/

Jakarta dan Sebuah Impresi Kepada Seorang Kawan

Dibaca normal 4 menit

Apa yang membuat kamu bertahan di Jakarta selain utamanya pekerjaan?

Berkali, bahkan saking sering pertanyaan itu mengendap di kepala, pertanyaan tersebut menjadi tidak lagi relevan. Pada akhirnya kita bicara tentang bertahan hidup, untuk terus menjaga kewarasan dan aktivitas mencari beras. Meski raga tergadaikan dan pemikiran terpinggirkan.

Misal hidup tidak menawarkan pilihan seperti itu, tidak ada suatu hal yang memaksa kita untuk bergulat dengan dunia. Makan tinggal makan, tidur tinggal tidur, senggama tinggal senggama. Saya tentu saja tidak mau menyia-nyiakan sebagian besar hidup saya di kota Jakarta. Saya tak akan menjadi klise lain untuk menjalani hidup bersama orang-orang tergesa-gesa.

Hari ini pertanyaan yang relevan adalah apa yang bisa kamu pelajari dari setiap keadaan yang kamu hadapi, seberapa banyak kamu belajar tentang hidup yang menawarkan sedikit pilihan. Di tengah kota dengan segala hiruk dan kemanusiaan yang kadang berharga sangat mahal. Kota dengan semua harapan orang-orang yang saling sikut untuk hal-hal yang tak semestinya.

Tentang banyak hal yang seharusnya dihidupi kemudian mati di sini, tentang semua yang seharusnya dipahami dengan lebih manusiawi tenggelam di sini. Di kota yang kemudian menjadi titik awal segala kisah lain tentang bagaimana kemuakan itu berlangsung dan kita tak pernah punya kuasa untuk memuntir.

Sedikit yang saya sukai tentang kota, kalaupun ada itu akan sangat personal. Dari hal yang sangat sedikit itu pula saya akan berterimakasih pada Jakarta atas pertemuan saya dengan beberapa kawan yang kemudian merubah pandangan saya pada dunia. Banyak kawan yang memberikan saya pandangan baru akan segala sesuatu.
Terutama saya sangat berterimakasih pada Jakarta atas perjumpaan saya dengan Lendo, kawan baik saya. Ia orang pertama yang saya akan mintai bantuan jika membutuhkan apapun, orang pertama yang akan saya ajak untuk berdiskusi. Orang yang perfeksionis mampus dan orang yang punya sejuta harap untuk The Smiths reuni. Tapi tampaknya dia harus mulai mengubur itu Johnny Marr dan Morrissey sulit berdamai.

Ia sering meminta saya untuk ikut terlibat dalam beberapa proyeknya, seperti meminta naskah tulisan pada saya, membantu membuatkan desain untuk dia. Lendo selalu menambahkan kalimat, β€œSorry yan, ngrepotin nih,” di akhir permintaan tolongnya akan apapun. Bangsat, memangnya soal repot merepotkan masih terdapat dalam bahasa kita. Saya cukup terkejut dengan itu, karena ia tumbuh besar di Jakarta, kota yang membuat saya menemukan berbagai bentuk perangai buruk yang ada dalam diri manusia.

Saya belajar pada dia tentang bagaimana konsep memaafkan dan melupakan. Sebelumnya memaafkan dan melupakan saya artikan sebagai sebuah kekalahan, ternyata konsep seperti itu malah berarti sebaliknya. Kitalah yang menang, karena mampu menaklukkan ego sendiri. Kita menang karena mampu menagalahkan sosok picik dalam diri kita yang hendak mengambil alih kendali atas diri.

Lendo mengenalkan saya pada banyak hal baru. Dia memiliki bacaan yang bagus, selera musik yang susah dinalar dan memiliki banyak pengetahuan yang tak berguna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Musik-musik yang belum pernah saya pikirkan. Ia mengenalkan saya pada Volcano Choir yang membuat saya merasa tidak perlu lagi mendengarkan apapun. Ia memberikan saya pengertian baru tentang arti membaca sebuah buku, ia meminjamkan saya buku Kekerasan Budaya Paska 1965 yang membuat saya merasa sejarah memang tidak pernah ditulis oleh orang yang kalah, dan saya menyesal belajar sejarah saat SD. Ia memberikan copyan film 2001 : A Space Odyssey yang kemudian menjadi film yang tak pernah tuntas saya pahami meski sudah berkali-kali menontonnya.

Jika saya tak mengenal Lendo saya tak tahu akan mengakrabi hidup macam apa di kota seperti Jakarta. Saya mungkin hanya akan menjadi boneka bagi kapitalisme tanpa katarsis apapun. Suatu saat ada hal lain yang bisa ceritakan kepada anak-anak saya selain polusi, kemacetan, kepadatan, oportunisme, waktu yang tersita, rindu untuk pulang, atau kemanusiaan itu masih ada di sini, setidaknya sedikit.

Tinggalkan Balasan