//

Sol Sepatu

Dibaca normal 4 menit

Siapa berani telanjang kaki ke pesta pernikahan mantan atau gebetan?

Sejak awal peradaban, alas kaki memang menjadi penghias, pelindung, juga sebagai penunjuk status sosial seseorang.

Sepatu tertua diketahui publik ditemukan di Fort Rock Cave, Oregon, negara bagian Amerika Serikat, pada tahun 1938.  Sepatu dengan anyaman sederhana dari jerami tersebut menurut penelitian radio karbon, setidaknya berusia lebih dari 10.000 tahun.  Ketika manusia mulai berkembang, mulailah ada penambahan unsur hewan seperti bulu kelinci atau kulit-kulit binatang buas. Ini dipercaya karena sifat magis yang dapat menambah kecepatan dan keberanian pemakainya.

Para pelaut Fenisia yang terletak di pesisir laut wilayah Timur Tengah lain lagi. Untuk menopang pelayaran, alas kaki mereka biasanya dibuat dengan model hak tinggi, perpaduan kayu dan kain dengan hiasan aneka aksesoris. Modis seperti ini juga mewabah di kalangan Mesir Kuno, Romawi, India, China, dan Babilonia yang lebih dulu mengenal sandal sebagai alas kaki.

Bedanya mereka suka menambahkan mutiara, wewangian, serta pernak-pernik identitas lainnya sebagai jimat. Di era Renaissance, seorang pelacur Venesia sempat mempopulerkan sepatu kayu dengan ketinggian 30 cm dan kembali jadi tren tahun 70 dan 90-an.  Bahkan sepatu yang kita kenakan hari ini, tak lebih hanya adaptasi modern dari gaya di masa lalu.

Begitulah alas kaki berevolusi, meski ujungnya ada satu hal yang tak terbantahkan bahwa di seluruh dunia model alas kaki selalu punya kesamaan.  Anda sebagai pengguna sepatu maupun sandal dengan ragam gaya, -dan tentu saja citarasa, apa yang akan dilakukan ketika alas kaki kita pada akhirnya tak bisa digunakan lagi? Atau masih bisa digunakan, tapi perlu perbaikan.

Misalnya saja alasnya robek atau sedikit menganga karena lemnya tak rekat akibat berbenturan saat bermain futsal.

“Ah itu sih gampang, beli aja yang baru. Jangan kaya orang susah deh,” seloroh seorang kawan.

Kawan saya lupa, sikap jumawa dengan jargon ‘jangan kaya orang susah’ ini sebetulnya gejala kesusahan yang sesungguhnya.

Di Jakarta yang begitu keras, hal-hal remeh seharusnya jadi berharga untuk bertahan hidup. Maka hilangkan dulu gengsi, dalam hal seperti ini, tukang sol (revarasi) sepatu-sandal adalah jawabannya.

Seperti halnya profesi-profesi yang mungkin disepelekan; tukang cukur, tukang vermak jeans, tukang barang bekas keliling, tukang revarasi jam, penyapu jalan umum, pemulung sampah, Pak Ogah, petugas parkir minimarket pinggiran ruko, tukang sol sepatu barangkali salah satu yang sudah cukup langka ditemukan di kota-kota besar seperti Jakarta.

Tidak seperti tukang jahit yang kini berkeliling dengan gerobak bersepeda atau kendaraan roda dua- dan masih banyak ditemui di sekitar Manggarai, tukang sol sepatu masih cukup sulit penampakannya. Bahkan kemunculannya dengan onomatape ‘Solpatuuuuuu’ kerap tak terduga, seringkali seperti letupan kecil saja yang mustahil memecahkan bising.

Ditunggu tak datang, tak diharap malah melintas di depan gang rumah.

Ini menimbulkan pertanyaan lain, mengapa profesi yang begitu penting, yang menyangkut kebutuhan hidup manusia ini semakin langka? Tepatnya, di manakah keberadaan tukang dengan kotak kayu ajaib yang dipikul ini berada? Jam berapa saja mereka melintasi pagar rumah? Apakah profesi mereka sudah naik kelas di gedung-gedung mal dan pusat perbelanjaan sampai-sampai tak diperlukan lagi di gang-gang sempit? Andai mereka sudah sukses besar, apakah tak ada regenerasi untuk sekadar menyapa perkampungan-perkampungan di tengah kota dengan suara lantangnya “Solpatuuuu”?

Ataukah memang sudah tertindas, tergencet, tak berdaya lagi karena takluk dengan simbol kemajuan yang lebih besar, angkuh, dan penuh citra?

Padahal–meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma–, di Jakarta yang makin gemerlepan, kaki adalah kehormatan lain selain kepala.  Selayaknya para revarator alas kaki ini diberikan posisi yang layak sebagai pekerjaan paling terhormat. Kalau belum mampu beli yang baru, minimal kita sering mengingat jasa mereka.

Jangan seperti para tentara Alexander Agung yang konon menaklukan separuh bumi, tetapi menolak mengenakan alas kaki hanya karena berkeyakinan bahwa sepatu adalah barang materialis dan haram untuk dimiliki. Dulunya kondangan nyeker kali ya?

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan