Ibu

Dibaca normal 5 menit

Ibu adalah filsuf yang paling naluriah ~ Harriet Beecher Stowe

Jika setiap Minggu warga Jakarta menyerbu kota Bandung untuk sekadar melepaskan penat dari rutinitas, tentunya tidak asing dengan sebuah gunung berapi yang letaknya diantara dua pemerintahan, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang, Gunung Tangkubanperahu. Salah satu kawahnya yang dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat adalah Kawah Ratu. Dibandingkan kawah lainnya, Kawah Ratu punya daya tarik tersendiri. Selain pemandangan yang indah, di sekitar kawah ini juga pengunjung akan disuguhi desah suara seolah-olah suara manusia yang berusaha melepaskan diri dari penderitaan. Nadanya bahkan bakal terasa menyayat saat matahari terbenam. Penelitian ilmiah menyebutkan bahwa desahan suara tersebut berasal dari suara uap belerang yang keluar dari perut bumi.

Namun, masyarakat sekitar Gunung Tangkubanperahu ternyata punya kisah lain. Mereka meyakini bahwa suara desahan di sekitar Kawah Ratu adalah suara Dayang Sumbi yang membenamkan diri ke perut bumi demi menjaga kehormatannya karena tak sudi dipersunting oleh anaknya sendiri, Sangkuriang.  Apalagi saat Gunung Tangkubanperahu menunjukkan aktivitasnya sebagai gunung api, masyarakat sekitar menangkapnya sebagai sebuah pertanda untuk melakukan upacara ritual. Mereka percaya bahwa Ibu Ratu, panggilan untuk Dayang Sumbi, akan mampu membantu meredakan aktivitas vulkanik gunung tersebut.

Legenda di atas adalah salah satu contoh bagaimana pengaruh seorang wanita terhadap kelangsungan alam, dan perjalanan hidup umat manusia pada umumnya. Cita Rashmi juga melakukan yang nyaris sama dengan Dayang Sumbi demi menjaga kehormatannya. Bahkan mitosnya hingga detik ini melahirkan sentiman hubungan antara suku Jawa dan suku Sunda.

Mari iseng membuka beberapa pertanyaan. Bagaimanakah gambaran kita tentang wanita? Apakah sosok Kartini yang pintar, tabah, dan sabar menahan derita merupakan gambaran sebuah perjuangan? Apakah Indreswari yang kenes, tangkas, dan pandai mengambil hati juga bayangan kita akan wanita secara umum? Bagaimana dengan Marsinah yang punya suara lantang terhadap penguasa? Ataukah seperti Sarinah, sebagaimana dimaksudkan Sukarno? “Sarinah memberiku humanisme,” kata Sukarno dalam biografinya.

Zaman berganti dan peranan wanita pun ikut berubah. Sukarno mungkin bisa disebut keliru dalam satu hal: wanita tak lagi dikungkung seperti dulu. Sudah lumrah bahwa wanita punya kebebasan seperti pria. Artinya, wanita juga bekerja di berbagai bidang yang biasa diisi oleh para kaum Adam. Dengan kata lain, wanita pun tak lagi bergantung sepenuhnya pada pria. Banyak wanita di zaman ini bahkan menjadi kepala keluarga dan menjadi penyambung hidup keluarga. Boleh jadi, mereka sedang memerankan diri sebagai tokoh-tokoh di atas.

Meski demikian, secara sosial maupun kultural pengakuan kita atas peran wanita masih sangat kurang. Singkatnya, hingga saat ini anggapan kultural tentang superioritas pria atas wanita belum terkalahkan. Meski kaum wanita punya ribuan titel kehormatan: simbol kemajuan suatu bangsa, surga di bawah telapak kaki ibu, atau dilambangkan sebagai bunga, dan diluhurkan sebagai ratu. Bahkan perayaan Hari Ibu seperti sekarang merupakan tradisi “pengkultusan” kepada kaum hawa ini.

Kenyataanya adalah kultural kita tetap menjadikan wanita sebagai “korban”. Celia E. Mather dalam sebuah penelitian mengenai wanita pekerja di Tangerang menyebutkan bahawa alasan para wanita bekerja adalah “daripada menganggur”. Kecuali itu, ada anggapan -pastinya dari kalangan pria -yang bersifat gender specific bahwa jenis pekerjaan tertentu memang tak layak dikerjakan oleh pria, karena ia “sepantasnya” pekerjaan wanita.

Bahkan cenderung sebagian dari kita, kaum pria, punya pandangan tentang perlakuan istimewa bagi anak wanita dalam keluarga. Sebagai contoh, anak wanita itu biasanya harus dijaga baik-baik.  Diam-diam pesan seperti ini seperti mengandung “kesan” akan kepentingan seks buat pria. Maksudnya, jika anak gadis itu pergi ke mana saja, harap dijaga “kesuciannya” dan itu nantinya biar menyenangkan laki-laki atau suaminya.

Bertentangan dengan prasangka diatas, perlakuan istimewa ini mungkin bukan proses yang berorientasi melulu soal seks. Mungkin sebaliknya; fluktuasi ritmis yang samar-samar dalam hal ini mengusir ketakutan terhadap imobilitas (ketidakmampuan bergerak). Fluktuasi yang dimaksud tidak hanya memberikan pandangan bahwa anak wanita yang dijaga baik-baik itu adalah kepentingan seks pria, tetapi yang paling utama fluktuasi itu merupakan pembatas yang terakhir , dan yang paling efisien untuk menjaga kehormatan wanita.

Sampai titik ini wanita seperti Dayang Sumbi, Cita Rashmi, Kartini, Indreswari, Marsinah maupun Sarinah punya kesamaan yang dominan dibandingkan kaum pria, yakni pengertian.

Selamat Hari Ibu!

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan