/

Kampung Kota, Urbanisme, dan Stigma yang Hidup di Dalamnya

Dibaca normal 6 menit

Jakarta sebagai Ibukota selalu menggambarkan kota-kota besar layaknya di negara besar lainnya. Pusat Jakarta memperlihatkan kemegahan dan keistimewaan hidup jika dilihat sebagai sebuah lingkup kota metropolitan yang diusungnya. Terdapat gedung-gedung megah bertingkat kanan-kirinya, mal-mal besar bersanding satu sama lainnya. Kota Jakarta bahkan tidak pernah tidur selama 24 jam dalam  sehari, untuk memenuhi kebutuhan manusianya dalam memenuhi hasrat-hasrat manusia modern. Lain daripada pembahasan soal pusat kota, Jakarta selalu bertarung dengan kampung kota dalam membangun kemewahannya. Pusat kota bukan saja menggusur sebagian besar kampung yang memiliki cerita besar di dalamnya. Pada lain pihak, kampung kota menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan para manusia yang tinggal di Jakarta, karena Jakarta bukan hanya ada di pusat kotanya saja.

Permukiman di Indonesia, pada umumnya memiliki 3 tipe permukiman, seperti tipe permukiman yang terencana (Well-Planned), tipe permukiman kampung dan tipe permukiman pinggiran/kumuh. Dalam konteks perumahan perkotaan, kampung merepresentasikan konsep housing autonomy dimana warga kampung mempunyai kebebasan dan otoritas untuk menentukan sendiri lingkungan kehidupan mereka. Kampung juga merepresentasikan apa yang dikatakan Turner sebagai housing as a process, as a verb. Konsep ini memaknai bahwa pembangunan perumahan, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah/MBR, tidak bisa dilihat sebagai satu one stop policy, melainkan sebagai proses menerus yang dinamik seiring dengan proses pengembangan sosial dan ekonomi warga kota.

Permukiman pinggiran/kumuh yang disebut sebagai permukiman ilegal dan kerapkali mendapat kriminalisasi berupa penggusuran dan relokasi paksa dengan berbagai macam alasan dan berbagai macam cara. Dalam Ngopi Jakarta edisi Manggarai dari Mata Sang Air, Novita Anggraini, mengajak melihat jejak sebuah permukiman kumuh yang dibangun di bawah kolong jembatan yang mengalami kebakaran. Ada berbagai sumber menyatakan bahwa permukiman itu sengaja dibakar, dan menimbulkan korban jiwa.

Karakteristik permukiman kampung kota dapat dilihat dari kerapatan bangunan yang ada dalam satu wilayah. Pada permukiman kampung kota, konsep tata ruang yang tidak teratur dan tidak terdapat ruang-ruang terbuka menjadi sebuah permasalahan serius. Satu hal yang menjadi sebuah persoalan yang tak pernah selesai dalam permukiman kampung kota salah satunya adalah tidak terdapatnya sarana umum yang tidak memadai. Hal ini menjadi penyebab, kebakaran pada permukiman kampung kota sangat sulit dijangkau oleh pemadam kebakaran.

Kesulitan relokasi penghuni di permukiman kampung kota adalah sikap dan sifat perilaku penghuninya yang merasa sistem sosial dan budayanya mengikat sama lainnya. Itu menjadi salah satu faktor banyak daerah-daerah permukiman kampung kota mengalami keributan saat ingin direlokasi. Belum ada cara yang sesuai untuk mengatasi relokasi permukiman ini.

Diskriminasi terjadi bukan saja pada individu-individu yang bermukim pada wilayah kampung kota. Tetapi juga diskriminasi mengatasnamakan program-program pemerintah ataupun stakeholder yang berkaitan dengan tata ruang kota. Misalnya saja penggunaan istilah kampung, kemudian juga dipakai oleh Pemerintah Republik Indonesia, dengan Program Perbaikan Kampung atau Kampung Improvement Program yang diluncurkan sejak awal tahun 1960-an. Meskipun istilah ini sudah dipakai secara formal, pengguna-an istilah kampung ini, masih saja mengandung sindiran, merendah-kan dan meremehkan. Kampung, seringkali dikontraskan atau didikotomikan dengan perumahan gedongan atau sekarang disebut sebagai perumahan real estate. Kampung adalah untuk mereka yang miskin, warga biasa atau wong cilik, sedangkan perumahan gedongan atau real estate untuk mereka yang kaya dan mapan. Memang, secara fisik, sebagian kampung dicirikan dengan ketidakaturan, ketidakseragaman, ketidakmapanan, dan bahkan mungkin ketidakamanan serta ketidaksehatan.

Bentuk diskriminasi dan pendiskreditan itu muncul seringkali dialamatkan pada warga-wrga kampung kumuh seperti yang terjadi pada Kampung Bandan. kampung ini sebelum wajah perkeretaapian Jabodetabek diu.ah menjadi lebih modern, sering disebut sebagai sarangnya PSK, tukang copet ataupun tukang dari segala tukang berada di dalamnya. Sehingga wajah kampung kota seperti kampung Bandan tidak berubah hingga saat ini. Ada banyak hal yang telah dilakukan untuk mengubah permukiman kampung kota menjadi lebih ramah terhadap orang yangberkunjung data ke sana. Salah satu dari banyak hal yang dilakukan adalah dengan merancang ulang wajah permukiman kampung kota, seperti yang dilakukan oleh YB Mangun Wijaya pada permukiman Kali Code, Yogyakarta ataupun Kampung Jodipan di Malang, Jawa Timur.

Meskipun begitu Kampung Kota seperti Kampung Bandan seperti yang dikatakan Patrick Guinness bahwa Kampung dihuni oleh beragam warga kota dengan latar belakang agama, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, etnis, dan bahkan aliran politik. Kampung menjadi semacam kolase mini warga kota yang memungkinkan mereka untuk terus mengembangkan prinsip-prinsip keragaman, toleransi, dan kesetiakawanan. Setiap kampung adalah unik, karena tiap kampung merepresentasikan kekhasan sejarah, kemampuan, usaha, perjuangan, dan bahkan jiwa merdeka warganya. Kalau ada seribu kampung di satu kota, dapatlah dipastikan akan ada seribu ragam wajah kampung dan jiwa yang berbeda.

 

Referensi :

Tinggalkan Balasan