/

Ramadan dan Mereka Yang Berpulang

Dibaca normal 4 menit

Abukhori terduduk lesu di sudut teras yang berdekatan dengan sebuah toilet. Separuh hari baru saja ia lewati ketika azan zuhur berkumandang dari masjid yang jaraknya 300 meter. Hari begitu menyengat di pertengahan Ramadan ini. Tak ada makan siang, kepulan asap rokok, dan secangkir kopi sebagai pelepas penat sekaligus sumber tenaga baru. Lelap, ia pun tertidur di teras tersebut.

Sudah 25 tahun lebih ia berprofesi sebagai tukang di sebuah klinik swasta di bilangan Bekasi Barat. Jika dikalkulasikan usianya kala itu yang masuk di angka 50, berarti setengah umurnya habis untuk pengabdian dan loyalitas. Siapa yang mengenalnya bakal menyebut kalau ia manusia serba bisa. Ia bisa menginstalasi listrik, pemugar bangunan, peracik arsitektur, bahkan petugas parkir yang handal. Untuk keahliannya yang terakhir ia kerap jalani usai magrib tiba. Kala pengunjung klinik ramai-ramainya.

Di bawah pohon mangga yang rindang, ia sering mengobrol dengan Agus Mulyadi yang membuka tokonya tepat di sisi kanan klinik tersebut. Pak Uwoh, sapaan akrab Agus Mulyadi, menjual ragam makanan dan alat-alat tulis, termasuk layanan fotokopi. Tokonya yang berdeketan dengan klinik menjadikan Pak Uwoh begitu akrab dengan pegawai dan dokter di klinik tersebut.

“Kalau ada umur, selain mesantren di NU, sesekali cobalah belajar agama di Muhammadiyah biar wawasan agamamu berimbang,” tukas Pak Uwoh di suatu sore kepada saya. Dalam beberapa hal, saya sering berdebat soal agama. Tetapi ia tak pernah mengharamkan dan melarang-larang ini itu. Bahkan saat ada undangan tahlil pun, ia kerap hadir.

“Yang penting kita sih pegang sama dalil masing-masing dah,” ujar Abukhori yang nimbrung di satu kesempatan. Ia masih bersarung sambil memegang secangkir kopi yang baru diseduhnya dari warung Pak Uwoh. Gelak tawa pun hadir ketika obrolan beralih pada cerita-cerita lucu yang terjadi di sekitar klinik. Seorang nenek baru saja komplain soal obat buang air besar yang dikiranya tak manjur. Terang saja tak kunjung sembuh sebab ucapan apoteker tak didengarnya secara jelas. “Ini dimasukannya ke dubur ya, nek? Bukan dicampur sama bubur,” ujar sang apoteker menahan tawa.

Ketika hari makin larut, Abukhori membereskan kursi plastiknya di pelataran parkir. Ia pergi ke kamarnya untuk rehat yang menempel dengan sebuah garasi. Sesekali ia bangun tengah malam untuk mengecek keadaan klinik. Pak Uwoh pun nampak sibuk membereskan dagangannya dibantu istri tercinta yang baru pulang kerja. Senyum simpul keduanya selalu dilemparkan kala berpamitan kepada siapa saja yang ada di sekitar klinik.

Entah ini Ramadan ke berapa saya mengingat dua sosok di atas sebagai orang-orang baik. Orang-orang yang menasihati tanpa menggurui. Orang-orang sederhana dengan gaya hidup sederhana pula. Abukhori meninggal dalam perjalanan mudiknya ke Cirebon. Sementara Pak Uwoh menyusul kemudian karena sakit yang berkepanjangan.

Ada Lebaran Usai Ramadan

Begitulah tentang orang-orang yang telah berpulang. Mereka sering kita ingat kala Ramadan tiba. Siapa yang terakhir duduk berhadapan kala sahur tahun lalu? Adakah ocehan mereka yang senantiasa menyiapkan makanan menunggu waktu buka puasa tiba? Buka bersama tahun lalu, siapa yang absen tahun ini? Dan ragam tanya yang senantiasa melintas dalam benak.

“Berlomba kita dengan sang waktu. Jenuhkah kita jawab sang waktu?” kata Iwan Fals dalam satu liriknya. Iwan seakan mengajak kita untuk bijak tentang berbagai kemungkinan yang sedang kita jalani. Bahwa ada waktunya bersedih, ada waktunya bergembira. Mungkin ini sepadan dan terkesan adil karena setelah Ramadan ada lebaran sebagai momen kegembiraan di antara begitu banyak kesedihan.

Abukhori dan Pak Uwoh kini sedang asyik bercengkrama di alam sana, di bawah pohon mangga. Abukhori nampak syahdu menikmati kopi hitamnya seraya menghisap kretek kesayangan. Pak Uwoh yang duduk di sampingnya lantas bertanya sambil memegang bahunya. “Berapa pendapatan parkir hari ini, Mang Abukh?”

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan