“Kota bukanlah hutan beton, kota adalah kebun binatang manusia” ~ Desmond Morris
Beberapa hari belakangan, saya kebanjiran kabar dari tiga orang rekan tentang sebuah layanan jasa transportasi ojek yang dikemas secara tak biasa. Para pengemudinya dibekali perangkat modern seperti GPS untuk mendeteksi lokasi tujuan. GPS yang dimaksud tentu saja perangkat layanan peta khas Google yang tertanam di setiap armadanya. Seringkali kita mengejek para tukang ojek dengan sebutan “GPS” itu sendiri.
Selain itu, masih kata rekan saya, pengojek tak biasa ini diseleksi secara ketat untuk memudahkan penumpang mengenal pengemudi yang akan memboncengnya. Tiga rekan saya bahkan sudah berlangganan jasa transportasi ini. Mereka tertarik karena selain jasa layanan antar jemput manusia, mode transportasi yang dikemas secara tak biasa ini juga mampu melayani aneka kebutuhan sehari-hari seperti mengambil barang dan aneka keperluan lainnya. “Saya sering minta dia beli obat ke apotik buat si kakak yang masih rawat rumah,” terang rekan saya yang saban hari pulang pergi ngantor Cipulir – Kuningan. “Enak sih, tinggal panggil di aplikasi ponsel,” terang rekan saya yang lain.
Lantas saya bertanya dalam benak, bagaimana nasib tukang ojek yang ada di setiap ujung gang?
***
Tukang ojek yang menyebar di perkampungan dan gang-gang sempit di Jakarta sebetulnya sudah lebih dulu memanfaatkan jasa ini secara individu. Para pemilik warung kelontong tentu tak mau meninggalkan warung mungilnya di pinggiran begitu saja. Ketika stok barang dagangannya tiba-tiba habis, dia akan menelepon tukang ojek langganannya untuk pergi ke pasar atau warung grosiran. Begitu pula suami isteri yang sama-sama menjadi pekerja. Mereka akan membuang waktu mengantar anaknya ke sekolah yang lokasinya tak searah. Dalam hal seperti ini, tukang ojek berjasa besar memajukan sendi ekonomi dan gerak-gerik pendidikan bangsa. Bahkan mungkin hanya di Jakarta, para buruh kantoran yang berdasi maha keren itu masih nyaman diajak meliuk-liuk di jalanan sempit dengan ojek untuk meeting dengan sang relasinya di Kuningan. Mana mau dia uji nyali dengan jalur padat saat jam masuk kantor melanda jalanan Mampang atau Sudirman.
Menurut Seno Gumira Ajidarma, dalam tingkatan ini, kendaraan roda dua dan tukang ojek khususnya, bagaimanapun telah membuka wawasan tentang sektor informasi yang menggejala sebagai usaha menguak ruang usaha (dan survival).
Namun jangan salah, risiko berkendara roda dua tak pernah baik dalam kabar media kita. Begal, gang motor, kecelakaan akibat melawan arah tentu menjadi lahan empuk pemberitaan tersebut.
Kisah mengenaskan pernah saya alami karena terburu-buru dikejar waktu. Seraya menggunakan kendaraan roda dua di pagi hari dan jam sibuk. Kebetulan lokasi kantor pusat saat itu ada di daerah Cengkareng. Bertopi helm yang di bawah standar SNI, diboncenglah bersama rekan kerja. Mulanya pagi itu cuaca cukup cerah sehingga tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Inilah pentingnya berita televisi dalam segmen ramalan cuaca.
Begitu memasuki Cawang, hujan deras menyambut. Saya memutuskan turun dan melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan umum. Rekan kerja sangat beruntung karena membawa jas hujan. Ia pun melejit di tengah guyuran hujan Jakarta pagi. Rupanya dia pengagum peribahasa lawas; sedia payung sebelum hujan.
Masuk ke dalam bus, penuh sesak dan berdiri. Di sinilah kita bisa menerka-nerka kualitas tidur orang Jakarta. Mereka tertidur lelap dengan udara pengap. Saya masih berdiri, bergelantungan. Seorang ibu yang duduk di depan kepalanya manggut-manggut. Padahal matanya terpejam. Sedikit dibuat terpesona. Bagaimana bisa dalam cuaca tak bersahabat ini tidur pun masih berlanjut di dalam kebisingan mesin. Saya lantas ikut manggut-manggut. Goyangkan kepala ke depan ke belakang, ke kiri dan ke kanan. Ikutan pula merem melek.
Ketika mulai terjaga, ruangan bus sudah mulai agak lengang, penumpang sebagian sudah turun. Mungkin di MPR, Slipi dan Tomang. Saya sendiri rencananya turun di Grogol dan harus melanjutkan perjalanan dengan Kopaja 88.
Ingatan baru tersadar ketika turun di Cengkareng, sepanjang perjalanan setelah saya transit ke bus, ternyata topi helm itu belum lepas dari kepala. Sejak itu saya punya julukan baru; Kura Batok.
Tuhan bersama orang-orang yang berkendara roda dua.