//

Selamat Ulang Tahun, Kota Kejam Kesayangan

Dibaca normal 2 menit
2

Tirulah ke-pede-an pengendara roda dua di Jakarta. Di jalur sebelum masuk sebuah gang sempit, kaki mereka masih bisa berfungsi sebagai penanda bahwa ia akan belok. Padahal lampu sein tetap menyala dan kaca spion pun masih utuh. Bahkan ketika armadanya sedang mengangkut gembolan banyak sekalipun.

Untungnya kaki mereka hanya mengayun beberapa derajat saja. Bayangkan kalau sampai ahli kesehatan menganjurkan akurasi kaki yang baik saat berbelok adalah 90 derajat. Tentunya bakal banyak tontonan akrobatik di jalanan Jakarta. Ini terjadi bukan hanya di satu titik. Di marka dan jalan-jalan protokol bahkan hal serupa sering kita temui.

Begitulah, kepercayaan diri bisa menjadi senjata paling ampuh untuk mengejar mimpi dan sejuta ambisi.

Seirama di lampu merah dan persimpangan, ke-pede-an pun menjalar kepada pengguna lain.  Di saat berpapasan dengan mobil pengangkut sampah misalnya, kerap kita mengutuk dan mengeluarkan sumpah serapah kendaraan pengangkut kotoran tersebut karena mengusik indera penciuman.  “Bangsatt! Baunya gak nahan.” Padahal jika ditelisik, toh umpatan itu akan mubazir jika pada akhirnya sampah-sampah yang ada di mobil itu adalah buangan dari rumah kita sendiri.

Lain di hari Jumat. Ketika waktu sembahyang tiba, berbondong-bondong orang mengantre di tempat wudhu dan penitipan sandal atau sepatu. Dalil sapu jagad “Ambil yang baik dan buang yang buruk” konon jadi momok yang menakutkan para jamaah. Untuk alasan itulah, sepatu dan sandal pantas untuk dititipkan sebagai hak milik. Karena di Jakarta, hal-hal sepele kadang mudah untuk lupa dan atau dilupakan. Alasan lain adalah karena sandalnya adalah pinjaman rekan kerja di kantor. Oke, untuk yang terakhir adalah curcol penulis. :p

Dari rangkaian kejadian di atas, kemudian timbul pertanyaan iseng, seberapa besar sih tingkat ke-pede-an warga Jakarta?

Selamat ulang tahun Jakarta, kota kejam kesayangan!

Video oleh Eugene Panji

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan