//

Telusur Batavia: Jelajah Kota Taman Pertama di Indonesia

Dibaca normal 7 menit

Jakarta tidak serta merta menjadi kota megapolitan penuh polutan. Sang ibukota punya cerita di balik bilik-bilik beton yang menjulang. Sekilas tampak modern mengikuti zaman. Namun, jika kita telusuri lagi, sudut-sudutnya menyimpan kisah menarik pembangunan bangsa

Bersama komunitas Ngopi Jakarta (NgoJak), berkesempatan menelusuri kawasan Menteng. Perumahan elit pada zamannya hingga kini, dengan susunan ruas jalan yang unik. Terlihat dari denah kawasan di mana banyak patahan-patahan jalan dan persimpangan yang tidak lazim. Sebelum mengikuti penelusuran ini, para peserta yang mendaftarkan diri telah diberi bekal informasi mengenai lokasi yang akan dikunjungi berupa denah, gambar dan data-data lainya.

Hari libur nasional memperingati Kenaikan Isa Almasih, 25 Mei 2017, dipergunakan untuk bersama-sama menengok kembali apa yang pernah ada di Menteng. Berkumpul di Stasiun Cikini, dimulai pukul 09.00 dengan pembukaan dan saling berkenalan satu dengan lain.

Menurut Adolf Heukeun, kawasan Menteng merupakan kota taman pertama di Indonesia bahkan se-Asia Tenggara yang dibangun antara 1910 dan 1918. Pemuka agama Khatolik sekaligus ahli sejarah Jakarta ini telah menerbitkan buku-buku mengenai sejarah Jakarta seperti Masjid-masjid Tua di Jakarta; Gereja-gereja Tua di Jakarta; Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta; Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta;Atlas Sejarah Jakarta; Galangan Kapal Batavia Selama Tiga Ratus Tahun; Menteng, Kota Taman Pertama Indonesia. Buku terakhir menjadi panduan penelusuran kami kali ini.

Dari Stasiun Cikini, kami singgah di Jalan Surabaya. Sejak medio 1960, ruas jalan ini berfungsi menjadi pasar loak namun di 1970 mulai ditertibkan dengan dibangun lapak permanen yang bertahan hingga saat ini. Barang-barang antik dan koper dapat Anda temukan di sini.

Kami melanjutkan langkah menuju Jalan Cilacap di mana terdapat The Hermitage Hotel. Sebelum beralih menjadi hotel, bangunan yang didirikan pada 1923 adalah pusat telekomunikasi pemerintahan kolonial. Selepas kemerdekaan, berganti-ganti fungsi seperti kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan hingga institusi pendidikan Universitas Bung Karno. Barulah di medio 2014, resmi digunakan sebagai hotel bintang lima. (Kompas.com, 2014)

Kawasan Menteng dirancang oleh tim arsitek yang dipimpin oleh P.A.J. Mooijen dan F.J Kubatz di bawah perusahaan pengembang Belanda Boouwmaatschappij N. V. de Bouwploeg. Kantor pengembang ini dulunya bermarkas di gedung yang kini menjadi Masjid Cut Meutia.

Perumahan villa pertama di Jakarta ini rimbun akan pepohonan membuat kami nyaman berjalan kaki. Rumah-rumah dibangun dengan taman dan dikelilingi oleh kebun. HunianΒ maupun bangunan komersial di sisi-sisi jalan masih terasa nuansa kolonialnya dari tiang-tiang yang menjulang, daun-daun jendela yang lebar hingga atap bangunan yang runcing.

Tujuan selanjutnya adalah Taman Situ Lembang yang rindang dan asri. Terdapat 23 taman di kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah DKI Jakarta sebagai cagar bangunan ini. Pada masa penjajahan Belanda, danau di Taman Situ Lembang adalah waduk yang menampung air dari mata air di sekitarnya. Menurut situs pemerintah daerah Jakarta, taman ini merupakan taman tertua di ibukota yang dibangun pada 1926 (Jakarta.go.id). Saat ini, masyarakat dapat menggunakan taman ini sebagai ruang terbuka untuk beraktivitas seperti memancing, berolahraga atau sekadar bersantai menikmati keasriannya.

Dalam perjalanan kami menuju rumah Adolf Heuken, kami beruntung menemukan rumah singgah Bung Karno selama satu tahun pada 1942-1943. Selanjutnya, rumah tersebut ditempati oleh Roeslan Abdoelgani. Halaman rumah Menteri Luar Negeri ke-9 ini dihiasi patung bernuansa Hindu, Buddha hingga tokoh kerajaan. Sementara, di bagian dalam membuat kami merasakan arus balik waktu. Dinding dan lantai bangunan masih asli sekaligus terawat dengan baik. Lukisan, tongkat, buku, patung, furnitur berusia puluhan tahun lebih tua dari usia kami para peserta. Ibu Lia Abdoelgani, anak bungsu pewaris rumah tersebut, mengisahkan sejarah rumah hingga benda-benda yang ada di dalamnya. Betapa sebuah rumah menyimpan kisah panjang tokoh-tokoh bangsa.

Di rumah Adolf Heuken yang sederhana, kami mendengarkan kisah perubahan Jakarta dari masa ke masa. Betapa ia merasakan perubahan baik fisik dan sosial dari ibukota. Salut untuk kegigihannya dalam menelusuri sekaligus mengarsipkan sejarah Jakarta dalam buku. Seolah memberi peringatan pada siapapun untuk menghargai kota yang bersejarah bagi bangsa ini. Tidak melulu mengeluh mengenai kemacetan, kesesakan, banjir dan polusi tetapi cobalah sesekali menilik kota ini dari perspektif yang berbeda.

Tidak terasa semangat kami menelusuri kawasan Menteng membuat kami lupa akan jam makan siang. Sekitar pukul 13.00, kami melepas lelah sambil menikmati makan siang di Taman Suropati. Tersedia mi ayam, bakso, ketoprak sampai es doger yang tersebar di sisi-sisi jalan sekeliling taman ini.

Setelah selesai mengisi ulang tenaga, kami bergegas menuju Gedung Kunstkring di Jalan Teuku Umar No. 1. Pertama kali diresmikan tahun 1914 dengan nama Bataviasche Kunstkring untuk mengakomodasi berbagai kegiatan kesenian, sesuai dengan kataΒ kunstkringΒ yang berarti lingkaran atau komunitas seni. Sempat ditutup saat masa pendudukan Jepang. Dimanfaatkan kembali setelah kemerdekaan menjadi kantor Majelis Islam, kantor Imigrasi Jakarta Pusat hingga diambil alih oleh PT Mandala Griya Cipta. Pada 2009, sempat menjadi restoran dan tempat minum-minum bernama Buddha Bar yang berumur pendek akibat protes warga. Tugu Kunstkring Paleis mengembalikan hakikat gedung ini dengan menjadikannya restoran dengan nuansa sejarah dan seni yang kental di tahun 2013 (Tempo.co, 2013).

Karya seni dari masa ke masa terpajang di sepanjang dinding-dinding gedung cagar budaya ini. Terdapat beberapa ruangan yang dominan dengan unsur presiden pertama republik berupa lukisan, foto dan beraneka memorabilia. Seolah siapapun yang berkunjung diingatkan kembali akan jasa dan jayanya beliau di masa lampau.

Terik matahari mulai bersahabat tanda petang menjelang. Penelusuran hari ini menenggelamkan pesertanya ke masa berdekade-dekade silam. Memberi refleksi bahwa kemajuan sebuah kota adalah sebuah perjalanan sekaligus perjuangan panjang yang sepertinya tiada akhir.

Tinggalkan Balasan