Keping Rindu

Dibaca normal 4 menit

Baru-baru seorang kawan semasa SMA datang ke Jakarta. Dia seorang aparat kepolisian yang bertugas di Kalimantan Tengah. Kami bertemu dan ngobrol sampai larut malam bahkan dini hari. Maklum sudah hampir 12 tahun tidak bertemu. Singkat kata panjang perihal, dia mengajak saya untuk kerja di Kalimantan. “InsyaAllah banyak peluang bagus,” katanya. “Baik, biar saya timbang terlebih dahulu,” jawab saya pendek. Lusa setelah pertemuan itu dia pulang ke tempat bertugasnya.

Ihwal ajakan ini saya utarakan kepada kawan lain yang bekerja di Jakarta. Maka masukan dan nasihat menghambur serupa air hujan. Namun di penghujung bicaranya dia bilang, “Jangankan ke Kalimantan, saya mah di Jakarta juga sering kangen ke kampung halaman. Paling lama juga sebulan, setelah itu pasti pulang ke Sukabumi.” Saya hanya mendengarkan saja.

Di kontrakan bu haji tempat saya tinggal, sepulang kerja sudah nampak si Jun, kawan yang berasal dari Padang Panjang. Sehari-hari dia berdagang di ITC Cempaka Mas. Air mukanya nampak tidak sedang gembira, tidak seperti biasanya. Saya tanya, dan begini rupa jawabannya, “gua udah empat tahun ga pulang ke Padang, udah empat kali lebaran ga ketemu sama ibu gua, kangen juga ternyata.” Amboi, rupa-rupanya dia teringat kampung kelahiran.

Dan sore ini, di mikrolet 53 yang hendak meluncur ke Kota, abang sopir memutar lagu-lagu Batak. Tak paham memang saya artinya, namun ada sepotong lirik berbunyi begini, “Oh tanah Batak…oh tanah Batak…” Barangkali si abang juga tengah teringat tanah moyangnya. Seketika saya teringat sebait sajak Saut Situmorang.

O Jakarta metropolis pertama

Dongeng yang jadi silau mata

Makin sayup kini suara ibu

Dalam hiruk pikuk karnaval aspal hitammu

Dalam lamunan sore, saya menerka, rupa-rupanya kota ini telah menerbitkan kerinduan. Jakarta adalah keping-keping jiwa yang merindu pada tanah asal, tempat mula-mula ari-ari ditadah dan ditanam. Ketika tempat ibu mengayun dan menggendong jauh dipisahkan batas dan waktu, Jakarta mewujud sempurna sebagai tempat rantau yang meruncingkan gundah.

Namun di jalanan, hakikat kerinduan lenyap dalam keberingasan. Orang-orang berlomba saling serobot marka. Klakson bersahutan-sahutan sebagai nada usiran bukan mengingatkan. Waktu lampu merah menyala, pengendara terbiasa berhenti di zebra cross, pejalan kaki menyeberang penuh rasa was-was. Dalam macet yang mencekik, para pengendara motor tiba-tiba mengusai trotoar, sedangkan mobil merampas jalur khusus bus. Tak jarang terjadi perkelahian sesama pengendara roda dua, baku hantam di tengah jalan.

Seringkali saya berpikir, mencoba menghubung-hubungkan, bukankah rasa rindu akan kampung halaman mestinya menebarkan kearifan?. Di kampung, di mana keakraban sosial begitu menyengat dalam keseharian, mengapa tak juga menular ketika raga di rantau orang, terutama di jalanan. Mudik sebagai ritual meluruhkan rindu, yang kerap dibayar mahal dengan beratus-ratus tumbal kecelakaan lalu-lintas, kiranya kemesraan bersua dengan karib-kerabat, handai-taulan, tak dibawa di belantara jalanan yang semakin ganas. Sisi kemanusiaan tergadai, hilang entah ke mana, dia muncul lagi hanya ketika berkumpul dengan keluarga.

Keping rindu tidak kita temukan di jalanan yang terburu-buru. Barangkali saya berlebihan, namun penafsiran seperti apa yang terbit demi melihat bapak tua berlari untuk menyeberang, sedangkan lampu jalan tengah merah. Para pengendara tak kuasa menahan sabar melewati beberapa detik kendaraan terhenti. Di jalanan, peradaban tercermin dengan begitu telanjang.

Majalah Tarbawi edisi 15 Februari 2007, dengan begitu menghujam menulis kajian utamanya : Begitu Keluar Rumah Sering Kita Terlibat Pertikaian Murahan. Ya, rumah di sini, dan kampung halaman di sana; dua tempat yang kerap menyuburkan rindu, tak mampu menjadi “penerang” bagi para pengacau jalanan. Mereka seolah menaruh semua cinta, dan melaju dengan jiwa nirtoleransi. Biarlah, biarlah catatan ini disebut hiperbola.

“Kalau kau pergi, anakku. Siapa lagi kan menghibur hati ibu?” Begitu bait pembuka dalam sajak Andung-andung Petualang Saut Situmorang. Ya, di jalanan, kemesraan seperti itu telah tercerabut, tepat ketika “sang anak” pergi ke rantau dan tidak lagi bisa menghibur hati ibu. [ ]

Tinggalkan Balasan