telah tandas terjual.

Satu porsi Bubur Ase dijual dengan harga Rp 10 ribu. Sementara itu sate dijual dengan harga Rp 2 ribu per tusuk. “Bubur Ase memang seperti ini dari dulunya,” tutur Ci Elis yang berencana mewariskan usaha kepada menantunya.

Selain Ci Elis, ada pula penjual Bubur Ase di Kebon Kacang. Ci Elis dan penjual Bubur Ase lainnya layak disebut pahlawan kuliner. Mereka berusaha melestarikan masakan khas Betawi tersebut.

Penjual Bubur Ase yang tak banyak membuat makanan tersebut jarang ditemui. Hal itu menyebabkan masyarakat kurang mengetahui kuliner khas Betawi tersebut.

Agar tidak punah, Bubur Ase harus terus diupayakan keberadaannya. Berbeda dengan jaman sekarang, Bubur Ase mudah ditemui pada 1980-an. Dulunya bubur ini dijual keliling dengan cara dipanggul.

Menurut saya Bubur Ase itu kaya rasa. Bubur ini unik karena mengkombinasikan beberapa jenis makanan. Asinan yang segar dicampur dengan bubur yang lembek dengan banyak kuah.

Selain itu Bubur Ase mengandung gizi yang lengkap, yakni karbohidrat, protein pada tahu dan daging, dan serat pada sayuran. Paket lengkap yang dibutuhkan tubuh apalagi Bubur Ase dikonsumsi di pagi hari yang bisa menunjang aktivitas sepanjang hari.

Dibandingkan bubur khas Cianjur yang biasa ditemui bahkan hingga ke pelosok kampung, Bubur Ase boleh dikatakan kurang populer bahkan nyaris punah.

Diharapkan terjadi penurunan keahlian yang dilakukan dengan sadar oleh orang yang bisa kepada orang yang ingin bisa dan ingin tahu. Kalian juga ingin mencicipi Bubur Ase?

Tak perlu khawatir tersesat sebab Bubur Ase Ci Elis telah tercatat di Google Map. Menikmati Bubur Ase adalah salah satu upaya kalian menyelamatkan kuliner lokal Betawi ini dari kemusnahan.

Bubur Ase Ci Elis

Gang At-Taqwa No. 27, RT 9/RW17,

Kebon Melati, Tanah Abang,

Jakarta Pusat 10230

**

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan Kompasiana pada 2 Agustu 2018 dengan judul yang sama.

Ignasia

Saya Ignas, hobi membaca. Saya senang mengeksplorasi kota untuk mendapatkan hal yang tidak ada dalam buku.

Tinggalkan Balasan