Lebaran dan Pulang

Dibaca normal 3 menit
1

Satu sore di tahun 1954, Sitor Situmorang mendapati sebuah pemandangan yang menakjubkan. Usai pulang dari rumah Pramoedya Ananta Toer, ia melewati sebuah pekuburan Eropa. Dilihatnya rembulan yang memantul melalui sela pepohonan tua nan rimbun. Pemandangan itu kemudian melahirkan sebuah karya yang fenomenal lewat sebuah sajak berjudul Malam Lebaran. Isi sajak ini sangat pendek, hanya beberapa kata saja:

bulan di atas kuburan

Dalam pengakuannya, saat itu Sitor ingin bersilaturahmi karena masih suasana Lebaran. Pulangnya, ia kehilangan arah sembari dihinggapi rasa kecewa karena Pram tidak ada di rumah. Melewati jalan berkelok dan licin, tibalah di sebuah pekuburan tersebut. Maka saat ia melihat cahaya bulan itu, seakan menemukan jalan pulang yang sesungguhnya.

***

Tatkala ritual mudik menjadi rutinitas tahunan, hakikatnya kita sedang memaknai jalan pulang, jalan rutin ke rumah sendiri, dan jalan kesedihan sekaligus kegembiraan. Selain itu, mudik juga bisa disebut sebagai “suplemen” demi kepuasan bersosial.  Siapa saja rela berdesak-desakan dan mengantre demi segenggam tiket mudik. Walaupun sudah menetap lama di Jakarta misalnya, toh kampung halaman adalah rumah sejati. Orang bisa mudik karena hidup merupakan cara kita pergi untuk kembali.

Betulkah lebaran itu hari keluarga dan sosial?

Seorang kawan saya tahun ini gagal mudik. Bukan karena tak sanggup membeli tiket, apalagi niat untuk memutuskan silaturahmi dengan keluarganya di kampung. Menurutnya, silaturahmi sekarang sudah bisa diatasi dengan hape. Bisa kapan saja dan di mana saja.  “Tuhan tidak akan pernah mempersulit kita,” ujarnya. Setiap selesai sahur ia rutin menelepon sang ibunda. Meski beberapa menit saja, ia senantiasa meminta do’a dari sang ibu. Sederhana tapi rutin.

Ketika saya tanya perasaannya soal tidak bisa berkumpul di hari raya, ia malah mengaku antara gembira dan sedih.  “Lebaran menurut saya adalah proses batin. Memenangkan perang atas diri sendiri, bukan melulu soal tradisi yang hiruk pikuk,” lanjutnya.

Pantas saja Umar Junus menafsirkan sajak “Malam Lebaran” dengan penggambaran bahwa bulan itu perlambang kegembiraan, dan kuburan adalah sebuah kesedihan. Maka menurutnya, “malam lebaran, bulan di atas kuburan”, maknanya adalah “malam lebaran merupakan kegembiraan di antara begitu banyak kesedihan.”

Kawan saya itu, semoga  betul-betul memaknai Idul Fitri sebagai hari kembali menuju kesederhanaan. Hari di mana jiwa kita digiring Tuhan kembali ke fitrahnya sebagai manusia. Sebagai pencari jalan pulang.

Begitupun saya. Maafkan lahir batin.

*ilustrasi gambar dari sini.

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan