Selain Sate Padang, adakah yang lebih nikmat disantap di kala cuaca basah seperti sekarang ini? Pertanyaan ini beberapa kali saya tanyakan pada diri sendiri ketika lapar mendera usai perjalanan kereta sore dari Bogor menuju Jakarta. Belakangan saya mulai menambahkan makanan asal Minang ini ke dalam daftar makanan wajib sebagai menu favorit, selain kopi hitam, mie goreng, soto paru, dan tentu saja teh tawar panas.
Namun kata “nikmat” di paragraf awal sepertinya harus dipertanggungjawabkan: pertama, apakah dagingnya tipis-tipis, jika iya, ini akan menjadi pertanyaan yang sama ketika kita mengajak orang lain untuk mencicipinya, lalu tinggallah kita diolok-olok, “Nanti gue ajak ke sate padang langganan gue di sono,” cela seorang teman. Kedua, apakah ketupatnya terlalu sedikit karena porsi dari si pedagang hanya satu setengah porsi. Dan ketiga, Sate Padang paling pas disantap selagi panas – sampai saat ini belum pernah mencobanya dalam keadaan dingin, beda dengan kopi sore yang sering saya minum di malam hari.
Mereka yang berpengalaman makan Sate Padang ternyata punya teknik tersendiri untuk melahapnya. Mula-mula menggigit mulai dari pinggiran sate, kemudian berkeliling ke tengah; seperti sebuah konstruksi menuju klimaks. Setelah itu tusuk ketupatnya bersamaan dengan bumbu yang sudah dicelupkan. Jangan biarkan daging, ketupat dan bumbunya habis duluan. Ketiganya harus bersamaan, lebih-lebih jika bumbunya disisakan sebagai yang terakhir akan terlihat alami, betapa eksotisnya Sate Padang yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dengan kata lain, Sate Padang adalah makanan yang menghasilkan rasio terbaik yang mungkin antara kehematan dan efektivitas, antara seni dan aneka cara untuk mengonsumsinya.
Sebagaimana makanan lainnya yang lahir dari proses panjang sebuah budaya, Sate Padang rasanya diberkahi sifat elegan yang suplementer, karena diantara aneka ragam masakan eksotis, Sate Padang merupakan makanan yang menyatukan kelezatan dan kesederhanaan. Daging diiris-iris dan dilumuri dengan bumbu yang kaya rempah yang membuat rasa kuah sate begitu kaya akan cita rasa. Sedangkan air rebusan digunakan sebagai kuah kaldu, bahan membuat kuah sate. Bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan serai bercampur dengan berbagai macam cabai. Sate sendiri biasanya hanya dibakar ketika ada pesanan, menggunakan arang dari tempurung kelapa.
Saking sakaunya sama Sate Padang, pernah terbersit sebuah tanya, apakah makanan ini mengandung candu? Sebegitu parahkah kenikmatannya sampai-sampai seorang kawan pernah menghabiskan 45 tusuk dalam satu porsi? Kuning keemasan dalam kuah bumbunya seakan punya pesona tersendiri, seakan mewakili segala ritme, ritme perjuangan yang membahagiakan. Maka wajar, jika disimak secara seksama, kuahnya yang kental ini lebih mirip sama endapan darah, cairan yang kental dan vital bagi semua makhluk. Beruntung warna kuahnya tidak merah seperti darah.
Meski sebenarnya, seperti makanan daerah atau favorit lainnya, Sate Padang juga memiliki sifat yang tidak mempersoalkan kontradiksi. Substansinya tentu saja hal yang bisa membangkitkan gairah, misalnya, berfungsi sebagai penawar lapar yang efisien, atau setidaknya berfungsi sebagai alibi yang utama untuk mengonsumsinya. Habis 10 tusuk, gairah masih ada, bertambah menjadi 20 tusuk, begitu seterusnya.
Yang paling menyenangkan dan mengenyangkan adalah jika makan Sate Padang di deretan warung-warung pinggiran jalan. Usai melahapnya, kita pun bisa melangkah ke seberang warung rokok dan memesan minuman mineral. Bahkan jika masih terasa kurang, kita masih bisa memesan es kelapa dan nasi goreng di warung sebelahnya tanpa kita harus pindah tempat duduk. Jika memungkinkan, seluruh biayanya bisa ‘ditransfer’ melalui pedagang Sate Padang tadi. Nikmat dan begitu merakyat. Bandingkan jika makan di restoran mewah yang tidak boleh memesan minuman dan makanan dari luar.
Begitulah resistensi selera perut, ada kalanya harus berhadapan dengan hegemoni sosial paling atas. Bagi saya, setidaknya Sate Padang yang lezat masih banyak ditemui di pinggiran jalan. 🙂
sumber gambar: https://flic.kr/p/4Yanzo