Adhe. Ya, sependek itu nama yang saya kenal. Aktivis buku kelahiran Majalengka ini sempat melahirkan sebuah anak rohani dengan judul, “Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja”. Di Jogja, tak sedikit penerbit yang lahir dan bekerja di gang-gang sempit. Keterlaluan jika membayangkan semua penerbit itu seperti perusahaan dagang milik Jakob Oetama. Di tengah hiruk-pikuk aktivitas niaga, seperti biasa aksi-aksi culas selalu hadir. Namun terlepas dari itu, dunia penerbitan Jogja telah mengibarkan panji bahwa kota tersebut—terutama para pegiatnya, telah terbiasa dengan arus pemikiran dan wacana.
Hal ini—berdasarkan pengalaman pribadi, juga diperkuat persentuhan dengan beberapa penulis “didikan” Jogja. Mayoritas dari mereka adalah para penulis yang lincah berargumentasi, pandai berkisah, dan gesit dalam membedah persoalan dan wacana. Beberapa buku dan esainya sempat saya lahap, bahkan sebuah memoar telah berhasil mengubah haluan hidup saya. Pendeknya, dari teks-teks yang saya sentuh, juga dari mengamati aktivitas dan proses kreatif para penulisnya, Jogja adalah sewujud kota yang dinamis bagi para petualang intelektual. Pintu-pintu terbuka, siap menyambut para tamu yang hendak lebur.
Sedangkan dengan Bandung, pertemuan yang belum lama sebetulnya. Meskipun saya sempat mengecap pendidikan formal di sini, namun persinggungan dengan para pegiat bukunya bisa dibilang baru kemarin sore. Barangkali saya terlampau subjektif dan tak tepat dalam membandingkan dua objek, namun saya memang tak terlalu mengejar presisi.
Sejak saya berminat dengan sejarah, lingkungan, dan perkembangan kota Bandung, saya perlahan melihat sebuah pusaran yang khas dan buku menjadi pusat magnetnya. Namun agak berbeda dengan Jogja yang tak berhenti pada mengumpulkan teks sebagai bahan informasi, di sini rupanya ada kecenderungan menjadi mental penimbun.
Buku diburu, dikumpulkan, lalu dipajang di jejaring sosial, yang celakanya sedikit sekali yang mau membedahnya dengan kekayaan perspektif. Produksi yang terjadi bukan ide-ide segar, atau diskusi hangat yang multi-informasi, namun hanya sebatas puja-puji atas keberhasilan mendapatkan buku. Seseorang pernah bilang, bahwa jiwa kolektor tidak akan pernah puas dengan jumlah, dia akan selalu merasa kurang.
Kecuali para kamerad pejuang isu-isu kiri, serta sebagian kecil peminat filsafat, wajah riuh buku Bandung hari ini didominasi oleh para pemburu sejarah kota yang bertungkus-lumus di kanal-kanal daring, pasar-pasar loak, serta sudut-sudut kota dengan insting menyerupai para pengesan jejak. Wajah hampir homogen ini dilengkapi pula dengan miskinnya ruang-ruang diskusi yang egaliter dan kurang selo.
Identitas Kota Bandung yang akhir-akhir ini melekat padanya kata gimmick, bisa juga dimulai dengan mendefinisikan iklim perbukuannya. [ ]