/

Bersenyawa dengan Pedagang-pedagang Malam

Dibaca normal 9 menit
1

Menziarahi kota dengan ‘navigasi’ yang jelas menghantarkan perasaan senang juga takjub. Kota, dengan tampilan ke-desa-desa-an menjadi sisi lain yang unik di tengah mall-mall dan gedung-gedung tinggi menjulang.

Keunikan itu hadir bukan dari acara yang diisi oleh artis-artis ibu kota atau ibu-ibu sosialita yang bergaya lenggang lenggok di sudut-sudut kota, melainkan kota yang serius merawat “kesemerawutan” lokalitas suatu tempat. Pendek kata, kota yang merawat ke-tradisional-an suatu objek akan menjadi destinasi yang menarik bagi para pengunjung.

Suatu malam yang dingin itu, kami menjelajahi sisi Barat Kota Tangerang dari tempat saya bermukim saat ini. Tempat itu tidak lain adalah pasar. Ya, tempat yang saya jelajahi bersama teman-teman itu adalah Pasar Lama Tangerang. Pasar Lama yang dipenuhi kuliner, cemilan dan jajanan tersedia pada malam hari saja. Menurut teman sekaligus saya menyebutnya local guide, tempat-tempat yang asik dan ramai dikunjungi oleh pengunjung. Ya, Pasar Lama Tangerang jika pada waktu subuh sampai siang hari menjadi rujukan warga Tangerang untuk jual-beli dagangan. Secara tidak langsung, di Pasar Lama geliat perekonomian sangat terasa. Pagi, siang, sore dan bahkan malam hari pun masih ramai dari aktivitas jual-beli.

Pasar Lama merupakan pasar rakyat warga Kota Tangerang. Yang berlokasi di pusat Kota Tangerang. Letaknya di dekat jalan Kisamaun, yang merupakan salah satu pecinan di Tangerang. Selain itu, seperti dilansir dari sumber tepercaya, di lokasi ini tidak hanya berdiri pasar saja, tetapi ada Vihara Boen Tek Bio atau Padumutara, di mana salah satu pendirinya berasal dari Tionghoa. Vihara itu merupakan bangunan tertua yang menjadi tonggak sejarah berdirinya Kota Tangerang.

Di Pasar Lama Tangerang ini, kami berwisata malam, bersatu dengan yang lain, bersua antara pedagang dan pembeli. Letaknya tidak jauh dengan Masjid Tangerang (jika tak salah sebut) dan berseberangan dengan Stasiun Tangerang. Kami berlima (saya, Ella, Ribka, Yogilan dan Budi) tidak langsung memesan makanan. Kami mengawali penelusuran dari depan gapura masuk Pasar Lama Tangerang dan memastikan bahwa pandangan ini tidak meninggalkan secuil lapak pedagang sekalipun. Rupanya kami memiliki visi yang sama. Kami menyakini dengan berjalan kaki dari hulu ke hilir itu membuat perut kosong dan siap diisi berbagai macam kuliner malam.

Dari bangunan yang serupa gapura berdiri tegak itu kami mengamati setiap sudut pasar itu. Tulisan yang tertera di gapura masuk Pasar Lama Tangerang itu tak dapat saya eja. Entah ucapan “Selamat Datang di Kota Tangerang” atau kata “Pasar Lama Tangerang Tempat Kuliner Malam”. Yang jelas, gapura itu berposisi menghadap searah pada posisi saya berdiri dan melihat.

Saat itu juga, pandangan saya alihkan di sudut-sudut lapak dagangan penjaja kuliner itu. Barangkali ada panganan yang recomended untuk lidah orang jawa seperti saya ini. Mata memandang silih berganti; sisi kanan dan sisi kiri. Di sisi sebelah kiri kami berjalan, ada toko bunga yang menjual bunga-bunga sedap malam dan bunga-bunga jenis lain. Sambil berjalan, Ribka bercerita tentang kesukaannya dan ibu rutin membeli bunga-bunga itu, yang kemudian dipasang di pas bunga rumahnya.

Keramaian dan keceriaan antara pedagang dan pembeli pun mulai terasa. Kehangatan antarpedagang dan pembeli juga terjalin. Hilir mudik para pengguna jalan dan para pencari kuliner pun bersatu. Jalan-jalan terlihat tersendat-sendat. Tiba-tiba pandangan saya terfokus pada pedagang yang usianya udah mulai uzur, yang entah ia menjajakan panganan seperti gado-gado atau atau kerak terlur Betawi. Ia menjajakan dagangan dengan cara memanggul. Usia kakek itu kisaran lebih 60 sampai 70 tahunan. Namun semangat mencari rezeki untuk keluarga di rumah tidak pernah padam. Hidup memang terus bergerak, berdoa dan berusaha.

Kami datang ke Pasar Lama Tangerang itu selain menikmati suasana malam, juga menikmati jajanan dan kuliner ria. Hidup di kota jika ingin berkuliner itu tidak harus makan di mall-mall besar. Di angkringan yang bertempat di atas trotoar toko warga juga memiliki sensasi tersendiri untuk melunasi nafsu makan itu.

Ditambah lagi suasana penuh keakraban riuh rendah suara penjual dengan penggorengan yang khas menimbulkan nasi usus (perut) meronta untuk segera dilayani. Di sisi lain, gesekan penuh ritmis nan romantis dari suara gitar dan pengamen menjadikan suasana jadi penuh keceriaan dan hati terhibur. Yogilan—salah satu teman sekaligus yang saya sebut local guide tadi—sampai terbawa arus para pengamen itu. Ia merekam dari setiap petikkan penuh ritmis seorang pengamen dengan wajah gembira. Tak hanya itu, saking senangnya dengan lagu tersebut, ia merogoh uang dengan nominal lumayan besar untuk pengamen yang suara merdu itu.

Ribka, salah satu teman sudah terlalu sering menikmati malam dan berkuliner bersama orang tuanya itu memberi tahu bahwa sebagian besar para pengamen yang mengadu nasibnya di Pasar Lama Tangerang ini memiliki suara-suara merdu dan renyah didengar sekaligus pelipur lara pada kejamnya hidup di kota besar ini.

Saya sendiri menikmati suara itu sambil mengunyah seporsi lalapan bebek goreng dari angkringan yang entah saya lupa namanya, yang baru saja diantar oleh pelayan. Seporsi lalapan bebek goreng itu terlalu besar untuk saya nikmati seorang diri. Seporsi bebek goreng itu saya nikmati berdua bareng kekasih hati. Suasana penuh berubah jadi romantis penuh syahdu. Dunia ibarat milik berdua, yang lain ‘mah ngontrak. (Eiits para jomblo jangan baper ya. Hehehe). Entah karena menunya yang enak atau makan seporsi berdua, nafsu makan pun bertambah, sampai-sampai satu porsi nasi putih pun tandas tak tersisa dan tambah lagi.

Sekitar setengah jam menu malam itu tandas tak tersisa. Hanya menyisakan tulang belulang. Budi, salah satu teman yang sampai menikmati menu malam itu sampai berkeringat. Ia menyerah dan tidak mampu menunya yang tinggal Tahu dan Tempe goreng. Sebelum berangkat, kami sebenarnya sudah diwanti-wanti untuk mengosongkan isi perut supaya bisa berkuliner dengan sepuasnya.

Para pengamen itu silih berganti menghibur suasana malam itu. Tak terasa kami berpindah ke tempat jajanan asli Kota Semarang, yakni Lekker Semarang. Panganan tradisional itu menjadi tujuan kami berikutnya sekaligus jadi menu dessert malam itu. Sebelah kiri dari tempat saya mengambil gambar aktivitas penjual Lekker Semarang itu, Budi memesan Jus Buah. Saya tak begitu mengikuti gerak-gerik Budi. Mata kamera Handphone itu terus mengarah pada gerakan penjual Lakker yang aslinya dari Bogor. Penjual/ pembuat Lekker itu bilang bahwa ia menjual barang dagangan itu milik bos-nya yang asli wong Semarang.

Kami menikmati kuliner ini sebagian dari bersenyawa dengan pedagang-pedagang yang men-dasar-kan (baca; membuka) barang dagangan pada malam hari. Kenapa bersenyawa? Menurut KBBI Online bersenyawa artinya adalah menjadi satu dan tak terpisahkan. Kami bersatu dan bercengkerama dengan para penjaja panganan itu. Kami tak terpisah, sebab kami satu kesatuan antara pedagang dan pembeli. Saling butuh dan saling diuntungkan.

Tak terasa, malam itu kian larut. Mata yang awalnya nyala dengan berbinar berubah kian redup, ditambah lagi oleh rayuan angin malam yang membuat mata lengket mencari bantal dan kasur. Hawa yang panas berubah jadi dingin. Sepertinya kota ini merindukan rintikan hujan untuk mendinginkan kota ini. Kami pun pamit dan kembali ke tempat masing-masing dengan isi perut terisi penuh dan kantuk tak tertahan lagi.[]

BSD, 24 Agustus 2017

Tinggalkan Balasan