/

Selamat Jalan Suka Hardjana

Dibaca normal 4 menit

Kemarin, Suka Hardjana wafat. Tokoh ini adalah salah satu tokoh penting musik Indonesia. Suka Hardjana jatuh cinta dengan musik saat sering melewati Kampung Musikanan di Yogya. Kampung yang dihuni pemusik-pemusik keraton ini menjadi gerbang Suka Hardjana belajar musik, dari Sekolah Musik Indonesia di Yogya, sampai ke Deltmold, Jerman. Sempat menjadi dosen di Konservatorium Musik der Freien Hansestadt di Bremen, ia akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia.

Di Indonesia, ia akhirnya dikenal bukan hanya sebagai musisi, namun juga sebagai seorang kritikus, esais, dan nantinya berkembang menjadi seorang budayawan. Pengetahuannya yang sangat luas tentang musik, terutama, dan juga sosial, budaya, ekonomi, hingga politik, menjadikan esai, kritik, dan review musik karyanya terasa sangat dalam, namun sekaligus luas dan multidimensional.

Salah satu kiprah terpenting Suka Hardjana adalah ketika ia memprakarsai Pekan Komponis Muda dan Pekan Komponis Indonesia di Jakarta. Ide itu lahir dari keresahannya setelah bergabung dengan Dewan Kesenian Jakarta di tahun 1979. “Kompetisi” tersebut melahirkan nama-nama besar seperti Harry Roesli, Tony Prabowo, Nano Suratno, Otto Siddharta, sampai Trisutji Kamal. Dalam “Esai & Kritik Musik” dan “Corat-Coret : Musik Kontemporer Dulu dan Kini”, ia “mendokumentasikan” beberapa pagelaran Pekan Komponis yang ia saksikan langsung.

Tulisan-tulisan Suka Hardjana selalu ditulis dalam konteks keterbukaan terhadap ide-ide baru. Tulisannya akan sangat hangat terhadap komponis-komponis, terutama komponis-komponis muda yang berani membuat sebuah komposisi baru. Kepada mereka yang berani mengapresiasi, menginterpretasi ulang, mendekonstruksi, merekonstruksi komposisi-komposisi terdahulu. Juga kepada ensemble atau orkestra muda yang berani mengambil nomor-nomor sulit untuk dibawakan.

Namun ia akan sangat sengit mengomentari karya-karya yang dianggapnya sebagai pengulangan-pengulangan, atau terhadap senioritas yang menimbulkan hierarki di dunia seni, atau bahkan abainya pemerintah dan masyarakat atas mandegnya dunia seni Indonesia. Sesuatu yang monodimensional, nampaknya bukan sesuatu yang menjadi selera Suka Hardjana. Tentunya, selaras dengan hakikat seni itu sendiri. Juga menarik ketika dalam salah satu kritik, ia menyoroti masyarakat Indonesia tahun 80-an yang hanya heboh membahas dan menonton pertunjukkan musik klasik ketika pertunjukkan tersebut menyandang orkestra asal kota terkenal di barat sana serta diberitakan besar-besaran di media. Konser semacam itu dihadiri berbondong-bondong oleh masyarakat kelas elit, dan ditonton dengan terkantuk-kantuk, karena minimnya pengetahuan apresiasi musik di Indonesia.

Ia sadar, bahwa seni musik non industri tentunya tidak mudah untuk memasyarakat, apalagi dengan upaya kembang kempis. Namun ia tetap berusaha, baik dengan mendirikan (dan mempertahankan mati-matian) Ensemble Jakarta yang bertahan 12 tahun sejak awal 70-an. Tak terhitung klinik-klinik musik, kuliah umum, seminar, sampai pagelaran seni berkualitas yang ia usahakan untuk masyarakat Indonesia bisa terpapar pengetahuan dan pengalaman musik yang baik. Ia berpendapat bahwa musik berkualitas tidak harus berkenaan dengan kelas-kelas ekonomi, sepanjang pengetahuan dan pengalaman menikmati seni musik bisa diakses dengan mudah.

Saya sendiri baru “terpapar” upaya Suka Hardjana sekitar tahun 2010, ketika kawan saya Ridwan Hutagalung menyarankan saya untuk membaca “Esai & Kritik Musik”, sepaket dengan “Apresiasi Musik Populer” karya Dieter Mack. Saya yang hanya biasa membaca swag-nya tulisan musik kelas Ripple, Trax, Rolling Stone Indonesia, sampai Denny Sakrie, merasa tersengat ketika membaca tulisan musik yang sama sekali tidak membahas coolness, tapi justru merujuk kepada teknis dan penjiwaan, namun dalam dimensi pembahasan yang sangat kaya seperti halnya saat membaca esai sepakbola dari Sindhunata ataupun Gus Dur.

Selamat jalan, Suka Hardjana.

*kredit foto dari Warta Kota Tribun

Tinggalkan Balasan