Tak jelas benar asbabun nuzulnya ketika beberapa teman mempersoalkan penampilan halaman muka Pos Kota yang ramai dibandingkan dengan Kompas. Padahal usia Pos Kota sudah hampir setengah abad. Koran ini terbit perdana pada 15 April 1970. Penggagasnya Harmoko, yang pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia di awal 1980, lalu menjadi Menteri Penerangan selama tiga periode.
Nama Pos Kota merupakan adaptasi dari Kota Pos yang diusulkan Melan Abdullah, wartawan Malaysia karib Harmoko. Lewat Pos Kota, Harmoko dan kawan-kawan nekad melawan arus media mainstream dan budaya massa kala itu. Tata letak halaman muka dibuat ala sirkus. Ada 20 foto dan 15 berita di sana, membuat Pos Kota sangat meriah dan terkesan urakan. Oplahnya terus merangkak naik dari semula 3.500 eksemplar menjadi 30-60 ribu eksemplar di tahun pertama.
Reaksi masyarakat awam maupun kalangan jurnalis beragam. Apalagi menyimak judul-judulnya yang cenderung sensasional. Pos Kota pun dianggap sebagai Koran porno, cabul, bacaan tukang becak. Ada pula yang menyimpulkan bahwa Pos Kota merupakan tonggak utama perjalanan koran kuning di Indonesia pada era modern. Terhadap mereka yang demikian sinis, Harmoko seperti terekam dalam buku Pos Kota, 30 tahun Melayani Pembaca (2000) dengan enteng menukas, “Pokoknya kalau bukan golongan menengah ke bawah, lebih baik jangan baca.”
Pos Kota mendapatkan momentum publisitas luar biasa saat Presiden RI pertama, Bung Karno, mangkat pada 21 Juni 1970. Selama berhari-hari koran ini mengulas habis berbagai sisi pribadi si Bung. Isu lain yang mencuatkan Pos Kota adalah saat mengangkat kasus “bayi ajaib” yang bisa bicara dalam perut Cut Zahara Fona. Kegigihan dan kelengkapan Pos Kota menampilkan berita tentang “bayi ajaib” membuat Koran ini kian beken. Pendiri Kompas, PK Ojong sampai menyebut Pos Kota kala itu sebagai “koran ajaib”. Dalam perjalanannya, Pos Kota berkutat di isu-isu kriminalitas. Pemerkosaan, inses (hubungan sedarah), pencurian, dan pembunuhan ditulis dengan detil.
Tentang berita kriminal yang dominan, kata Harmoko, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan. Sedangkan bagi kepolisian, bisa berguna untuk mengetahui tren kriminalitas sehingga bisa dijadikan pertimbangan dalam menyusun kebijakan penananganan kejahatan. Singkat kata, Harmoko mengaku sengaja merancang Pos Kota untuk menyajikan berita apa pun mengenai kehidupan sosial masyarakat Jakarta, khususnya dari kalangan masyarakat lapis bawah.
“Itulah sebabnya, kalangan ahli dan peneliti ilmu-ilmu sosial di luar negeri menjadikan Pos Kota sebagai salah satu rujukan dalam penelitiannya (untuk memotret kehidupangn masyarakat bawah di Ibukota, penulis). misalnya Pusat Studi Indonesia di University British Columbia (Kanada) dan Universitas Cornell (AS),” tulis Harmoko saat menyambut hari lahir Pos Kota ke 46, 14 April 2016.
Menteri Penerangan Budiarjo sepaham dengan Harmoko. Dia memuji Pos Kota. Katanya, “Selain cocok untuk masyarakat bawah, koran ini wajib dibaca para pejabat, biar tahu kondisi masyarakat sesungguhnya.”
**
Saya pribadi mulai mengenal Pos Kota saat hijrah dari Bandung ke Jakarta di awal 1980-an. Saya yang terbiasa dengan Pikiran Rakyat tentu agak shock juga melihat tampilan koran yang urakan semacam itu. Tapi karena warga di lingkungan tempat keluarga kami tinggal umumnya membaca Pos Kota, akhirnya saya menikmatinya. Bersama beberapa teman sepermainan kami biasanya memperebutkan lembar bergambar (Lembergar) Pos Kota.
Lembaran ini menampilkan komik-komik bergambar (strip comics) dengan para tokohnya, seperti Doyok (mewakili etnis Jawa), Ali Oncom (Betawi), dan Otoy (Sunda). Lewat para tokoh dengan latar budaya masing-masing, Pos Kota memotret berbagai kejadian dan fenomena sosial yang sedang menjadi tren dan perbincangan masyakarat.
Pada akhir 2016, terbetik kabar MD Pictures menjalin kerja sama dengan Pos Kota untuk mengangkat ketiga tokoh itu ke layar sinema. Film yang disutradarai Anggi Umbara ini mendaulat aktor Fedi Nuril sebagai Doyok, Pandji Pragiwaksono (Otoy), dan Dwi Sasono (Ali Oncom). Film bertajuk “DOA (Doyok, Otoy, Ali Oncom), Cari Jodoh” ini beredar di bioskop mulai Agustus 2018.
Untuk beberapa teman yang lebih dewasa, saya tahu mereka lebih suka membaca rubrik “Nah Ini Dia” di pojok kanan bawah halaman muka. Rubrik ini popular karena menggabungkan cerita kriminal dan perselingkuhan dengan bumbu seks kental. Pengasuhnya, Gunarso TS. Lulusan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Kota Yogyakarta pada 1969 itu bergabung dengan Pos Kota sejak 1977. Dia mengasuh Nah Ini Dia sejak 1987 hingga sekarang.
Sementara sosok Doyok merupakan tokoh komik rekaan Keliek Siswoyo. Dia setahun lebih dulu dari Gunarso bergabung dengan Pos Kota. Lelaki kelahiran Wonokromo, Jawa Tengah, 4 Maret 1955, itu terinspirasi oleh cerita rakyat yang biasa ditontonnya semasa kecil, duo punakawan Bancak dan Doyok. Sosok Doyok digambarkan kurus dan gigi tonggos, selalu mengenakan blangkon dan baju lurik. Sebagai pendatang, tokoh ini digambarkan gagap dan naif menghadapi kemajuan di Ibukota. Berbeda dengan Gunaso yang masih bugar, Keliek berpulang pada 3 Agustus 2012 setelah menderita liver.
Pada 1991, saya pernah menemani seorang teman menyambangi ruang redaksi untuk kepentingan skripsi. Kantornya di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat jauh dari kesan megah. Kami sempat saling berpandangan saat memasuki lobi kantornya yang pengap. Begitu menaiki lantai dua, kami makin tercengang. Lantainya beralas triplek menimbulkan kegaduhan tersendiri setiap kali orang-orang melangkah di sana. Kaca-kaca penyekat antar ruangan terlihat buram tak pernah dibersihkan. Kipas angin berderit-derit menyiasati udara pengap. Di sela-sela wawancara sore itu, seorang office boy membawakan roti bakar dan es teh manis untuk kami.
Selang empat tahun kemudian, ternyata saya menjadi bagian dari keluarga besar Pos Kota. Tepatnya menjadi staf redaksi harian Terbit yang beredar di sore hari. Konon, sebelumnya nama harian ini adalah Pos Kota Sore. Produk ini merupakan pengembangan bisnis Harmoko Cs untuk memperebutkan ceruk pasar koran sore yang cuma dikuasai Sinar Harapan. Aneh juga, beredar siang hingga petang kok diberi nama Terbit, bukan Senja. Hampir tiga tahun saya menimba ilmu, pengalaman, dan rezeki di Terbit.