/

Menjelajahi Pasar Baru

Dibaca normal 7 menit

Sekitar 40 orang sudah berkumpul di depan pintu keluar Stasiun Juanda, Jakarta Pusat sejak pukul 08.30 WIB. Mereka datang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Tetapi berkumpul menjadi satu untuk mengeksplor bersama Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas bernama Ngopi Jakarta (NgoJak) ini memang rutin dilakukan sebulan sekali. Destinasinya pun selalu berbeda-beda. Tujuannya untuk melihat ruang-ruang publik yang ada di Jakarta dan belajar bersama mengenai sejarah suatu tempat.

Kali ini destinasi yang dituju adalah Pasar Baru. Perjalanan dimulai dengan berjalan kaki menuju kantor berita Antara, Jalan Antara Nomor 24, Pasar Baru, Jakarta Pusat. 

Kantor berita yang pada masa penjajahan Jepang bernama Domei ini menunjukkan benda-benda serta foto-foto terkait proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Hal itu sudah mulai terasa ketika memasuki gedung tersebut.

Sebuah lukisan di dinding (mural) menggambarkan suasana ketika pembacaan Proklamasi oleh Presiden RI pertama, Soekarno. Mural tersebut berwarna dasar merah-putih, sesuai bendera RI.

Menaiki tangga menuju lantai dua, semakin banyak benda-benda sejarah yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi terkait kemerdekaan RI. Teks-teks berita yang berkaitan dengan masa itu juga dipajang. Sehingga pengunjung bisa melihat dari dekat bukti-bukti sejarah tersebut.

Sekitar satu jam berada di kantor berita Antara, perjalanan dilanjutkan menuju Kuil Hare Krishna atau Hare Krishna Temple di Jalan Pasar Baru Selatan Nomor 7F, Jakarta Pusat. Bangunan kuil ini dulunya merupakan sebuah sekolah bernama Mahatma Gandhi.

Namun, saat ini sekolah tersebut telah berpindah tempat ke Kemayoran, Jakarta Pusat. Tetapi sebagian bangunan peninggalan sekolah tersebut, masih dapat ditemui di sini

Saat memasuki kuil, aroma dupa melati begitu semerbak. Di tempat ini, rombongan diterima oleh Sukomala, salah satu petugas di kuil tersebut.

Mala, panggilan akrabnya mengatakan, di kuil ini mengajarkan ilmu pengetahuan mengenai kebenaran mutlak bahwa Tuhan itu satu. Hanya saja sebutannya berbeda-beda.

Setiap hari Minggu pukul 12.00 WIB, kuil ini juga mengadakan kelas untuk belajar bersama mengenai kebenaran mutlak itu. Kelas tersebut juga terbuka untuk umum, bagi siapa pun yang ingin belajar.

“Kita terbuka untuk semua orang dan agama ya,” kata perempuan berwajah India itu.

Selain membuka kelas, kuil ini juga menyediakan makanan secara gratis. Makanan yang tersedia tentunya halal dan tidak mengandung daging. Sebab, umat di kuil ini adalah vegetarian.

Setelah menikmati santapan yang disediakan oleh Kuil Hare Krishna, agenda selanjutnya adalah makan siang. Setiap orang diberi kebebasan untuk memilih tempat makan masing-masing yang ada di Pasar Baru.

Sekitar pukul 13.00 WIB, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) Pniel, atau yang dikenal dengan nama Gereja Ayam. Disebut Gereja Ayam karena di puncak bangunan itu terdapat ornamen ayam yang berfungsi sebagai penunjuk arah mata angin.

Gereja peninggalan Belanda ini sudah berusia 105 tahun. Interior yang ada dalam gereja tersebut pun masih asli dan memiliki usia yang sama dengan bangunan gereja, seperti lantai, kursi dan jendela.

Bangunan gereja yang dibangun pada tanggal 24 September 1913 ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemprov DKI Jakarta sejak tahun 2015. “Sebelumnya kita sudah mengajukan untuk dijadikan cagar budaya, tapi prosesnya lama. Setelah Pak Ahok (Gubernur DKI Jakarta saat itu) datang ke sini pas perayaan HUT ke-100 tahun gereja, barulah dibantu dan prosesnya selesai,” jelas Ketua 2 Pelaksana Harian Majelis Jemaat GPIB Pniel, Margaretha Sesolisa.

Dalam gereja tersebut juga terdapat sebuah Alkitab tua berbahasa Belanda. Menurut Margaretha, Alkitab itu hanya ada dua di dunia, yakni di GPIB Pniel DKI Jakarta dan salah satu museum di Belanda.

Ada pula tujuh kaca patri yang memiliki gambar berbeda-beda, yaitu ayam jantan, alkitab, perahu, lilin, empat tangkai bunga lili, jangkar, dan burung merpati.Gambar tersebut juga memiliki makna masing-masing.

Ayam jantan melambangkan kesaksian. Alkitab menggambarkan tentang firman Tuhan. Perahu menunjukkan kehidupan manusia yang tidak stabil dan harus melawan arus, sedangkan jangkar sebagai lambang iman yang kuat dan teguh.

Lilin melambangkan terang. Burung merpati sebagai perwujudan Roh Kudus, dan bunga lili melambangkan kuasa terang Yesus Kristus.

Setelah dari GPIB Pniel, destinasi berikutnya adalah Vihara Sin Tek Bio. Sebuah vihara yang berada di dalam Pasar Baru. Sehingga untuk menuju ke sana harus melewati los-los pedagang daging ayam dan babi.

Aroma khas yang ditimbulkan dari kotoran ayam dan sisa-sisa sampah warga begitu terasa selama perjalanan. Hanya saja saat itu sedang tidak ada pedagang yang berjualan.

Setibanya di vihara tersebut, nuansa warna merah khas Tionghoa sangat mendominasi. Aroma berbagai dupa yang dibakar pun menyeruak di ruangan tersebut.

Sejarah vihara ini dimulai pada tahun 1820. Di dalam vihara ini terdapat banyak patung-patung yang digunakan untuk beribadah.

Perjalanan berakhir di vihara tersebut. Latifah, salah satu peserta yang baru pertama kali mengikuti kegiatan bersama komunitas Ngojak ini merasa sangat senang dan antusias.

“Awalnya tahu komunitas dan kegiatan hari ini dari teman. Terus tertarik buat ikutan,” kata Latifah.

Ia pun berharap dapat mengikuti kegiatan Ngojak selanjutnya. Sehingga dapat mengetahui sejarah berbagai tempat di Jakarta.

 

Artikel ini pertama kali dimuat di harian Republika, Senin, 15 Oktober 2018

Tinggalkan Balasan