/

Refleksi Awal Tahun; Jangan Berhenti Membaca Jakarta

Dibaca normal 3 menit

Menyeragamkan cara pikir adalah mustahil, alih-alih menuntut orang lain bertindak seperti yang diinginkan tanpa penjelasan, itu jauh lebih tidak mungkin. Bagaimana sebuah kota dapat memberikan hal layak, juga baik, bagi keberlangsungan hidup orang-orang di dalamnya tanpa adanya apresiasi. Entah itu terhadap historinya, budaya yang dilakoni oleh masing-masing kelompok, lingkungan sekitar, hingga pada proses membangun interaksi sosial antar individu.

Sejak memutuskan untuk mengikuti aliran Cilwung setahun silam yang berawal dari perjalanan ke Karadenan pada bulan Agustus 2016, Ngopi Jakarta terus mencoba menggali apa saja yang bersinggungan dengan entitas keberadaan manusia-manusia di Jakarta. Tak hanya membahas keberadaan ruang -dan transformasinya karena kapitalisasi kota, tuntutan modernisasi, tapi juga mencoba melakukan pendekatan makna. Meyakini bahwa Ciliwung adalah salah satu saksi perubahan tingkah laku warga kota. Jika dulu warga di Kampung Makasar masih bisa menikmati aliran Ciliwung yang jernih, mengapa saat ini mereka terus mengeluhkan bau limbah dan waswas akan meluapnya air saat musim hujan. Atau warga Kampung Tanah Rendah di Jatinegara dan kampung-kampung lainnya di Jakarta, yang seakan sudah tak tahu lagi bagaimana cara untuk mendapatkan air bersih dengan mudah, dan murah.

Berapa banyak orang iseng di Jakarta yang sengaja berjalan melintas di bawah kolong jembatan bekas gusuran lapak-lapak pemulung?
Apakah nama Cawang Kompor diambil dari kampung tempat bermukimnya pedagang kompor dan oven jongkok?
Mengapa ada banyak taman di kawasan Menteng?
Dari mana datangnya sebutan untuk Pasar Rumput, Manggarai, Jatinegara dan nama-nama tempat lainnya yang padahal mungkin sudah belasan hingga ratusan kali kita melewatinya?

Masukkan hal-hal lain yang diketahui tentang Jakarta, di luar pengetahuan akrab kita tentang Monas, Kota Tua, Bundaran HI, Masjid Istiqlal, Pasar Tanah Abang, TMII, dan Ancol, mungkin tak habis pula seluruh jari tangan dan kaki untuk menghitungnya. Nyatanya, masih benar-benar dibutuhkan ruang belajar bersama dalam melihat langsung perilaku kolektif orang yang hidup dan mencari kehidupan di Jakarta dengan mulai membuka pikiran, menjernihkan hati, dan melebarkan lapang pandang agar tidak terpaku pada yang itu-itu lagi. Masih masuk akal jika dikatakan ini hanya soal kurangnya membaca, membaca untuk memaknai, memaknai untuk mengerti, hingga pada akhirnya orang-orang tak hanya menatap kota ini dari atas ke bawah, dari kendaraan berpajak tinggi, dan semua yang memiliki batas terhadap dua hal.

Dilingkupi harapan yang paling optimis di permulaan 2018, kengkarawan dari berbagai latar belakang agar tak kunjung lelah untuk membaca kota ini, senantiasa memaklumi warna dan keberagaman, tidak hanya ketika bersama Ngopi Jakarta, tapi tetap melakukannya saat berjalan sendirian. Tentu menjadi hal yang menyenangkan, saat pengetahuan dapat dibagikan, dituliskan kembali, ditularkan kembali kepada lingkaran terdekat, secara cuma-cuma, tanpa imbalan apa pun karena pada akhirnya kita tak pernah tahu siapa saja yang akan benar-benar merasa harus melakukan sesuatu untuk membebaskan keresahan, dan membuat kota ini menjadi lebih beradab.

pemainkata

Warga kota yang menolak dungu dan berharap tak tersesat.

Tinggalkan Balasan