Hidup di pusat Jakarta, mengitari separuh ibukota dengan Transjakarta nyatanya tidak membawa pengetahuan saya kemana-mana. Mata hanya bisa melihat lekat-lekat bangunan gereja tua di depan Stasiun Gambir, ketika Transjakarta Senen-Lebak Bulus yang saya tumpangi melewatinya. Nampak tenang tertutupi rimbun pohon tinggi di sekitar, pagar abu-abu kusam, trotoar yang nyaris berlubang. Kontras dengan suasana Gambir yang nyalang dengan derap langkah dan bunyi pengumuman.
Gereja Immanuel ini memang terlihat agak berbeda karena lebih menyerupai kubah ketimbang puncak lancip kebanyakan gereja Jakarta, bangunannya menjulang tinggi sehingga menara kecil yang ada di tengahnya masih bisa mengintip di balik pepohonan, menarik atensi para pejalan tanpa usaha berlebihan. Badannya melingkar dengan pondasi sekitar 3 meteran. Ditopang dengan pilar dan gaya arsitektur klasisisme yang kental.
Saya hanya bisa mengalihkan muka ketika Transjakarta sudah mulai menjauh dari bangunan itu, ibarat menyudahi pemikiran-pemikiran dan keinginan saya untuk bisa bertandang ke sana. Diakhiri dengan tanya kapan dan bagaimana.
Dan akhirnya.
βBangunan ini sudah berusia 178 tahun β¦,β
Seorang wanita paruh baya mulai berbicara di depan kami, di tengah ruangan, di depan salib yang terbuat dari kayu dan meja berisikan gelas perak dan perangkat lainnya. Saya duduk dengan tenang di atas kursi kayu jati yang diklaim berusia sama dengan gedung ini. Cukup singkat perjalanan saya mencapai bagian tengah gereja dari pintu masuk berbahan kayu bercat putih dengan hiasan wajah singa berbalut emas di tengahnya. Menurut informasi yang saya dapat, butuh waktu 1 tahun untuk merenovasi pintu itu.
Ruang ibadahnya tidak begitu luas, tapi menengok ke atas tidak akan membuat kita puas. Begitu banyak ornamen menunggu untuk diperhatikan, diabadikan, dan dilestarikan.
Gereja ini dapat menampung hingga 600 jamaβah dalam sekali ibadah kebaktian. Terdapat tiga pilihan bahasa dalam ibadah kebaktian di gereja saat ini, menggunakan bahasa Indonesia, Inggris dan Belanda.
Dominasi cahaya berasal dari atas, dari menara kecil yang sering saya pandangi dari balik kaca Transjakarta. Sisanya hasil perpaduan dari celah-celah jendela dan dua pintu besar di samping kiri dan kanan. Sehingga rasanya dua AC yang tersemat di sana tidak begitu berguna jika semua jendela dan pintu dibiarkan terbuka. Tapi namanya juga Jakarta, bising tetap akan menembus dan mengganggu konsentrasi jemaat bila semua jendela dan pintu dibuka, maka sekarang jendela-jendela itu dibiarkan tertutup rapat.
Saya tidak hentinya melihat ke belakang, menuju orgel tua dengan 36 pipa yang masih berfungsi. Hanya tiga gereja di Jakarta yang memiliki orgel seperti ini, Gereja Sion, Gereja Paulus, dan Gereja Immanuel. Entah yang dua lainnya masih berfungsi atau tidak. Tangga melingkar berwarna cokelat nyaris hitam membawa saya ke bagian atas, ke tempat duduk yang lebih sempit yang hampir dibatasi penggunaannya.
Sepertinya saya terlalu sering menahan nafas saat menjejak setiap inci dari lantai dua gereja ini, derit lantai kayu terdengar beberapa kali, membuat saya tidak begitu tega berlama mengeksplornya. Saya kembali ke bawah, membiarkan tenang kembali menemani gereja ini.
Beruntung sekali bisa menemukan jalan memasuki gedung ini bersama orang-orang yang tidak pernah mengeluh berkawan dengan aspal. Langka, di saat kebanyakan orang hanya rela jauh-jauh ke tempat bersejarah hanya untuk berswafoto, mereka atau mungkin lebih tepatnya kami, membiarkan pengetahuan itu dihirup seperti udara, tanpa paksaan dan ibarat kebutuhan bagi siapa saja yang membutuhkan.