Dulu seorang teman pernah bercerita…
“Saya lagi deket sama cewe nih, Wit. Tapi saya belum pernah ketemu.”
“Loh, kok bisa deket?”
“Yaa, biasaa.. sms-an, teleponan, ym-an…”
“Kenal darimana emang?”
“Dia itu adek kelasnya temen saya.”
“Terus?”
“Ya, saya bingung aja. Aneh rasanya.”
“Kalo gitu kenapa ga diajak ketemuan?”
“Jauh Wit, saya di Bandung, dia di Jakarta.”
Teknologi jaman sekarang. Saling berkirim pesan, bertukar suara, dan juga rangkaian kata. Layar menjadi kurir bahasa. Para ahli berkata, jarak tidak lagi menjadi halangan bagi manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya.
Ah tidak juga. Teknologi mendekatkan, sekaligus menjauhkan. Ketika interaksi via media dilakukan dengan bantuan aplikasi berlogo muka kuning penuh tawa, manusia mudah sekali melakukan ‘perselingkuhan’. Buka satu jendela, memulai percakapan dengan satu orang. Di saat yang bersamaan, buka jendela lain, bercengkrama dengan orang lain sambil menunggu balasan di jendela lainnya. Toh mereka sepertinya tidak keberatan diacuhkan barang sebentar saja. Jahatnya. Tapi hampir semua melakukan, termasuk saya.
Ketika bertatap muka, apakah tega melakukan hal yang sama? Mengacuhkan lawan bicara sesaat, kemudian memulai pembicaraan dengan orang lain seakan si lawan pertama tak ada di tempat. Lalu ketika orang pertama berbicara, dengan mudahnya berpaling kembali dan membiarkan orang kedua berpangku tangan menunggu jawaban.
Jelas beda, buat saya. Tubuh berbicara. Ekspresi wajah pun berperan besar di sana. Tak mudah menipu jika begitu caranya. Tak mudah juga ditipu. Tapi ya, harus bagaimana? Mau tak mau, jarak tetap punya kuasa. Untuk saya, kamu, kita, dan mereka.
***
Oleh Ratri Kendra