/

Jakarta dengan Sindrom Keterjebakan di Dalamnya

Dibaca normal 3 menit

Sebenarnya saya ingin menuliskan sesuatu hal untuk sebuah kota yang dianggap kejam ini. Yaitu mereka yang hidup dalam kota ini pada akhirnya adalah mereka yang terkena sindrom ketidakmampuan melepaskan diri dari sebuah jebakan. Dan anehnya sadar atau tidak kita tetap menikmati jebakan yang berisi kekerasan disertai penindasan ini. Kekerasan dan penindasan seperti apa?

Kekerasan hidup di Jakarta sebenarnya bisa saja dihindari, jika perkembangan infrastruktur dan ekonomi pada desa sama meratanya. Tak ada kekerasan fisik tentang saling sikut kanan dan kiri untuk mencapai puncak. Tak ada kekerasan verbal hanya untuk sebuah eksistensi atau hanya sekedar menjaga daerah teritorial penghasilannya. Kecenderungan pekerja di Jakarta adalah bermuka dua –berteman dan memusuhi. Karena dihadapkan pada kondisi harus bersaing untuk sebuah jabatan, hal yang ternoda dari semua itu tentu saja wajah profesionalitas dalam sebuah profesi.

Penindasan yang nyata adalah penindasan akan kebutuhan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Belakangan saya menjadi jarang memegang ponsel, bahkan saya membuat target bahwa sehari hanya 6 jam saja ponsel dipegangβ€”meskipun kadang itu tidak tercapai. Pada hal lain penindasan akan kebutuhan yang tidak dibutuhkan menjamur. Orang mulai menguasai properti padahal dirinya sudah memiliki rumah untuk berteduh. Seakan-akan tidak pernah menyadari bahwa kepemilikan lebih dari properti sama dengan menyumbang pemanasan global yang lebih tinggi. Ada banyak hal tentang penindasan akan kebutuhan yang tidak dibutuhkan tetapi kini menjadi kebudayaan orang yang tinggal di Jakarta β€” termasuk mungkin saya di dalamnya.

Penindasan dan kekerasan ini terus terjadi bukan karena tidak adanya rasa ingin bebas. Untuk menjadi bebas dan tidak terikat pada sebuah keadaan, kadang seseorang butuh keberanian untuk memberontak dari hal-hal yang dianggapnya nyaman –zona nyaman. Ketakutan dan kebingungan setelah timbulnya keberanian, itulah yang saya sebut sebagai sebuah sindrom keterjebakan. Itul sebabnya, kebijaksanaan tidak akan berbuah, jika tidak ada keberanian seperti apa yang diucapkan Baltasar Gracian.

Melawan dan berani adalah dua hal yang berbeda tetapi saling melengkapi. Melawan tanpa keberanian seperti singa kehilangan aumannya. Keberanian tanpa kemauan melawan seperti Yudhistira yang takluk di meja judi. Kota kejam ini selalu memberi sebuah jaminan pada mereka yang berani dan mau melawan dengan sebuah kesempatan untuk berkembang dengan jalan yang dikendaki. Entah keberanian meninggalkan kota kejam ini atau menantang arus dalam rumitnya permintaan pasar.

Pada dasarnya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kota ini berubah dari sebuah desa dengan kearifan lokalnya, menjadi sebuah kota dengan kebijakan globalnya. Dan lagi-lagi hingga saat ini yang dijawab bukan tentang menyelesaikan kekerasan dan penindasan. Melainkan memberi tambahan masalah dengan memelihara dan menciptakan konflik baru. Tapi begitulah hidup.

Tinggalkan Balasan