Politik Jawa Jokowi Pasca-Ahok

Dibaca normal 7 menit

Setelah Ahok habis, kini Jokowi dan koalisinya ada baiknya segera move on dan beralih ke Jawa Barat dan Jawa Timur.

Ahok kalah. Sosok yang setahun lalu nampak sebagai calon tak terkalahkan ini harus menerima nasib menjadi warga DKI biasa selama lima tahun kedepan setelah ia dan Djarot Saeful Hidayat kalah suara oleh Anies Baswedan dan pasangannya, Sandiaga Uno. Ibarat sepakbola, Ahok adalah Real Madrid era 2003-2005, sadis dalam menyerang, tapi sering melakukan blunder. Blunder tersebut, disikat habis oleh lawan-lawannya. Ahok terbantai oleh kesalahannya sendiri.

Kekalahan di DKI tentunya sangat merugikan posisi politik Jokowi. Jokowi terpilih dalam posisi penguasa-oposisi yang 50-50. Sama kuat antara kubu Jokowi dan kubu Prabowo. Partai-partai in between kubu Jokowi dan kubu Prabowo bergerak cenderung random diantara kedua polar tersebut, harap maklum, untuk mencari makan diantara porsi-porsi PDIP, Gerindra, dan Golkar. Sebagaimana teori atas bipolaritas politik, akan selalu ada perang dingin antara dua kubu, dan dalam diam, keduanya kasak-kusuk mencari sekutu untuk menjadi satu tahap lebih kuat dibanding musuhnya.

Jawa adalah kunci, begitu dialog palsu Aidit di film Pengkhianatan G30S/PKI yang selalu tayang di tanggal 30 September malam saat Orde Baru. Tak salah, Jawa, meskipun tak mutlak, adalah salah satu kunci pokok untuk memenangkan persaingan politik tingkat nasional. Jokowi, sembari kerja keras membangun infrastruktur, pasti tidak akan luput dari plot penguasaan Jawa. 2014 kedua kubu cenderung seimbang di Jawa, dan Jokowi justru memiliki keunggulan suara di Indonesia Timur. Namun jika bisa menguasai Jawa, tentunya akan jauh lebih mudah bagi Jokowi untuk menang di 2019.

Setelah Ahok habis, kini Jokowi dan koalisinya ada baiknya segera move on dan beralih ke Jawa Barat dan Jawa Timur. Jawa Barat sudah 10 tahun dikuasai PKS lewat Ahmad Heryawan, dan Jawa Timur 10 tahun dikuasai Demokrat melalui Pakde Karwo. Sejak jauh hari sebenarnya bukan tidak ada persiapan dari kubu Jokowi. Di Jawa Barat, si golden boy Ridwan Kamil sudah merapat, meskipun melalui “tim satelit” Nasional Demokrat (Nasdem). Di Jawa Timur, PDIP memiliki tabungan di diri Tri Rismaharini, sosok yang sangat populer di Surabaya.

Ridwan Kamil, dalam waktu empat tahun, mampu memenangkan hati kebanyakan warga Bandung, dan sebagian warga Jawa Barat. Citranya yang muda, gaul, komunikatif, sekaligus seakan kaya dengan ide kreatif akan gimmick kota, menjadikannya sosok yang sangat populer. Namun ada faktor lain yang mesti dicermati koalisi penguasa pada Ridwan Kamil. Saat maju menjadi Walikota Bandung, Ridwan Kamil disokong oleh Gerindra dan PKS. PKS adalah partai yang sudah lebih dari satu dekade menguasai Jawa Barat.

Budaya Islam ala Hizbut Tahrir yang menghiasi PKS rupanya sangat berkenan di sanubari warga Jawa Barat pasca reformasi yang mungkin cukup berjarak dengan Islam tradisional ala Jawa Timur yang diusung PKB/NU, ataupun nasionalisme kerakyatan yang diusung PDIP. Bandung sebagai barometer budaya intelektual di Jawa Barat secara sejarah sangat dekat dengan PKS, yang lahir dari pergerakan aktivis Islam kampus saat Orde Baru.

Budaya yang sama juga bisa ditemui di basis suara besar lain : Kota dan Kabupaten Bekasi, Depok, Bogor, dan Sukabumi. Sehingga mulus bagi Kang Aher untuk bisa melaju dua periode sebagai gubernur. Jika pada perkembangannya Ridwan Kamil memilih merapat pada Kubu Jokowi secara total dan meninggalkan PKS, akan jadi perjuangan berat bagi Ridwan Kamil, apalagi pasca sentimen anti-Ahok yang terasa betul merambat hingga ke kaum muslim di kota-kota besar Jawa Barat. Bila benar gosip bahwa Netty Heryawan dan Dedi Mulyadi akan maju pula di 2018, masing-masing via koalisi Prabowo dan sisa kekuatan Golkar, sangat mungkin mereka, terutama Netty, yang akan mendulang untung dari pencitraannya seperti Anies Baswedan.

Di Jawa Timur posisi Jokowi juga masih belum aman. Pakde Karwo, yang tidak terhentikan selama dua periode, bahkan oleh badai yang melanda Demokrat sekalipun, membuktikan bahwa politik Jawa Timur tak melulu soal PKB dan NU. Kinerja kinclong Risma di Surabaya kemungkinan besar akan membentur kembali budaya pemilih Jawa Timur, yang belum beranjak dari pengaruh besar dogma agama. Setelah Ahok dilibas, Jokowi sebaiknya jangan dulu berjudi menempatkan Risma, yang seorang minoritas (via jenis kelaminnya) sebagai ujung tombak. Kunci Jokowi di Jawa Timur adalah sosok bernama Saifullah Yusuf atau akrab disapa Gus Ipul.

Gus Ipul adalah seorang pembelot bagi PDIP, namun merupakan sosok yang sangat populer di mata kaum muslim tradisional Jawa Timur. Jika Jokowi menginginkan Risma menang di Jawa Timur, salah satu cara terbaik mungkin adalah dengan membonceng Gus Ipul. Gus Ipul menjadi calon gubernur, dan Risma menjadi wakil.  Peluang kombinasi ini memiliki faktor penentu utama, yaitu bagaimana PDIP dan Jokowi berkomunikasi dengan Muhaimin Iskandar.

Cak Imin adalah seorang politisi hebat, yang tak segan merebut PKB dari keluarga Wahid, meliuk-liuk di antara pemain-pemain besar, dan menang besar, di Pemilu parlemen 2014, mengambil publikasi-publikasi beresiko (ingat Rhoma Irama?), dan bermain api dengan banyak pihak, seperti pasca Jokowi naik sebagai presiden. Gus Ipul mungkin adalah satu-satunya kekuatan PKB di level provinsi, sehingga tidak akan mudah bagi Cak Imin untuk melepas Gus Ipul ke sembarang tawaran. Apalagi juga ada kemungkinan bagi Cak Imin untuk mengorbitkan Abdullah Azwar Anas, yang kian mengkilap di ujung Jawa.

Jelas kedua misi ini tidak akan mudah untuk Jokowi. Apalagi pada kondisi Ganjar Pranowo di Jawa Tengah yang belum memperoleh publikasi yang baik selama memimpin Jawa Tengah, serta ambiguitas politik Sri Sultan Hamengkubuwono X. 2019 harus dimulai dari nol lagi oleh koalisi Jokowi setelah hari ini. Tidak boleh ada lagi blunder besar di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Tinggalkan Balasan