Saya Rindu Orde Baru!

Dibaca normal 3 menit

Belakangan ada hal menjenuhkan, kalau tak mau dibilang memuakkan, hampir semua orang membicarakan politik di akun media sosial. Setiap buka timeline, hampir sebagian pengguna membahas calon presiden jagoannya.  Sebetulnya menggembirakan, karena iklim demokrasi yang disombong-sombongkan itu ternyata sukses menonjolkan satu poin utamanya; bebas mengeluarkan pendapat. Sayangnya pendapat yang tidak wajar, bukan pendidikan politik yang mencerahkan. Siapa saja merasa berhak membuka aib lawan dari calon jagoannya, mengebiri satu suara untuk memengaruhi orang lain, bahkan tak sedikit ada yang berseteru dengan teman sendiri akibat beda pilihan calon presiden.

Tentu kita tidak bisa menyalahkan begitu saja pengguna media sosial. Media massa, cetak maupun elektronik, jelas punya peran besar membentuk sebuah hubungan personal antara calon presiden dengan calon pemilih.

Secuil kegiatan sang kandidat terus menerus diekspose sehingga tercipta iklim fisik, santapan sehari-hari yang diungkapkan dalam suatu morfologi; gaya berbicara maupun aksesoris pendukungnya. Media massa cenderung mengenyampingkan hakikat politik itu sendiri, -politik adalah sekumpulan masalah dan solusi-. Maka tak heran jika beberapa stasiun televisi hanya melambungkan satu suara sang kandidat. Mereka mendapatkan keuntungan dengan menjual manner of being, sebuah makhluk yang menampilkan setting sosial. Padahal kita tahu televisi menggunakan ranah publik.

Dalam ilmu tatanegara, rakyat begitu hebat posisinya. Dia berdaulat, punya mandat tertinggi sehingga istilah “Suara rakyat adalah suara Tuhan” cukup populer di telinga. Mendadak banyak yang amnesia dengan ucapan lima tahun silam, “Suaramu di pemilu akan memengaruhi masa depan bangsa”. Faktanya ketika kondisi bangsanya dianggap mundur, tak mau menyalahkan dirinya sendiri. “Kenapa masih nyalahin presidennya? Kenapa bukan diri sendiri yang lima tahun lalu memilihnya?” kilah seorang kawan lewat Facebook.

Tetapi kadang kala kita tak sadar atau tak pernah tak tahu, kapan dan dimana sebetulnya rakyat berdaulat itu? Siapa yang berdaulat ketika sang kandidat itu diusung partainya masing-masing? Apakah suara partai juga suara rakyat?

Lalu muncul deretan tanya berikutnya. Kenapa kita menyukai calon presiden yang sederhana? Apakah sudah sedemikian timpang jarak antara si kaya dan si miskin sehingga rindu pemimpin yang sederhana? Mengapa kita memilih mantan militer untuk memimpin negara? Sedemikian rapuhnya kah harga diri bangsa sehingga rindu pemimpin bernyali?

Pusing? Sama.

Jujur, saya pribadi rindu zaman orde baru. Zaman ketika sehari-hari tak pernah mau peduli dengan urusan orang dewasa. Zaman ketika bermain bola, bermalasan mengerjakan PR, dan nyegat tukang es goyang adalah keseharian yang indah.

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan