Wangi Hujan

Dibaca normal 7 menit

Saya menyukai aroma tanah sehabis hujan, saat bola-bola air masih menggantung di kabel telepon dan pucuk daun. Itu saat yang tepat bagi dua ekor burung untuk terbang menyobek pemandangan awan. Beberapa waktu sebelumnya, angin berhembus kencang, lalu air berebut mencium bumi, melepaskan rindunya. Hari-hari belakangan ini, kerinduan air tumpah juga di Jakarta. Langit kelabu hampir sepanjang waktu. Jalanan becek, dan orang-orang mulai pandai mengumpat.

Arsiran hujan samar-samar terlihat dari jendela kantor yang dikuasai hawa gigil dari pendingin ruangan. Suara klakson dan derum mobil terdengar bersahutan dari jalan raya yang ditawan kemacetan. “Tanabang, Tanabang, Tanabang!,” kondektur bus kota berteriak lantang merayu calon penumpang. Pejalan kaki yang tanpa payung bergerak tergesa. Para pencopet mungkin tengah bersiap melancarkan aksinya. Berlima, berenam, atau bahkan bertujuh; mereka siap memangsa penumpang bus yang kurang waspada.

Adzan ashar hampir dua jam telah lewat, dan hujan membawa kelam yang datang lebih cepat. Komputer sudah dimatikan, tapi kerja belum selesai, dia menagih jatah lagi esok hari. “Pulang Bung, sudah sore,” kawan sebelah hanya mengangkat jempol, pandangannya masih tertuju pada rumus excel. Ada pula suara Benyamin dan Ida Royani dari speaker meja yang lain. Yang punya meja masih sibuk menghitung biaya kuli bongkar muat yang laporannya baru sampai dari kantor cabang. Lamat-lamat memang, tapi saya hafal betul liriknya.

Waktu sampai di lobi, rintik hujan masih turun. Saya menerobosnya sampai masuk ke mikrolet yang hendak berangkat ke Kota. “Mangga Dua, Mangga Dua!. Ayo bu, geser-geser bu!.” Tak sampai lima menit mikrolet telah penuh, lalu meluncur.

Percakapan memenuhi ruang kecil angkutan umum itu. Seorang ibu memulai, “ujan mulu ye mpok, cucian kemarin aje belom pada kering!,” Yang diajak bicara menyahut, “iye, padahal mah udah dikasih Molto, tau tuh, masih wangi apa kagak, soalnye cuma kena angin doang, ga ada mataharinye.” Obrolan ibu-ibu terus berlanjut. Yang duduk di pojok, berhadap-hadapan, dua orang anak baru pulang dari sekolah sore, membicarakan acara live musik pagi. Mereka khawatir hujan turun pas hari H, lalu mengutuknya. Persis di sebelah saya, seorang perempuan muda, berbicara dengan seseorang, lewat ponsel, lawan bicaranya entah di mana. “Halo, masih di Pulo Mas, hujan sayaaang, macetnya jadi parah.”

Saya hanya diam, tak ada orang yang hendak diajak dan mengajak bicara. Seolah-olah saya pendengar setia ragam percapakan mereka. Duduk di belakang sopir menghadirkan pemandangan pinggir jalan yang kurang sempurna, sebab sebagian terhalangi orang yang duduk di dekat pintu, yang menghadap ke belakang. Tapi masih bisa saya lihat sepanjang jalan itu, rahmat hujan mendekap mesra tukang gorengan yang dikerubungi pembeli yang kedinginan. Dingin menghujam, perut segera mengisyaratkan rasa lapar. Gorengan menjadi sasaran. Uap air tampak mengepul dari gerobak tukang mie ayam. Penjual sibuk melayani pembeli yang mulai antri. Penjual sate Padang gesit menjaga bara api yang tengah bekerja menghangatkan potongan daging yang agak keras.

Di tengah gerimis yang masih berkuasa, denyut ekonomi para pedagang makanan itu menemui saatnya. Bagi mereka, hujan bukan untuk dirayakan dengan keluhan, sebab justru ketika pasukan air menyerang, penghasilan mereka cukup menggembirakan. Di titik ini hujan seolah ambigu; diratapi atau disyukuri. Namun barangkali hujan tidak pernah bermuka dua, hanya manusia saja yang menyikapinya berbeda. Di Jakarta, setiap orang seperti selalu membutuhkan kanal untuk mengalirkan keluhan. Dan hujan, seperti juga kemacetan, adalah objek yang tepat untuk dijadikan sasaran segala hamburan kekesalan.

Sebagian penghuni kota ini seolah lupa pada salah satu tokoh kesenian yang namanya diabadikan menjadi nama jalan. Memanjang dari Kemayoran sampai tembus ke Ancol, ya Jalan Benyamin Sueb. Benyamin bersama Ida Royani, pernah dengan riang menyanyikan lagu Hujan Gerimis yang tadi sempat saya dengar di kantor sebelum pulang. Kata “hujan” meskipun hanya sebagai pembuka pantun, namun dapat kita tangkap keriangan itu. Dirayakan dengan gembira.

E ujan gerimis aje, ikan teri diasinin… e jangan menangis aje, yang pergi jangan dipikirin…

E ujan gerimis aje, ikan lele ada kumisnye… e jangan menangis aje, kalo boleh cari gantinye…

Lirik yang sederhana, namun bila mau meresapinya, ini sesungguhnya sama dengan keseharian kita. Pada “yang pergi” adalah juga tentang jemuran yang ditinggalkan rahmat cahaya matahari, tentang jadwal acara musik yang ditinggalkan kepastian cuaca yang cerah, juga tentang jalanan yang ditinggalkan lancar jaya sebab genangan air menghambat laju roda. “Jangan dipikirin”, lanjutnya. Ikhlaskan, lepaskan semua kekacauan hati. Sebab setelahnya, ketika hati telah bisa menerima, selalu ada kesempatan lain yang terhampar menunggu; “kalo boleh cari gantinye.”

Pun demikian dengan hari-hari belakangan ini. Toh dalam seminggu, hujan tidak turun selamanya, adakalanya dua atau tiga hari dalam sepekan matahari bersinar cukup garang. Bersama air yang turun, segala yang “meninggalkan” mestinya ikut luruh, lalu mengalir. Tak ada yang benar-benar hilang dari kehidupan kita, pengganti akan selalu hadir meski dalam wujudnya yang berbeda. Atau jika pengganti pun tidak kunjung datang, ke-ikhlasan sudah lebih dari cukup untuk menambal kehilangan yang sempat disesali.

Di jalan, waktu pulang kerja atau sekolah, ketika fisik dan pikiran telah lelah sempurna, memang tak gampang mengelola emosi. Apalagi kalau hujan. Tapi apakah energi yang mulai menipis itu harus pula digadaikan demi mengalirkan kekesalan?. Ihwal menyikapi hujan, kita bisa belajar dari siapa saja, selain dari lagu tadi, barangkali bisa juga memulainya dari para pedagang makanan kaki lima, yang mencium hujan sebagai wangi yang mengantarkan rejeki. [ ]

Tinggalkan Balasan