/

Mudah-mudahan Dimudah-mudahin

Dibaca normal 3 menit

Apa yang lebih membahagiakan bagi para pekerja kantoran selain masa maha penting yang berlabel gajian?

Gara-gara menunggu gajian turun, saya iseng menghitung pengeluaran untuk beberapa bulan ke depan. Kebetulan gubuk rumah di kampung halaman sedang diperluas untuk tambahan sebuah perpustakaan di lantai dua. Ambisi yang telah lama coba diwujudkan, baru bisa dipaksa belakangan ini.  Rencananya di samping perpustakaan nanti bakal disulap lahan terbuka untuk arena bermain anak-anak.

Adik saya paling kecil masih duduk di bangku sekolah dasar. Kabar baik karena gerombolannya sering diajak main ke rumah sehingga satu persatu saya kenal mereka.  Si Ikhsan anak Bi Acu baru saja jatuh akibat adu lari sama si Hakim usai pulang dari Madrasah. Ada juga si Jijim yang jangkungnya hampir mendekati saya.

Jika mereka sedang tak malas, suka nyelonong ke bilik kamar untuk ngintip rak buku. Mereka girang bukan kepalang ketika buku dan komik saya bawa ke teras yang sempit. Kabar buruknya, di usia mereka itu, mereka sudah akrab dengan gadget yang membuat betah di ruangan tertutup. Dari situlah ambisi ide keren ini tercetus.

Merujuk data dari UNICEF tahun 2013 silam, Indonesia ternyata belum punya satu pun daerah atau kota yang mendapat gelar Kota Ramah Anak. Mereka layak bermain dan mengembangkan diri dengan lingkungan yang layak. Kalau tidak salah ada undang-undangnya juga yang mengatur.

Jadi, nantinya, sambil membaca buku, mereka bisa bercengkrama sembari kucing-kucingan, “Cing-ucingan, Abah miluan, asup kana gentong, empul-empulan. Mak Eyot..Mak Eyot, he*nceut ucing balem”.  Lantas di kelompok lainnya mereka asik bermain karet, sondah, bekel, atau main bola jika memungkinkan.

Menyedihkan rasanya jika melihat anak-anak ini tumbuh hanya di sudut-sudut kamar sambil senyam-senyum tak karuan menatap layar berukuran 4 inch. Saya teringat cerita di sebuah negeri dongeng tentang anak kecil bernama Johan yang mengidap penyakit aneh. Johan tak bisa diajak senyum. Menurut ayahnya, sejak kecil Johan tak pernah bermain di luar rumah. Akhirnya ayahnya mengadakan sayembara agar anaknya bisa tersenyum. Puluhan seniman turut serta, tetapi tak ada satupun yang berhasil.  Akibat hak-hak anak yang terbengkalai, biaya yang dikeluarkan ayah Johan sangat mahal.

Jika di Jakarta, lahan bermain anak-anak sedang digaungkan terus menerus. Di desa saya malah sebaliknya karena terus dicekoki teknologi yang terus mengalir. Meski tidak semuanya berdampak negatif, tetapi desa sebaiknya tetaplah sebuah desa. Alangkah senangnya jika petani seperti bapak punya jaringan pembeli dari kota lewat Facebook. Atau seorang Lurah yang menjaga komunikasi dengan pihak Pak Camat lewat fasilitas internet desa. Dan anak-anaknya tetap punya lahan luas untuk bergembira dengan usia mereka.

Ah ya, mudah-mudahan dimudah-mudahin.

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan