Tolak Bala dan Mandi Keris
Menjelang Maulid Nabi, tradisi budaya lainnya di Karadenan Kaum adalah memandikan keris dan ritual tolak bala. Ritual tolak bala adalah pembacaan doa dengan menghadap ke seluruh arah mata angin. Dilakukan setiap kamis malam selama bulan Safar dan ditutup dengan ritual Sedekah Kupat. Tujuannya untuk mencegah penyakit dan perlindungan. Sedangkan upacara memandikan keris pada acara Maulid Nabi, prosesinya sudah dimulai sejak 3 bulan sebelumnya.
“Keris direndam dengan air kelapa selama tiga bulan. Meskipun sekarang sudah ada cairan pembersih kimia yang prosesnya bisa dilakukan hanya dua minggu sebelum Maulid, tapi kami tetap gunakan air kelapa untuk merendam keris” tutur Raden Dadang Supadma.
Pada tahun 2015, warga membangun Musium (begitu tulisannya) Keris di lantai dua bangunan Mesjid Al-Atiqiyah. Keris yang tersimpan di bangunan itu sekitar 50 buah. Keris tetap milik warga tetapi dititipkan di musium. Menurut Raden Dadang Supadma, jumlah itu hanya sebagian kecil atau sekitar 30 persen keris milik warga. Sangat mengasyikkan melihat berbagai jenis keris dengan bentuk dan pola logam yang beranekaragam. Karena tidak ada satupun dari kami yang paham benar tentang aneka jenis keris, sebagian dari kami sibuk menebak-nebak asal dan fungsi keris yang menarik perhatian kami.

Perdebatan Tahun Pendirian Al-Atiqiyah
Selain keris, hal lain yang menarik perhatian kami adalah dua batu besar, yang menurut Raden Dadang Supadma adalah bekas lantai mesjid. Renovasi total Mesjid Al-Atiqiyah tidak lagi menyisakan jejak bentuk asli mesjid ini. Juga, tidak ada dokumentasi catatan dan gambar tentang seperti apa bentuk mesjid ini di masa lalu. Tahun pendirian mesjid pun menjadi perdebatan. Sebagian sumber mengatakan mesjid berdiri pada tahun 1550. Hal ini bertentangan dengan keyakinan Raden Dadang Supadma dan warga Karadenan Kaum.
“Menurut tetua kami, di salah satu pilar mesjid ini dulu tertulis huruf 1667 dalam huruf Arab. Cerita ini diwariskan turun temurun hingga saya dan generasi selanjutnya” kata Raden Dadang Supadma. Ia melanjutkan. “Kalau dihubungkan dengan silsilah, tahun 1550 masih jaman Pajajaran. Padahal Raden Syafe’i adalah cucunya Pangeran Sangiang dari Kerajaan Pajajaran. Jadi secara hitungan tahun gak masuk”.
Kendati masih banyak hal yang bisa diperdebatkan dalam penuturan tentang Karadenan Kaum yang kami simak hari itu, tetap saja kunjungan singkat di hari Minggu di bulan Agustus ini sangatlah menarik.
Hal yang menjadi perenungan adalah betapa kayanya ragam tradisi dan budaya kita. Hal lain adalah mulai melatih diri untuk merekam dan mendokumentasi kunjungan seperti ini. Budaya bertutur secara turun temurun adalah bagian dari tradisi kita yang perlu pendokumentasian tulisan, foto dan akan lebih baik lagi jika ditunjang dengan penelitian untuk menyatukan keping-keping sejarah peradaban yang membentuk bangsa Indonesia.
Perenungan lainnya adalah bagaimana agar tradisi dan budaya ini dapat lestari, bertahan dari tekanan zaman, termasuk tekanan sosial dan agama yang kadang bertentangan dengan tradisi dan ritual sebuah masyarakat. Perenungan ini akan semakin panjang dan membuka ruang-ruang diskusi baru. Sungguh menyenangkan bisa mendapatkan pengalaman ini dan berbagi bersama teman-teman baru dari Ngopi Jakarta.