Bangun jauh lebih awal pagi ini. Sangat jarang terjadi di hari kerja. Gamang sesaat, kopi belum lagi terhidang. Akhirnya saya putuskan untuk tidak beranjak.
Keputusan yang jadi seperti mosi. Mosi protes terhadap diri saya sendiri, terhadap semua pekerjaan saya, kenapa semua begitu menyita waktu dan pikiran. Yang paling kuat berteriak adalah sisi diri saya yang begitu merasa dirugikan karena semua itu telah menjauhkan saya dari orang-orang yang saya cintai. Menjauhkan saya dari teman-teman yang begitu saya hargai, bahkan menciptakan musuh bagi diri saya. Ironis, sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan, sesuatu yang mungkin adalah kebalikannya yang menjadi visi dalam pekerjaan pada awalnya. Terlebih untuk orang yang seperti saya, bekerja disini dan harus meninggalkan anak istri di seberang sana, sedikit sekali dan berharga sekali waktu untuk berkumpul.
Tapi apakah adil menyalahkan pekerjaan? Menyalahkan poros pondasi kehidupan kita? dimana kebanyakan dari kita mengisi 1/3 bahkan lebih dari bagian kesehariannya untuk bekerja. Pastinya itu bukan sesuatu yang bijak. Diawal mungkin perspektif yang tidak terlalu positif memandang pekerjaan. Tapi bukan berarti itu tidak nyata, itu ada tergantung seperti apa model kita untuk melihatnya. Pada hakikatnya seperti sebuah koin memiliki dua sisi. Memandang sisi satunya tidak akan membuat kita melihat sisi lainnya, sampai saat kita melihat sisi lainnya dimana pada saat itu sisi sebelumnya akan menghilang. Begitupun memandang pekerjaan kita, kewajiban kita dimana di satu sisi begitu menguras tenaga, di sisi lain ini adalah hakikat kita.
Terinspirasi dari film yang saya tonton sore ini, ada potongan dialog seperti ini : “ini hanyalah sebuah pekerjaan”. Kemudian saya berpikir, apakah bisa seperti itu? Berpikir bahwa pekerjaan yang kita geluti selama ini bisa kita anggap hanya sebuah task list yang akan selesai saat sudah diberi tanda centang? Apakah bisa kita anggap itu bukanlah bagian besar dari hidup kita? Kalau saya berpikir, ada hal-hal yang bisa diperlakukan seperti itu namun ada juga yang tidak bisa. Ya, banyak hal tidak bisa diputuskan semudah membalik mata uang. Kalau untuk karir mungkin itu satu task panjang yang mungkin belum bisa ditentukan kapan harus dicentang. Karena seperti judul sebuah buku ; Your Job Is Not Your Career. Jadi ada kemungkinan pekerjaan yang selama ini kita geluti itu sama sekali bukan bagian dari karir kita. Lho, lantas yang disebut karir itu yang bagaimana? Nah kalau untuk penjelasan ini silahkan baca bukunya saja ya..
Lalu sebenarnya, kemana sih arah tulisan ini?
Mungkin banyak arah, atau mungkin juga tidak kelihatan arahnya. Mungkin sekedar melantur mengalirkan isi kepala, berbagi kehidupan yang mungkin sama kita rasakan. Karena kita mempunyai satu rasa yang sama, satu keinginan atau tujuan, atau sekedar kesukaan yang sama yang menjadikan kita satu kelompok. Yang menjadikan kita makhluk sosial adanya. Terkadang.. Sekedar bertutur atau sekedar mendengar tanpa mengomentari boleh jadi sebuah kenikmatan.
Bagaimanapun, bekerja itu sudah seharusnya. Sudah menjadi hakikat kita. Pepatah lama mengatakan ; “Berkaryalah maka kamu akan Berharga”. Benar sekali, karena status sosial (bagi yang masih menganggap perlu) didominasi dari hasil pandangan sosial terhadap status, seperti pekerjaan. Kulit luar memang kerap berbohong, tapi apa mau dikata? Kulit luar-lah yang paling pertama ber-interaksi. Bukan saja fisik tapi juga citra.
Itulah satu perspektif lain yang saya lihat dari pekerjaan atau kehidupan bekerja. Mau tak mau bekerja itu harus, bekerja adalah kewajiban. Terlebih lagi bagi seorang pemimpin dari lingkup yang terkecil sekalipun, bekerja itu sendiri adalah nafasnya. Sesuatu yang tidak mungkin dilepaskan sampai terlepasnya nafas itu sendiri.