/

Awal Mula Jakarta, Manusia dan Sungai

Dibaca normal 16 menit
1

Minggu ini sebenarnya kurang cocok untuk bernostalgia. Jiwa raga saya banyak tersita untuk urusan masa depan. Membuat banyak perencanaan, untuk rumah tangga dan terutama untuk kepentingan perusahaan. Angka-angka dalam konteks pendapatan, biaya, cicilan, sampai ke perjanjian penjualan dan rebate fee klien, hadir sejak Senin pagi. Yang saya lakukan persis seperti apa yang saya kritisi di tulisan sebelumnya tentang “Manusia Jakarta” yang hidupnya banal dan sempit waktu. Tidak cukup waktu dan/atau kemampuan untuk membaca, baik buku, ataupun kehidupan. Pergi pagi pulang malam, tidur sebentar untuk kemudian berangkat lagi pagi hari berikutnya.

Namun obrolan di grup pegiat inti Ngojak, atau tertasbihkan dengan nama Grup Komisaris Ngojak, akhirnya sukses menjadi rem yang pakem untuk saya, manusia Jakarta yang meluncur mengikuti arus deras yang memabukkan ini. Obrolan membuat saya merasa harus kembali ke 12 November 2016. Tepatnya ke Ngojak #3, yang berjudul Jakarta, Sebuah Awalan. Perjalanan ini ternyata belum tercatatkan oleh siapapun.

Rute ini kami desain untuk menceritakan tentang bagaimana Jakarta tercatatkan sebelum datangnya orang Eropa dan historiografinya yang sok positivistik tapi tetap memihak itu. Sederhananya, Jakarta di awalnya banget. Siapa yang menghuni, seperti apa tata kota yang berlaku, dan seperti apa daerah ini dijalankan oleh mereka. Dan utamanya, kami ingin bercerita tentang sejarah hubungan Jakarta dengan Ibunya, yaitu sungai Ci Liwung.

Hari itu kami seharusnya berkumpul di Stasiun Jakarta Kota pukul 9 pagi. Namun apa lacur, gangguan sinyal masuk Stasiun Pasar Minggu membuat teman-teman yang datang menggunakan KRL jalur Bogor-Kota datang terlambat satu jam. Itu belum ditambah dengan jam berangkat yang memang sudah terlambat kira-kira setengah jam. Walhasil baru pukul 10.30 kami bisa memulai perjalanan. Tercatat ada 32 pejalan yang ikut belajar hari itu. Banyak muka-muka baru, entah downline dari siapa saja. Some of them stays, some of them kapok nantinya.

 

Bermaksud menjadi warga pejalan kaki yang taat aturan, kami berjalan mengular melewati jalur bawah tanah. Beberapa teman, yang mungkin masih ingin lebih lama lagi menjadi warga negara berkembang, meloncati pagar pembatas dan menyeberang langsung ke tujuan kami; Gedung OLVEH.

Gedung OLVEH ini sebenarnya jauh dari cerita utama. Gedung ini baru dibangun oleh firma Schoemaker yang digawangi Charles Prosper Wolff dan Richard Arnold dari keluarga Schoemaker (asal Banyubiru) pada 1921, dan diresmikan tahun berikutnya. Namun gedung ini menyimpan dua simbol yang sangat penting buat siapapun yang berminat mempelajari sejarah tata ruang Jakarta.

Pertama, gedung ini adalah simbol bergeraknya ide revitalisasi Kota Tua Jakarta. Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC) besutan Pak Lin Che Wei dan konsultan Bhirawa Architects telah sukses menjadikan gedung ini sebagai tonggak awal proyek ambisius revitalisasi ini. Terlihat nanti, beberapa gedung sedang dikurung seng dalam rangka revitalisasi. Meskipun saya dalam menyikapi rencana revitalisasi Kota Tua, selalu tercegat pada pertanyaan yang disalurkan Bang Ridwan Hutagalung (@pamanridwan) yang belum bisa saya jawab; “buat apa revitalisasi Kota Tua?”. Wisata? berapa duit yang bisa dihasilkan Kota Tua, apakah bisa menghasilkan, bahkan untuk mencapai level impas?. Konservasi budaya (aristektur)? budaya siapa yang kita konservasi di sini?. Budaya kapitalis londo!.

Simbol kedua yang ditawarkan gedung ini sebenarnya jauh lebih penting. Saat renovasi, tim arsitek menemukan level lantai asli gedung ini sebelum diratakan dan ditimpa oleh Schoemaker bersaudara. Level lantai asli ini berangka tahun 1879 dan terletak nyaris satu meter di bawah permukaan jalan sekarang. Kondisi ini menunjukkan bawah dalam 138 tahun, permukaan jalan sudah dinaikkan sembilan puluh centimenter lebih!. Jadi satu hal penting yang bisa kita pelajari, bahwa Jakarta dibangun dengan timbun menimbun tanah selama ratusan tahun. Tentunya pola ini bisa dimaklumi jika kita melihat siapa musuh besar Jakarta. Tak lain tak bukan, banjir Ci Liwung dan Krukut yang perkasa.

Setelah berjuang mendengarkan pemaparan Daan tentang OLVEH karena distorsi polusi suara dari lalu lintas, 32 orang beruntung lalu berjalan lagi, tentu beriringan dan penuh tawa, ke arah Gedung Museum Bank Indonesia. Bukan, kami bukan akan masuk dan mengagumi karya Cuypers yang diwakili Marius Hulswit itu. Namun kami pergi ke bagian belakang komplek gedung untuk melihat sisa tembok Kota Batavia. Sisa tembok dari abad ke-18 ini terjaga dengan baik sehingga kami bisa bercerita banyak mengenai perkembangan batas Kota Batavia sejak kedatangan VOC, juga yang terpenting, cerita tentang Geger Pecinan 1740 yang bermula di area tempat kami berdiri. Di mana mayat-mayat bergelimpangan dan hanyut di sungai. Berawal dari sini, Geger Pacinan akhirnya berefek domino dan menimbulkan goncangan konstelasi politik Jawa secara masif, serta melahirkan juga stereotip-stereotip horizontal yang melibatkan warga keturunan Cina, yang ajaibnya masih bertahan hingga saat ini.

Kami lalu berjalan lagi menuju Jalan Kali Besar Barat. Sempat mampir sebentar di depan Toko Merah milik Gubernur-Jenderal Van Imhoff, kami terus berjalan menyusuri Sungai Ci Liwung yang akan segera bermuara. Kami berhenti di satu titik menarik dengan banyak penceritaan; Jembatan Kota Intan. Kami pun duduk-duduk setelah membayar retribusi masuk. Daan pertama kali melayangkan pandangan ke Timur, lalu menunjuk pertemuan Jalan Nelayan Timur dan Jalan Cengkeh nun jauh di sana. Di tempat yang dimaksud Daan itu, ditemukan salah satu artefak tertua sejarah Jakarta, Padrao Sunda Kelapa.

Awal abad 16, Kalapa (nama lama Jakarta), merupakan salah satu pelabuhan penting Kerajaan Sunda Pajajaran selain Banten. Jarak yang tidak terlalu jauh dari ibukota kerajaan dan pengawasan yang baik dari Raja Tanjung Barat (kerajaan bawahan Pajajaran), menjadikan Kalapa anak emas bagi bisnis lada Pajajaran. Namun serangan dari koalisi Islam yang digawangi Demak dan Cirebon tak urung mengganggu kenyamanan Pajajaran dalam berbisnis dan berkuasa. Tahun 1521 Pangeran Surawisesa diutus oleh ayahandanya untuk meminta bantuan pada pelaut-pelaut Portugis yang bercokol di Malaka setelah menaklukkan tuan rumahnya.

Kisah perjalanan Surawisesa ini diabadikan (dan didramatisir) dalam Kisah Mundinglaya Dikusumah. Dimana Surawisesa/Mundinglaya melalui drama keluarga dan diutus menyusuri Ci liwung mencari Jimat Layang Salaka Domas di Jabaning Langit untuk membuat kerajaan kembali tentram dan tenang. Mundinglaya juga harus mengalahkan Guriang Tujuh, siluman sakti yang memiliki Layang Salaka Domas. Salaka Domas sendiri banyak ditafsirkan sebagai pertolongan dari Portugis, dan otomatis Jabaning Langit adalah Malaka, dan Guriang Tujuh tak lain adalah Portugis.

Kembali ke sejarah, Surawisesa ternyata tidak berhasil pada kesempatan pertama. Armada Portugis tidak langsung datang memberikan bantuan. Portugis baru datang ke Kalapa pada 1522 dan memancangkan Padrao di sebuah lahan tak jauh dari tepi pantai, dengan disaksikan pejabat-pejabat lokal. Portugis akhirnya memutuskan untuk bekerja sama dengan Pajajaran setelah mengamati potensi bisnis lada yang menggiurkan. Mereka berencana untuk setahap demi setahap mengumpulkan pasukan untuk ditempatkan di Kalapa. Rencana yang terbukti merugikan, karena lima tahun setelahnya, Portugis yang belum juga berkekuatan penuh di Kalapa, gagal membantu Pajajaran menahan serangan Demak yang dimotori Fadhillah Khan alias Fatahillah.

Sebuah ilustrasi menyebutkan garis pantai pada abad ke-16 di Kalapa adalah sekitar jembatan yang kami duduki, yang bergaris lurus dengan lokasi ditemukannya Padrao. Aktivitas vulkanik dari Gunung Gede dan Pangrango, juga Gunung Salak yang dilewati Ci Liwung, menghasilkan reklamasi alami yang menaikkan garis pantai Kalapa ke arah utara.

Daan kini menunjuk dengan mantap ke arah barat. Ke sebuah bangunan besar yang difungsikan sebagai hotel. Daan menceritakan rujukan Adolf Heuken yang berspekulasi bahwa kompleks keraton Jayakarta (nama Kalapa setelah diduduki koalisi Islam) terletak di area hotel tersebut. Setelah pendudukan Demak dan Cirebon, yang diwakili pejabat dari Banten, Jayakarta makin pesat berkembang sebagai pusat dagang. Proses de-Pajajaran-isasi yang merangsek habis ke ara hulu Ci Liwung, membuat mereka ganti menguasai bisnis lada.

Namun kebodohan dagang mereka pula yang nantinya berakibat fatal. Penguasa Jayakarta membuka ruang untuk dua korporat merkantilis terbesar dan terlicik dunia saat iti, VOC asal Belanda dan EIC dari Inggris. Keduanya diberi gudang di masing-masing sisi Ci Liwung dekat keraton. EIC di sebelah timur, dan VOC di sebelah barat. Penguasa Jayakarta yamg bermaksud memperluas perdagangan, malah harus berurusan dengan kelicikan VOC yang diam-diam memperluas gudang, dan tawuran antara kroco VOC dan EIC.

Setelah banyak cerita mengenai periode awal, kini kami akan beranjak ke periode berikutnya, yaitu tiga abad pendudukan VOC dan Belanda atas Jakarta. Untuk itu, rombongan berjalan pelan ke arah Galangan VOC. Sembari berfoto-foto di bengkel kapal abad 17 ini, Saya dan Daan bergantian bercerita tentang proses penguasaan Jayakarta oleh J.P Coen dari VOC. Setelah diizinkan menempati gudang di timur keraton, VOC memperluas gudangnya, baik secara ilegal maupun legal. Puncaknya adalah ketika mereka mendapatkan hak guna tanah seluas 1.5 hektar, masih di timur Ci Liwung, untuk dijadikan gudang. Di lahan baru itu, yang dinamai Nassau Huis, dan dikembangkan lagi pada 1618 menjadi berupa benteng, VOC diam-diam mempersiapkan tentara dan senjata.

Dari basis benteng ini, pada 1619 Coen dan pasukan VOC menyerang keraton dan membumihanguskannya. Pasukan VOC mengejar para pemimpin lokal sampai ke batas-batas selatan dan timur kota. Dari basis benteng ini pula, Coen merenovasinya menjadi sebuah benteng besar pada 1621 yang dinamai Benteng Kota Batavia, sesuai dengan keputusan De Heeren Zeventien, kelompok aristokrat Belanda yang memegang saham VOC. Wilayah ini pula yang menjadi medan pertarungan antara VOC dan Mataram beberapa tahun setelahnya.

Hujan tak menghalangi kami untuk menuju objek berikutnya, bangunan tertua yang masih bertahan di Jakarta, sebuah kompleks pergudangan yang kini difungsikan sebagai Museum Bahari. Kami pun kembali duduk-duduk dan bercerita di gedung yang mulai dibangun tahun 1650 ini. Kami pun sambung menyambung mengaitkan Kalapa dengan peristiwa-peristiwa dan konstelasi politik di Jawa. Mulai dari masa Hindu-Buddha, pergeseran kekuatan ke arah Demak, bubarnya Demak, munculnya VOC, munculnya kekuatan lokal baru di Mataram dan Banten, Geger Pecinan, sampai reformasi di masa Daendels dan Raffles. Obrolan dengan tema ini tidak terasa begitu berat karena disampaikan dalam situasi yang tidak formal, bahasa yang santai, serta mood yang mendukung karena penceritaan-penceritaan di objek-objek sebelumnya.

Tak terasa lebih dari satu jam kami berteduh di Museum Bahari. Setelah foto keluarga, kami pun berjalan menuju titik terakhir  perjalanan kali ini, sebuah kompleks gudang yang berada di sebelah selatan Kampung Tongkol. Langkah kami yang mulai lelah terseok saat melewati jalan inspeksi Ci Liwung di Kampung Tongkol. Jalan ini terbentuk atas kesadaran warga yang memundurkan hunian mereka 2-3 meter ke arah selatan sungai. Sebenarnya kesadaran yang dibayangi oleh ketakutan akan penggusuran. Senja ini terasa cukup ramai di Tongkol, karena teman-teman pegiat komunitas-komunitas peduli Ci Liwung akan menggelar layar tancap di kampung. Terlihat anak-anak kecil berbedak harum setelah mandi. Beberapa bapak menuju ke masjid sebelum adzan berkumandang.

Kami jalan ke arah selatan kampung, berkumpul lagi di depan sebuah gudang yang terlihat sangat tua, yang dijadikan tempat penyimpanan pasir yang entah milik siapa. Gudang ini seharusnya berusia lebih muda dari Museum Bahari. Namun tak seperti Museum Bahari yang terus mengoleskan gincu, gudang ini memilih untuk menyerah pada usia dan perkembangan lingkungannya. Gudang ini adalah salah satu gudang awal Batavia. Mengingat lokasinya yang berada lebih dekat ke laut, bisa jadi gudang ini dulu berisi komoditas-komoditas utama perdagangan Batavia dengan volume besar.

Didera lelah dan dikejar beberapa acara lain, perjalanan pun kami sudahi dengan tak banyak seremoni. Seorang pegiat Ci Liwung sempat menyambut kami, dan berbagi perspektif terkini tentang relasi manusia dan sungai. Dimana manusia dan sungai kini seakan-akan didesain sebagai musuh. Yang tak bisa lagi saling memakmurkan satu sama lain dan harus mengorbankan salah satu agar tak terjadi bencana.

Perspektif ini tentu menjadi ending yang ironis bagi cerita sejarah panjang Jakarta yang kami dapatkan sebelumnya. 5 abad Ci Liwung adalah sekutu utama manusia dalam upayanya mendapatkan kekuasaan dan kemakmuran di Jakarta. Ia disayang, dirias, dan arusnya disenangi. Diakui sebagai Ibu dari beberapa peradaban agung dan hulu dari kisah-kisah besar di tanah Jawa. Kini dia hanya selokan besar, mengalir sendu dalam kekeruhan, dipasung beton, dan dimusuhi oleh manusia Jakarta yang banal dan selalu tak punya waktu itu.

Dasar manusia Jakarta!

Tinggalkan Balasan