//

Kamu Mutan Jakarta?

Dibaca normal 5 menit
1

Imunologi.

Ah, saya memulai tulisan ini dengan kata yang rumit. Tapi tak apalah. Hari saya memang rumit sedari pagi. Tapi bukan ini yang ingin saya bahas. Imunologi adalah satu mata kuliah yang sukses membuat saya ternganga-nganga. Bukan, bukan karena mengantuk yang dilanjutkan dengan ileran. Melainkan nganga karena terpana. Bukan pula karena saya anak berbakat cumlaude dan kutu buku kala itu. Tapi mengkaji bagaimana tubuh ternyata punya mekanisme teramat detail untuk menyingkirkan semua potensi yang membahayakan jiwa membuat saya bergidik saking kagumnya. Mulai dari sistem perlindungan kulit yang jadi garda pertama pencegahan masuknya penyusup jahat yang bikin kita sakit. Sampai tentara-tentara molekuler yang siap menelan, menyedot, melumpuhkan, dan mengingat siapa pun yang dengan kurang ajarnya masuk dan kemudian dibanderol jadi “musuh” tubuh.

Kalau kamu suka nonton film kolosal dengan segala strategi perangnya, begitulah kira-kira tubuh setiap milidetiknya bertempur. Edan. Peperangan skala mikroskopis! Nah, kebayang kan gimana saya mengisi soal-soal ujian dengan sangat lancar karena seperti sedang menceritakan scene-scene film perang yang tegang dan penuh intrik. Oke, sampai sini saja saya berkisah mengenai imunologi. Karena saya sudah mulai terdengar seperti sales yang sedang menjual panci presto.

Lalu apa hubungannya dengan Jakarta?

Ada. 

Apa?

Ah, di hari yang rumit ini, untungnya saya sedang suka memberi tahu. Bagi saya, Jakarta itu layaknya organisme yang kebetulan saja melekat pada peta Indonesia. Organisme yang tiap tahunnya didatangi “virus” pendatang. Sebagai sebuah organisme hidup, ia pun punya kepribadian. Kebetulan, Jakarta punya daya tarik yang memesona banyak “virus” hasil urbanisasi. Haha. Jakarta itu cantik, tapi galak. Punya bahu yang enak untuk disenderi nasib, sekaligus tegas dan keras. Dan layaknya organisme, ia pun punya sistem kekebalan tubuh.

Dan saya adalah salah satu dari jutaan “virus” pendatang di tubuh Ibu Kota cantik ini. Sejak 15 tahun lalu. Kamu juga?

Dulu, saya datang ke Jakarta untuk kuliah. Sebagai mojang Bandung, saya awalnya stres disergap “tentara imunitas” Jakarta, bernama gerak-cepat-kalo-gak-lo-bakal-dilindes. Tiap hari, sebagai “virus”, saya juga mempelajari bagaimana kekebalan Ibu Kota mengusir dan memusnahkan pendatang. Saya belajar menyusup. Mengelabui Jakarta dengan cara mengikuti gerak dan ritmenya. Bahwa di tanah ini, basa-basi gak ada gunanya, to the point lebih disukai. Bahwa curiga atas gerak-gerik orang dalam keramaian bukan parno, tapi waspada. Bahwa sikap “mendingan lo urus problem lo gak usah ngurusin yang laen dulu” lebih dihargai sebagai menjaga privasi. Gak ada yang salah, ini hanya tentang strategi bertahan.

Sejujurnya saya gak sadar sih melakukan itu. Kesadaran itu muncul ketika saya berlibur ke kampung kelahiran. Saya mendadak gagu ketika harus berbasa-basi. Dan mulai merasa memang itu tidak perlu. Lalu, saya kurang suka dicampuri urusannya walaupun atas dasar kepedulian, karena saya juga menghormati privasi. Intinya, saya gak merasa “cocok” lagi di tanah tempat saya dibesarkan. Saya lebih suka Jakarta yang berisik, keras, terang benderang, ramai, panas, dan individual.

Rupanya, saya sudah “bermutasi”.

Tahukah kamu, bahwa sistem kekebalan tubuh manusia bisa mengenali virus yang pernah masuk dari konfigurasi proteinnya? Sehingga alarm akan meraung-raung kalau tentara level depan mencium gelagat “penyusup” yang konfigurasi proteinnya dikenali. Inilah mengapa HIV bisa lestari, karena sebelum tentara immune sytem memindai, ia mengubah proteinnya. Tubuh pun macam orang buta yang gak liat maling lewat.

Nah, saya rupanya demikian. Untuk bisa bertahan selama misi penyusupan di tubuh Jakarta demi bisa berkarya dan meraup daya, saya mengubah banyak hal. Hingga Jakarta tak menendang saya dari tiap denyutnya.

Saya makin ngeh, ketika teman-teman SMA di Bandung yang juga akhirnya jadi “virus” di Jakarta sering berkeluh kesah di status sosial medianya. “Aduh kangen Bandung, panas bener di sini”. Atau “Emang gak ada bakso dan jajanan enak di Jakarta, gak kaya di Bandung”. Bisa juga, “Macet paraaaah, mana panas. Kangen dinginnya Bandung”.

Ah iya, mereka belum jadi mutan. Masih bergelut dengan sistem kekebalan tubuh Jakarta. Yang ujung prosesnya ngasih dua pilihan: bermutasi lalu survive atau ngeluh terus ampe ditendang keluar sama Jakarta.

Kamu, mutan Jakarta?

NB: Saya mutan, tapi mutan cantik tanpa ekor apalagi tanduk. Sekian.

Tinggalkan Balasan