Beberapa waktu lalu dalam sebuah obrolan ringkas, saya berkelakar bahwa NgoJak itu sebuah metode dakwah universal. Apalagi jika terkait dengan filosofi sungai yang menjadi benang merah jalur jelajah. Kebetulan obrolan sendiri bertepatan dengan perayaan Isra Miraj yang kita tahu mengisahkan perjalanan relijius Kanjeng Nabi dari Makkah menuju Madinah, lantas menuju Langit.
Kanjeng Nabi yang dipercaya sebagai penutup risalah ini hidup dalam pusaran peradaban yang sudah berkembang pesat, diapit oleh dua kepercayaan besar yang sudah banyak pengikutnya, bahkan sampai hari ini. Singkat cerita, ia bertemu Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, pun para pendahulunya. Untuk apa? Belajar beradab, belajar mengenal masa silam, lalu mengapresiasinya dalam bungkus kekinian.
Teman saya mengernyitkan dahi ketika cerita ini saya sampaikan di atas sembari mesam-mesem, entah mengiyakan, entah sama-sama gak ngerti. Bukankah NgoJak juga begitu? Jangan takabur, seorang kawan lain mengingatkan. Kemudian saya memberikan analisa lain lagi soal filosofi sungai, di mana jalur jelajahnya sudah mendekati Muara Ci Liwung. Ci Liwung ini makin jauh dari hulu. Airnya sudah butek dan bercampur dengan ragam-ragam dan kandungan. Bukankah ini mirip kita sebagai manusia milenial akhir zaman yang jauh dengan sumber mata air; pembawa pesan 1400 tahun silam itu?
“Gilak! Gilak! Kepikiran sia begini,” kawan lainnya menutup obrolan sore itu. Padahal saya belum sampai pada penjelasan mengapa NgoJak selalu dipertemukan dengan keberagaman yang jika ditelusuri, sebagaimana seorang agamawan bilang, sejalan dengan bacaan doa dalam gerakan tahiyat dalam salat. Huhah!
Ngojak akan terus memproduksi pengetahuan yang tetap bermanfaat bagi 10, 15, 30 tahun yang akan datang dan mengajak khalayak untuk terus peka dengan hal-hal kekinian yang terjadi di sekitar. Kecenderungan mengamati hal-hal sepele yang kerap luput dalam keseharian. Misalnya bagaimana rasa penasaran saya sampai hari ini soal keberadaan para seniman dangdut dorong yang saban hari hilir mudik dan mudah ditemui di sepanjang jalan di sekitar kantor. Dari mana mereka berasal? Siapa yang menjadi ‘sesepuh’ mereka? Adakah regenerasi dan upaya-upaya lain agar tetap bertahan? Atau rasa ingin tahu saya pada pemilik warung kopi yang sedikit berinovasi dalam menata tempat duduk, pun dalam hal menu makanan yang mereka sajikan. Meskipun pada titik kecewa karena pada akhirnya mereka jualan rokok. Belasan tahun mengamati, warkop biasanya ada etika tidak menjual rokok sebab kehadiran warung kelontongan yang ada di sampingnya.
**
Sampai jam 10 pagi ini saya bersiteguh untuk tidak berpartisipasi di Pemilu. Seenggaknya ini bakal jadi hattrick guna melengkapi 2 pemilu sebelumnya. Tetapi iman saya goyah ketika membaca kembali perjalanan NgoJak di atas. Satu hal lainnya yang memengaruhi adalah konsep ‘menunggu giliran’ para partisipan pemilu. Entah tulisan ini disebut juga dengan cocokologi, ya bisa juga . Calon pemilih yang mengantre menunggu giliran dipanggil ke bilik suara, atau para perantau yang menunggu giliran berpartisipasi pada jam tertentu, manusia-manusia yang masih ragu menunggu giliran pada pilihan-pilihan: ikut atau tidak ikut, pilih 01 atau 02.
NgoJak sendiri, mungkin teman-teman yang sering ikut akan tahu bagaimana cara ikutan NgoJak begitu poster ajakan tayang di media sosial. Meski gratis, para peserta harus terdaftar sebagai anggota di website dengan mengisi sejumlah formulir identitas, kemudian konfirmasi kehadiran pada nomor yang tertera dalam poster. Itupun belum tentu otomatis menjadi peserta jika kuota maksimal 40 orang sudah terpenuhi. Jadilah masuk dalam daftar tunggu sembari berharap ada yang mengundurkan diri pada hari H. Ada ketentuan bisa jadi peserta pilihan bagi yang mengirim tulisan sebagaimana tertera dalam maklumat website ini. Semua peserta NgoJak pada hakikatnya sedang menunggu giliran. Ada yang diberi kesempatan sampai beres, ada juga yang hanya bisa ikut sampai setengah perjalanan saja.
Pemilu 2019,-di luar gaung pemilihan DPR dan turunannya, memang memuakkan sekali dengan sampah-sampah visual yang disajikan para pengusung kedua calon presiden. Fanatisme berlebih berserakan, membebek dan membabi buta. Bahasa umpatan binatang turun derajatnya pada pelabelan cebong dan kampret.
Namun begitu melihat kiri kanan, pun yang terjadi di depan dan belakang sekitar tempat domisili, orang-orang berduyun-duyun ke kotak suara sejak pagi. Berita-berita antusiasnya para pemilih melalui media. Tetapi yang perlu diingat dan penting adalah partisipasi ke TPS 5 tahunan ini tidak melulu jadi tolak ukur sebagai ritual menentukan arah bangsa ke depan. Mengutip Cak Nun, bukan kah hidup itu adalah sebuah pergerakan? Maju, mundur, jalan di tempat, dihampiri rasa penat, pun tetap berpikir kritis soal hal-hal di luar tembok akal sehat.
Iya, kita semua memang sedang dihadirkan pada hal yang ‘menunggu giliran’. NgoJak akan sampai pada giliran selesai jalur jelajah Ci Liwungnya, pemilu akan sampai pada giliran sumpah jabatan siapa yang terpilihnya, juga ada masanya kita sampai pada giliran lain-lain.
Saya tidak takut negeri ini dipimpin oleh Jokowi maupun Prabowo. Saya hanya takut menjadi manusia pelupa bahwa ada Zat yang menggerakkan bagaimana mesin ‘menunggu giliran’ berputar, pun semua-semua dalam diri, pun semua-semua yang ada di sekiling kita.