Higienis

Dibaca normal 5 menit
Berkaitan Gambar didownload secara ilegal dari http://www.dreamstime.com/
Berkaitan
Gambar didownload secara legal dari http://www.dreamstime.com/

“Jangan beli di warung sebelah, ke minimarket seberang aja ya!” ucap ibu kost kepada perempuan yang rupanya seorang asisten rumah tangga. Dengan bunyi kunci pagar yang berderik, berangkatlah perempuan itu dengan ayuhan sepeda menuju minimarket yang berada di seberang masjid jami’ di daerah Rawamangun. Segelas kopi yang disajikan coba saya seruput. Setengah senyum, ibu kost itu menjelaskan alasannya melarang untuk membeli sabun di warung sebelah, “Saya ragu kalo beli di warung pinggiran itu, Mas. Takutnya malah ndak higienis nanti.”

Dengan gagang cangkir yang melekat di jari kanan, saya hanya mengangguk. Mengangguk bukan pertanda mengiyakan ucapannya, lebih tepat adalah karena kehebatan perempuan tadi dalam meracik kopi. Rasanya tidak manis, tidak pahit, namun pekat dan tedas.

Lalu membayangkan maksud si ibu tadi, sabun yang tidak higienis itu yang bagaimana? Bagaimana sabun mengetahui dirinya tidak higienis sementara tugasnya adalah membuat orang-orang merasa menjadi bersih? Bukankah pembuatan sabun sendiri menurut saya didapatkan dengan cara yang sedikit kotor?

Usai pamit dan sepakat dengan tempat yang akan ditinggali, beberapa hari kemudian saya menanyakan hal ini pada seorang teman yang pernah bekerja di pabrik sabun. Menurutnya, kalau saya mau membuat sabun sendiri bisa mempraktekannya dengan cara seperti yang pernah dilakukan orang-orang Romawi. Bahannya sederhana: lemak sapi atau domba dengan abu kayu, atau kadang ada yang menggunakannya juga dengan kapur. Caranya begini, “Mula-mula batu kapur dipanaskan untuk menghasilkan kapur. Lalu kapur yang basah ditaburkan ke dalam abu kayu yang masih panas. Aduk hingga rata,” ujar teman saya ketika mengajaknya ngopi di samping kantor penerbitan di kawasan Industri Pulogadung.

Ia lalu melanjutkan, setelah adonan kapur dengan abu kayu menjadi sebuah bubur, pindahkan ke sebuah bejana dan aduk dengan sekop dan didihkan dengan tambahan beberapa potong lemak domba atau sapi selama beberapa jam. Saat sebuah buih berwarna kecoklatan kotor muncul ke permukaan dan mengeras ketika didinginkan, potonglah menjadi beberapa bagian. “Itulah sabun kita, Bro!” kata teman saya tadi.

Ribuan tahun kemudian, ditambahkanlah aneka pewangi untuk membuat sabun lebih menarik. Tentunya dengan tambahan bahan kimia; deodorant, parfum, anti bakteri, lotion, dan aneka warna krim buatan lainnya. Lalu dengan kemasan yang gencar, jadilah sabun yang kadarnya sedikit itu menjadi barang yang mewah. Sekilas, jadilah sabun itu menjadi benda ajaib yang mengenal dan menghormati kulit dan barang berharga kita. Tubuh, pakaian, dan kendaraan kita menjadikan sabun sebagai pahlawan. Sabun seakan selalu patuh untuk membuang segala macam benda asing yang dikemas dengan istilah “kotor”, “tidak higienis”, dan memang hanya itu yang diperbuatnya.

Dalam hal ibu kost tadi yang menganggap warung sebelahnya adalah kotoran, sedangkan minimarket di seberangnya adalah higienis, saya teringat sebuah fakta di Negeri Paman Sam yang memberlakukan “zoning law”, dimana sebuah toko besar harus memahami adanya toko kecil yang ada di sekitarnya. Kota besar seperti New York menerapkan luas sebuah toko tidak lebih dari 3000 meter persegi. Lebih besar dari itu, dipersilahkan mereka membuka toko di luar kota.

Tidak ada maksud saya membenci toko-toko besar yang sering merasa paling berkuasa diantara warung-warung pinggiran. Mungkin ini hanya refleksi bahwa diantara kita, diantara kecil dan besar seharusnya memang saling memerlukan. Mungkin juga perlu ada undang-undang khusus seperti di Amerika sana yang notabene kapitalis, namun masih memerhatikan orang-orang kecil.

Sabun toh tidak akan bekerja tanpa adanya air. Saya membayangkan beberapa tanaman milik ibu kost yang ada di halaman rumahnya hampir mati, namun berkat semburan air selang yang tiba-tiba dari warung sebelahnya mendadak bunga-bunga tanaman menjadi merekah dan hidup kembali. Lalu sari bunganya dibuat menjadi parfum dan dijual ke minimarket yang ada di seberang.

Selamat Tahun Baru. Semoga hati dan pikiran kita makin higienis.

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan