Rekan saya sedang mengeluh betapa susahnya menyusun kalimat pada paragraf pertama sebuah tulisan. Sebagai pekerja paruh waktu, ia kerap ditagih setoran artikel oleh atasannya yang bawelnya minta ampun. Padahal bukan kali ini saja ia mengalami hal serupa. Sejak surat kabar tempatnya bekerja beralih fungsi menjadi media daring pada awal November tahun lalu, ia menjadi kutu loncat sebagai kuli tinta di berbagai ranah. “Sekalian fokus nyelesein buku nih, bro,” ujarnya. Anehnya, keluhan soal paragraf pertama tersebut cukup lancar ia sampaikan lewat tombol-tombol papan ketik dari gawainya yang keren itu.
“Gila. Lu ngeluh sulit nulis di paragraf awal, sementara bilangnya aja lebih satu paragraf lewat WhatsApp,” hardik saya geram.
Saya jadi teringat teori menulis beberapa tahun silam. A.S Laksana, salah satu mentor saya pernah mengajarkan metode uthak athik gatuk, yakni mengacak beberapa kata yang diambil dalam kamus, kemudian menyusunnnya jadi satu kalimat. Misalnya setelah dicari acak dalam kamus ditemukan kata pertama KOREK, lalu kata kedua BAJU dan yang ketiga TELEVISI. Tantangannya adalah di sini, bagaimana caranya menyatukan tiga kata tersebut. Maka jadilah kalimat seperti ini, “Saya mengira KOREK api tertinggal di rak TELEVISI, tetapi malah menemukannya di kantong BAJU.”
Belakangan, rekan saya yang sering linglung itu ternyata punya cara sendiri bagaimana mengatasi kesulitan menulis di paragraf awal. Ia ambil sebuah buku, lantas mengutip dua kalimat pada paragraf pertama dan menuangkan ke dalam tulisannya. “Jika setelah itu kamu bisa melanjutkan tulisan, berarti otakmu yang tadinya mandeg sudah bocor lagi, Bro! Jadi, gak ada lagi alasan buat berhenti bekerja untuk keabadian,” tambahnya.
Sotoy.
***
Pekan kemarin, saya meliput sebuah peluncuran buku di daerah Pondok Indah. Agak kurang sreg karena buku yang diluncurkan berbau kewanitaan. Ternyata saya salah tafsir, bukunya cukup menarik karena mengangkat isu gaya hidup sehat yang sedang ngetrend masyarakat perkotaan.. Lebih-lebih, acaranya menghadirkan selebritis sekaliber Maia Estianty dan Ina Thomas yang aduhai bikin Bang Zoel ngiler.
Bukunya sendiri menceritakan tentang sosok Vera yang bisa lepas dari kanker kelenjar getah bening. Ia bisa sembuh berkat konsumsi makanan organik. “Kita berasal dari alam, sejatinya memang cocok mengonsumsi apa yang berasal dari alam juga,” ujar Vera membuka diskusi. Dengan kata lain, Vera berkesimpulan bahwa sebagai makhluk yang takarannya paling istimewa, manusia punya tanggung jawab terhadap seluruh anggota badan dan segenap pendukung yang ada di sekelilingnya. Ia mengaku terkejut setelah terapi alaminya ini membalikan berbagai teori ilmu kesehatan yang ia pelajari semasa kuliah di FEK UI tahun 1999 silam.
Diskusi makin menarik saat Ina Thomas mengeluh soal kulitnya yang berkerut akibat pola makan yang tidak sehat. “Kok, kulit kamu kelihatan tua banget sih?” ujar Ina menirukan ucapan suaminya pada suatu hari. Sebagai model, Ina tentu khawatir tentang kebugaran fisiknya. Ia pun meniru apa yang diterapkan Vera. Kembali ke alam.
Hasil dari diskusi di atas kemudian menyimpulkan bahwa ada banyak cara untuk sembuh dari berbagai penyakit, salah satunya dengan rutin mengonsumsi sayuran dan buah-buahan alami. Di berbagai media, sering saya membaca kesimpulan ini. Baik dari para pakar kesehatan, maupun pasien yang sembuh setelah mengidap aneka penyakit menahun dengan biaya yang tak sedikit.
Gara-gara menulis ini, diam-diam saya teringat sepetak lahan di kampung punya bapak. Maraknya gaya hidup alami di perkotaan semoga saja menjadi titik balik yang menggembirakan para pemilik lahan di dusun dan desa-desa. Dari musim ke musim, merekalah yang sabar menjaga panennya agar tetap bisa mengirim denyut nadi ke kota.
Maka saya pun sampai pada kesimpulan maha sotoy, siapapun bisa tetap muda asalkan ia tetap menulis dan bersahabat baik dengan alam. Maka dari itu, mulai sekarang mari kita canangkan wisdom sederhana ini; Dilarang berkerut sebelum waktunya!
Kita?