“Jakarta cuma enak buat cari duit. Nah, kalau duit sudah punya hijrah saja” ~ Iwan Fals
Siang tadi cuaca Jakarta sangat panas dan tak biasanya terjadi di lingkungan yang dikelilingi pepohonan rindang. Seorang kawan sampai nyeleneh kalau cuaca hari ini disebabkan karena adanya kabar menentukan sebuah nasib, nasab, dan nisab. Meski begitu, untungnya hari terasa berjalan begitu cepat. Tahu-tahu sudah beranjak sore. Kawan saya tadi lantas bercerita tentang perjalanannya beberapa hari lalu ke sebuah pulau yang berbatasan dengan Negeri Jiran, Malaysia. Di sana, anak-anak usia sekolah masih terbata-bata menyanyikan Indonesia Raya ketika upacara bendera Hari Senin. “Bisa jadi, upacara Agustusan kemarin pun masih banyak yang belum hafal lagu kebangsaan tersebut,” ujarnya.
Apa yang dilontarkan teman saya sepertinya sebuah wacana menahun yang senantiasa terus dihadirkan setiap perayaan hari kemerdekaan. Wacana ini menjadi template yang bersanding dengan beberapa pertanyaan seperti: “Emangnya iya kita sudah merdeka?”, “Emang iya ya kita dijajah 350 tahun?”, “Emang iya ya kompeni nakal-nakal?”, dan lain-lain dan lain-lain.
Berbicara soal daerah perbatasan, saya teringat kembali soal wacana pemindahan ibukota negara yang sudah digaungkan sejak era kolonial. Bahkan sebetulnya di era kerajaan, pemindahan ibukota menjadi hal yang lumrah. Sebut saja Kerajaan Majapahit dengan Trowulan sebagai pusat pemerintahannya. Atau Kerajaan Mataram dengan Yogyakarta sebagai pusat pemerintahannya. Perpindahan ini dianggap penting untuk mengantisipasi keadaan kahar, misalnya bencana alam yang menyebabkan pusat kerajaan harus pindah karena ada anggapan wilayahnya terkena kutukan dewa. Di era pemerintahan SBY, wacana ini sempat ramai kembali dalam berbagai perbincangan publik.
Nah, dalam benak saya sendiri, pemindahan ibukota negara sebaiknya dilakukan secara bergantian. Bergantian? Iya, bergantian. Saya membayangkan formatnya percis dengan pencalonan tuan rumah Piala Dunia yang empat tahun sekali itu. Sederhananya, Jakarta sudah begitu padat, maka ibukota negara sebaiknya digilir. Misalnya tahun 2019 di Surabaya, empat tahun lagi di Jonggol, empat tahun kemudian ibukota pindah ke Palangkaraya, dan seterusnya dan seterusnya.
Sebagai negara yang terkenal gila bola, siapa tahu mengadaptasi model pemilihan tuan rumah Piala Dunia ini mampu mengobati rasa kangen timnas kita yang mentok melulu sebagai peserta atau tuan rumah Piala Dunia.
Berikut beberapa pertimbangan mengapa ibukota negara harus bergantian seperti halnya pemilihan tuan rumah Piala Dunia.
Membantu Program Transmigrasi
Selain positif dalam aspek pembangunan, pemindahan ibukota negara secara bergiliran juga akan membantu penyebaran penduduk. Jika suatu kota begitu ramai, pastinya akan hadir para pegiat dari berbagai bidang dengan aneka usaha dan keterampilan. Ekonomi yang bergairah akan membuka banyak lapangan pekerjaan. Selanjutnya akan banyak pemikiran baru: kalau daerah sendiri sudah maju, mengapa harus ada alasan untuk tetap datang ke Jakarta?
Syarat Ibukota
Agar sebuah kota dapat memenangkan bidding pemilihan ibukota negara, alangkah baiknya kota tersebut sudah memenuhi beberapa persyaratan umum. Mereka harus punya kepercayaan diri yang tinggi bahwa kotanya pantas menjadi ibukota negara periode sekian hingga tahun sekian. Misalnya sudah terdapat 3 mal modern yang mampu memacetkan jalan utama dalam radius 300 meter hingga 1 kilometer. Atau kadar banjirnya sudah lumayan ketika musim penghujan tiba. Lumayan di sini dalam artian angka adalah 40/100 hingga 76/100. Hal lainnya adalah populasi jomblo di kota tersebut semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ini bisa jadi salah satu pertimbangan panitia bidding membuat program transmigrasi terpadu di masa datang.
Semua Kota Berhak Menjadi Ibukota
Siapapun tahu kalau setiap mudik lebaran, pulau Jawa akan sedikit miring dan bergeser populasinya ke sebelah Timur. Nah, agar konsentrasi media setiap lebaran atau hari raya lainnya bisa dirasakan lebih semarak di daerah lain, maka setiap kota di Indonesia berhak mengajukan diri sebagai ibukota negara. Kota terpencil sekalipun layak untuk dijadikan ibukota. Brasilia di Brasil saja lokasinya berada di pedalaman kok.
Jadi, sebelum bidding pemilihan ibukota negara dimulai, pemerintahan kota sudah membentuk tim khusus, lengkap dengan presentasinya yang akan dipaparkan. Jika beberapa syarat umum di atas belum terpenuhi, minimal mereka punya perencanaan transportasi publik, pendidikan, destinasi pariwisata, hingga membuat macam-macam kartu yang bermanfaat dalam segala hal, minimal syarat membuat kartu nikah dimudahkan.
Momen Sekali Seumur Hidup
Seperti halnya tuan rumah Piala Dunia, penduduk di kota yang terpilih menjadi ibukota negara akan punya semangat tersendiri. Misalnya ketika memperkenalkan diri ke publik dengan menjaga nama baik kotanya, maupun ketika menyambut para tamu dari kota lain. Setidaknya dengan gelar ibukota negara tersebut, kebahagiaan masyarakat bisa hadir dalam kurun waktu yang lumayan agak lama. Mereka tak lagi dianaktirikan dalam berbagai hal. Kejadian di Jakarta akan dianggap biasa-biasa saja dan tak melulu harus jadi bahasan media apapun selama berhari-hari. Mereka juga yakin dengan lirik Iwan Fals bahwa “Indonesia bukan hanya Jakarta” benar adanya. Karena sistem ibukotanya bergantian, entah kapan lagi menjadi warga ibukota sebuah negara yang penduduknya ramah-ramah dan remeh-remeh. Siapa tahu hanya sekali seumur hidup.
Pun kalau kota tersebut gagal terpilih jadi ibukota negara, setidaknya roda ekonomi dan pembangunan dapat berjalan.
Karena alasan-alasan itulah, pemindahan ibukota negara secara bergantian bukanlah hal mustahil. Syaratnya tentu saja kalau kita, bangsa Indonesia yang majemuk ini sepakat dengan dengan pepatah lama, “Di mana ada gula di situ ada semut”.