Generasi…generasi sekarang. Generasi sekarang ugal-ugalan. Ditindik-tindik badan pentolan, persis preman yang ada di Ragunan.
Senandung tiga anak usia belasan tahun menghibur beberapa orang yang sedang menikmati malam di bawah sebuah fly over. Satu orang memainkan perkusi. Satu lagi memainkan ukulele. Sedangkan satu anak lagi bertugas sebagai vokalis seraya memainkan kecrekan. Beberapa lirik sosial keluar dari tiga anak ini seakan mewakili hari penat yang tengah berlabuh.
Jakarta malam tengah bersolek. Meski sudah larut, Jakarta tak pernah tidur. Di seberang sebuah hotel mewah, kolong fly over ini berubah menjadi surga. Pedagang nasi goreng, soto, pecel, warkop, mie rebus, penjual pulsa, hingga penjual nasi padang. Mereka berbaur, berkelindan saling menopang hidup. Kepulan asap dan gelak tawa makin menambah irama malam yang terus berdendang.
Jakarta malam tak lengkap kehadirannya tanpa menonton aksi pengamen berdandan “setengah pria setengah wanita”. Saya termasuk manusia paling phobia dengan seniman jalanan yang satu ini.Β Berkali-kali pernah dihardik mereka karena dibilang pelit. Yang masih segar dalam ingatan adalah saat bekerja di sebuah toko ritel. Waktu itu, kaca di depan toko sudah tertulis jelas bahwa pengamen dilarang masuk, istilah halusnya, “Ngamen Gratis”. Tiba-tiba beberapa pengamen “setengah pria setengah wanita” ini masuk dengan lagu-lagu khas pantura. Ketika ditegur, mereka tak menggubris. Malah makin tenggelam dengan aksinya. Begitu saya menyerah dan memberi uang keterpaksaan, mereka nyelonong sambil menggerutu seraya melontarkan kalimat yang masih membekas, “Pelit kok pede banget sih, Bwooo!”. Di lain hari bahkan sudah menjurus pasal penghinaan fisik pula, “Muka jelek kok pede banget sih, Bwoo!”.
Begitulah tingkah pengamen “setengah pria setengah wanita” ini.Β Mereka bisa dijadikan bahan perenungan. Walau tak jarang, gaya mereka mengundang tawa tersendiri. Kadang sering terpikirkan, apa yang sebetulnya sedang saya tertawakan? Bukankah mereka juga sedang bertahan hidup? Apalagi di tengah hiruk pikuk Jakarta yang konon biaya hidupnya melebihi New York.
Kembali ke kolong fly over…
Daerah ini menghubungkan beberapa jalan protokol. Melalui fly over ini, kita yang dari arah Semanggi bisa melanjutkan perjalanan ke arah Kebayoran Lama, Kebon Jeruk, hingga Ciledug. Sebaliknya dari arah Grogol, kita bisa menuju Tanah Abang, Monas, atau ke Kota Tua.
Di jam-jam sibuk kantor, kadang ada beberapa polisi yang mengawasi pengendara yang kerap melawan arah. Sejatinya, pengendara motor dari arah Kebayoran harus berbalik arah cukup jauh jika ingin menuju Semanggi. Namun kita semua tahu, polisi suka tidur sebelum waktunya sehingga para pelanggar bisa percaya diri menyalahi aturan.
KolongΒ fly over akan sangat ramai di hari kerja karena para pelanggan adalah karyawan perkantoran yang ada di sekitarnya. Kantor sebuah bank kenamaan dengan ratusan karyawannya kerap mendominasi area ini kala makan siang. Beberapa meter di samping kiri, ada puluhan karyawan hotel berbintang empat yang menu makan siangnya tentu saja tak sama dengan para manajer hotel. Jauh di seberang, sebuah mall megah berdiri menjadi ikon wilayah ini.
Menariknya, bukan hanya tempat makanan yang ada di bawah fly over tersebut. Terdapat juga sebuah musala berkapasitas puluhan jamaah dengan desain unik khas Betawi, lengkap dengan AC alaminya. Maka jangan heran, meski ada rambu “Dilarang Tidur di Musala” cukup jelas, suasana nyaman dengan angin sepoinya mampu dijadikan alternatif bagi para office boy untuk mencuri tidur.
Orang Jakarta sungguh percaya diri.Β Ragam anomali begitu mudah ditemukan di setiap sudutnya. Terlihat menonjol jutaan disparitas yang nampak antara gedung perkantoran megah dengan sebuahΒ fly overΒ di seberangnya. Semuanya terbungkus rapi dalam parade Jakarta yang membentuk hegemoni sosiokultural penghuninya.
Gerutu pengamen “setengah pria setengah wanita” di atas mungkin bisa kita balas dengan pekikan sederhana, “Hidup di Jakarta harus pede, Bwoo!”