//

Gue Bukan Aing

Dibaca normal 3 menit
3

Sebuah masa, seperti halnya sebuah tempat, tentu punya bahasa sendiri.  Kata nyokap dan bokap lahir dari bahasa prokem yang punya kaidah menyisipkan “ok” sambil membuang bagian akhir kata. Prokem sendiri adalah arti dari kata preman. Menurut masanya, bahasa gaul ini lahir kisaran tahun 70-an.

Belakangan, di mana arus informasi begitu cepat, istilah-istilah baru pun bermunculan dalam keseharian kita. Media sosial banyak sekali menyumbangkan bahasa baru dalam percakapan verbal. Walau sebagian besar tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baku dan terkadang salah kaprah.

Ciri utama yang mudah dikenali adalah penghilangan fenom pada sebuah kata, penambahan onomatope, atau bisa berupa singkatan, misalnya yang lagi ngehits: leh uga (boleh juga), warbyasa (luar biasa), atau baper sebagai akronim dari bawa perasaan.

Selain itu ada juga yang menyadur dari frasa yang ditempatkan menjadi sebuah argumen, yang menurut saya agak ngawur.

Seorang teman kerap mengatakan kalau ia sering dibilang, “Lu kenapa sih? Lagi PMS ya? ” kalau sedang mengkritik pacarnya, -tentu saja perempuan, padahal jelas-jelas kawan saya itu seorang perjaka, kok bisa PMS? Atau saya suka heran dengan penempatan “Kurang Piknik” untuk menjatuhkan lawan yang berbeda pendapat. Padahal jika ditelusuri, ungkapan tersebut ditujukan buat mereka yang sering marah-marah, mudah tersinggung, atau untuk menunjukan hal yang dianggap kurang santai.

Bagaimana mengatakan orang lain tidak santai, kalau menempatkan istilahnya pun dengan cara yang tidak santai pula.

Ternyata mempelajari bahasa sendiri susahnya minta ampun.

Beberapa tahun lalu, atasan saya di kantor yang lama pernah menerapkan aturan dilarang menggunakan “Elu Gue” dalam obrolan di lingkungan kerja. Saya yang seumur-umur jarang menggunakan kata “aku” merasa geli ketika harus berbicara “Aku Kamu” kepada teman yang sehari-hari biasa minum kopi dan merokok bareng.

Syukurlah aturan itu dihilangkan dengan alasan yang pada akhirnya atasan saya pun gelinya ampun-ampunan. Bayangkan saja ketika saya biasa menanyakan, “Ed, elu udah makan siang belum?” pada sosok Edi yang tidak kemayu itu, harus diganti dengan, “Hai, Edi. Kamu sudah makan siang belum? Barengan sama aku, yuk!”

Sebuah tempat punya bahasa sendiri. Di bilangan kampus UI, ada sebuah coretan yang menggambarkan kalau di daerah tersebut terdapat kelompok suporter sepak bola. Bunyi tulisannya begini, “GUE BUKAN AING” dengan warna tulisan oren. Tak jauh dari sana, tulisan nama sebuah klub ibukota pun terpampang jelas dekat sebuah rental Play Station. Mulanya tidak ada niatan menelisik lebih jauh menghubungkan dua coretan tersebut.

Uniknya, banyak pula penduduk asal Tasikmalaya, Kuningan, Bandung, dan Garut yang kesehariannya akrab dengan kata “Aing”. Mereka berprofesi menjadi tukang cukur, pedagang warung makan, penjual warung kopi, dan jajanan pinggiran. Dalam hal seperti ini, ternyata bahasa atau tulisan sudah berwujud menjadi sebuah identitas dan kebanggaan. Masing-masing menunjukan eksistensi dengan caranya sendiri.

Di sisi lain, coretan “GUE BUKAN AING” semacam nada mengaku-aku-kan bahwa ada yang lebih berhak untuk berkuasa.

Mudah ditebaklah ya, suporter mana yang menulis coretan tersebut?

**

Semacam mengenang J.S Badudu, penjaga bahasa Indonesia yang wafat kemarin, 12 Maret 2016

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

3 Comments

  1. Wah keren nih mas artikelnya, setuju gue. Soal penempatan kadang2 suka ngawur. Misal temen lagi dikerjain parah, terus dia marah. Dengan gampangnya yang ngerjain bilang “baper lu!” Belum aja yang begini di gorok ama yang kesel hehehe btw salam kenal mas 🙂

  2. “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”

    Jawa Barat (termasuk Cilacap dan Brebes, Banten dan Jakarta) sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu sebagai pelaksanaan Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Belanda = Soendalanden (Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.

    Pentingnya belajar sejarah sedari dini, supaya orang-orang tahu dan menghargai/menghormati jasa para pendahulu kita.
    Seandainya seluruh rakyat TATAR SUNDA/TATAR PASUNDAN//JAWA BARAT (termasuk Cilacap dan Brebes, Banten dan Jakarta) mengetahui sejarah JAWA BARAT, pastinya akan sangat menghargai atau menghormati orang Sunda sebagai leluhur di Jawa Barat (Pribumi)

    Dahulu. Jabar, Banten, Jakarta, Cilacap dan Brebes masuk ke dalam Negara Pasundan tahun 1948 dan penduduk aslinya sebagian besar bertutur kata bahasa Sunda.
    kemudian negara Pasundan bubar dan masuk ke dalam NKRI dan menjadi sebuah provinsi.
    Jawa Barat kemudian di pisah-pisah, Jakarta menjadi DKI. Banten jadi Provinsi, Cilacap dan Brebes masuk Jateng.
    Cibubur tahun 80 masih bagian dari Jabar tapi kemudian diambil alih DKI Jakarta.

    Pembantaian orang sunda di sunda kelapa/Jakarta oleh falatehan alias fatahillah adalah genosida paling berdarah dalam sejarah yang tidak pernah TERUNGKAP Seolah tabu atau darah sunda adalah HALAL, hal tersebut tidak pernah disebut dalam sejarah indonesia yang memang tidak jujur dan sering memutar balik fakta.
    Sejak zaman majapahit orang sunda sudah sering dilecehkan oleh majapahit yang merasa superior dari pada orang sunda sampai pada perang bubat majapahit membantai sunda bagaikan membantai kambing potong. Kebiasaan ini menurun pada demak dan malaka yang dibawah kekuasaan demak. Demak membantai sunda di banten dan terjadi genosida bahkan bahasa banten pantai pun jadi bahasa jawa hal yang sama di alami sunda kelapa/Jakarta. Orang sunda dibantai habis, bahasa sunda tidak ada lagi dan dipinggiran jakarta dijadikan basis jawa dan berbahasa betawi orak adalah tentara jawa yang mendapat tanah rampasan dari orang sunda. Betawi orak/(jawa) ini terdapat dipinggir kota jakarta seperti tangerang, depok, citeureub, bekasi bahkan sampai jonggol di utara cianjur. Mereka adalah merupakan penjaga perbatasan jakarta terhadap bahaya laten sunda.
    perempuan sunda boleh dijadikan gundik/budak/dilecehkan kehormatannya, tak perlu dinikahi sebagai mana kultur budaya majapahit dan mereka melecehkan dengan nama sundal atau sundel yang kemudian jadi hinaan sebagai “sundel bolong”perempuan jahat, perempuan tidak benar, perempuan busuk dengan pinggang yang busuk borokan besar bolong, perempuan penghisap darah dsb.
    Bila ada yang jatuh cinta dengan wanita sunda orang betawi sering mengatakan “awas dieret sunda, wanita sunda pengeretan, awas diguna-guna sunda, hati-hati makan dirumah sunda, kalau ada orang betawi ber-isteri orang sunda bangkrut katanya”
    dan ada juga sebagian yang mengatakan kalau jadi gila katanya “kawin sama sundawi masa gak mau gile, wanita sunda kan geulis/cantik”. Ringkas kata betawi yang kawin sama sunda.
    Kalau ada orang betawi mukuli isteri atau anak tetua betawi sering menasehati jangan pukul isteri atau anak kalau hati sedang dongkol pukul sunda saja, dst.
    Disamping membantai orang-orangnya, bahasa sunda sudah mati dan di sunda kelapa/jakarta dibantai oleh malaka dibawah pimpinan falatihan dari demak dibantu tentara malaka. sebagian besar sunda pantai utara dibasmi, dibantai sehingga kini seluruh pantai utara tiada lagi sunda. Dan kata pejajaran buat sunda merupakan kerajaan yang agung, tetapi buat orang pendatang di jakarta/sunda kalapa (kemudian jadi betawi) dan jawa pantura pejajaran adalah makian hal ini masih terkadang terdengar di betawi yang sudah lenyap sundanya bila orang betawi memaki orang sunda ”dasar pejajaran sialan loe” bila melihat sesuatu yang ganjil misalnya meteor (bintang jatuh dengan api berekor) maka orang betawi mengatakannya “itu beraja api teluh pekerjaan setan pejajaran”. Dan masih banyak lainnya.
    kebiasaan menjagal/menghina sunda tidak berakhir pada masa penghancuran pasundan/jawa barat saja, tapi terus berlangsung hingga zaman merdeka dimana penguasa yang kebanyakan jawa yang mengatakan “sang ratu adil telah tiada”
    maka oto iskandar dinata (otista) dicomot/diculik dilenyapkan dipenggal kepalanya oleh laskar islam (laskar hitam) di banten. Dan yang menyuruh laskar hitam atau sang dalang tidak terungkap.
    disamping otista masih ada lagi tokoh sunda yang dilenyapkan yaitu:
    -Ukar barata kusumah
    -Niti somantri dan
    -Puradiredja
    Mereka korban penghilangan paksa zaman merdeka sampai detik ini sunda tidak pernah diakui setulus hati. Celakanya banyak orang sunda awam yang menganggap sultan banten dan falatehan serta begundalnya adalah (si Jayakarta pahlawan sunda). Padahal merekalah yang membantai orang sunda. Sungguh tragis nasib bangsa sunda!

Tinggalkan Balasan