Filosofi Ngopi Sebelum Filosofi Kopi

Dibaca normal 3 menit

Jauh sebelum Dewi Lestari menulis Filosofi Kopi, orang-orang sudah mencari makna di balik kegemaran mereka minum kopi, atau yang lebih akrab di telinga kita dengan istilah ‘ngopi’.

Ngopi sejatinya tak sekadar minum kopi. Penyederhanaan istilah ‘minum kopi’ menjadi ‘ngopi’ justru menunjukkan kompleksitas kegiatan tersebut.

Ada yang menganggap ngopi sebagai keisengan untuk mengisi waktu luang. Saya kurang setuju. Mereka yang sedang ngopi bisa jadi malah sedang fokus berpikir, merenung, bertukar ide, atau mencurahkan isi hati.

Ada relasi yang sedang mereka bangun, entah dengan dirinya sendiri atau orang lain.

Saat ini ngopi sudah menjadi gaya hidup. Di tempat kerja saya, beberapa teman membawa kopi dari berbagai jenis dan merek. Ada kopi Gayo, Lampung, Sidikalang, dan Toraja. Teman-teman yang fanatik tahu bedanya kopi-kopi itu, tapi di lidah saya semua nyaris sama. Maklum, saya tahunya cuma kopi Liong.

Kalau baru pulang liburan, sering mereka membawa oleh-oleh kopi asli dari kota yang mereka kunjungi. Dan beberapa hari kemudian, perbincangan di antara teman-teman tak jauh-jauh dari kopi tersebut. Sembari beristirahat di sela-sela pekerjaan, mereka saling mencicipi kopi itu.

Kadang teman-teman juga mengajak saya ngopi di luar. Kalau sedang sama-sama bokek, kami ngopi di warkop pinggir jalan. Kalau awal bulan ada bonus gaji yang lumayan, kami ngopi di kedai kopi yang lumayan bagus. Kebetulan di dekat kantor ada kedai kopi yang punya koleksi biji kopi berkualitas dari berbagai daerah di Indonesia.

Ngopi dari penjaja Starling biasanya menjadi pilihan alternatif murah meriah.
Pedagang Kopi Keliling di kawasan Kwitang.

Banyak pengusaha yang melihat peluang menjanjikan dari bisnis ini mulai mendirikan kedai kopi. Mereka tak pusing mencari barista, sebab mesin penyeduh kopi banyak dijual di pasaran. Lagipula kalau dicermati, yang kebanyakan orang cari bukan citarasa kopinya tapi tempat nongkrongnya.

Itu sebabnya, tak sedikit kedai kopi yang desain interiornya dibuat sedemikian rupa sehingga pelanggan betah berlama-lama di dalamnya. Menu kopinya sih itu-itu saja, tapi tukang rumpi dan maniak selfie tak akan ragu menghabiskan waktu untuk saling curhat sampai dower atau cekrak-cekrek sepuasnya.

Apa itu berarti kopi tak lebih sekadar pelengkap saat kita nongkrong? Saya yakin para penikmat kopi tak sependapat. Kopi memang kadung lekat sebagai teman saat kita berbincang. Tapi yang lebih penting, ia adalah media ‘pemersatu’. Minimal menyatukan mereka yang betah melek dan ngobrol di meja yang sama.

Kopi punya kemampuan untuk mencairkan suasana dan mendekatkan emosi para penikmatnya, yang membuat perbincangan mereka cair dan hangat. Mungkin, ini yang membuat banyak orang nyaman berbincang sambil minum kopi, meski mungkin topik perbincangan mereka agak serius.

Membicarakan masalah serius sembari minum kopi akan membuat kerawanan-kerawanan diskusi lebih mudah dihindari. Kebuntuan berpikir, kesalahpahaman dengan lawan bicara, bahkan kekeliruan mengambil keputusan lebih sedikit kemungkinannya untuk terjadi.

Secara mental, ngopi mengkondisikan kita untuk rileks. Ini sangat berbeda jika kita berada di ruang rapat atau tempat lain yang bersifat formal. Di kedai kopi, atribut pekerjaan tak begitu berarti. Kita adalah kita yang sesungguhnya, tanpa embel-embel pangkat atau jabatan.

Tinggalkan Balasan