/

Mudik dan Mereka yang Tertinggal

Dibaca normal 4 menit

Hujan yang mengguyur Kota Jakarta subuh tadi masih menyisakan jejak, hawa dingin yang membuat nyaman dan mengantuk tak memupus semangat sebagian orang untuk bergegas. Jumat, hari pertama di bulan Juli jatuh pada 26 Ramadan 1437 H.

“Teh, mudik gak?”

Tiba-tiba pertanyaan Pak Amin melintas di kepala, saat saya melihat seorang ayah tertawa sambil menggendong anaknya di ruang tunggu bandara Soekarno Hatta. Pak Amin, lelaki paruh baya yang menjadi ojek langganan biasanya mangkal di Halte UKI Cawang. Saya senantiasa menggunakan jasa beliau untuk menuju kantor di kawasan Setiabudi. Untuk rute yang satu ini, masuk dalam pengecualian penggunaaan aplikasi antar jemput online yang menjadi favorit bepergian. Bukan apa-apa, Pak Amin telah banyak berjasa sejak saya terjun ikut-ikutan mencari receh di Jakarta sejak lima tahun silam. Dari waktu tempuh yang dibutuhkan hanya sekitar 20 menit untuk jarak yang tak sampai 10 km hingga saat ini sudah hampir 1 jam lamanya jika menggunakan motor. Pak Amin cepat membaca situasi jalan, apakah pagi ini kami harus melintasi Jalan Tebet Dalam, lewat Kampung Melayu dengan menyusuri By Pass Kebon Nanas, Kuningan, atau bahkan jalan-jalan tikus yang tak pernah bisa saya hapal rutenya. Itu salah satu alasan saya untuk setia memakai jasa Pak Amin, sedang salah duanya adalah Pak Amin rajin membuat topik obrolan menarik pagi hari, obat bagi saya karena sering terkantuk-kantuk di atas motor karena rutinitas nyubuh ke kantor. Keras.

“Insya Allah tahun ini mudik Pak!” jawab saya dengan intonasi suara berlomba dengan deru knalpot bajaj.

“Oh seneng atuh ya Teh, tahun ini saya gak mudik euy, biayanya dipakai anak kedua masuk SMK” lanjut Pak Amin.

Kampungnya tak jauh memang, tak mesti menumpang pesawat terbang, namun biaya pergi pulang Jakarta – Kuningan bagi Pak Amin sekeluarga lebih berarti jika digunakan untuk persiapan sekolah nantinya. Pun bagi Pak Amin, tak cukup pengeluaran hanya sekadar di ongkos, pasti ada tambahan ini itu dan tetek bengek selama mudik. “Masak kita gak berbagi sama keluarga di kampung Teh, merantau ke Jakarta, pasti dianggap lebih sama mereka”, begitulah kata Pak Amin.

Ihwal para perantau yang pulang dengan membawa kelebihan ternyata memang terlihat dari panjangnya antrian bagasi pada check-in counter bandara. Kontras dengan wajah anak-anak dan para orang tua yang dihiasi raut sumringah, seperti tak sabar membawa segala yang didapat saat berpisah dengan tanah kelahiran.
Panggilan demi panggilan kepada penumpang dengan tujuan beragam terus terdengar di ruang tunggu. Bersyukurlah mereka yang masih memiliki kesempatan dan kemampuan untuk pulang ke kampung halaman, berkumpul dengan keluarga, berbagi cerita apa saja kepada handai tolan.

Sebelum jarum pendek arloji menunjukkan angka dua belas, tiba giliran penerbangan saya untuk boarding. Orang-orang tak lagi menunggu lama untuk naik ke pesawat. Sekali lagi bayangan tentang Pak Amin melintas di kepala, saya yakin beliau akan tetap memiliki hari raya yang ikhlas. Karena toh rasa akan rindu pada kampung halaman tak akan pernah terkikis, walau keromantisannya mungkin hanya bisa dikenang dari iklan dan berita di televisi. Segan bergalah hanyut serantau, sebuah pepatah lama yang berarti jika tidak mau berusaha dan berkorban maka (kita) akan mendapat kesulitan nantinya, dan hukum ini mesti berlaku bagi setiap perantau di kota-kota besar.

(Soekarno Hatta, 26 Ramadan 1437 H)

pemainkata

Warga kota yang menolak dungu dan berharap tak tersesat.

Tinggalkan Balasan