Jakarta nan Melankolis; Obrolan Tentang Cuaca dan Rasa  

Dibaca normal 4 menit
3

Di satu sore gerimis bulan November, kawasan Jakarta Selatan basah. Beberapa pengendara motor menepi untuk berteduh. “Awet nih kalau hujannya begini,” tutur Pak Gultom, mekanik sekaligus pemilik bengkel yang jaraknya tak jauh di deretan kantor yang ada di Jalan Mohammad Kahfi, Cipedak. Ia sedang membetulkan ban motor saya yang bocor. Beberapa saat sebelumnya, Pak Gultom baru membetulkan kasus yang sama.  “Kupikir yang tadi itu teman kau!” ujarnya dengan logat Batak yang kental.

Lantas saya membuka obrolan tentang cuaca yang ekstrim belakangan ini.  Selanjutnya ia sendiri mulai banyak bercerita tentang berbagai hal. Mulai dari banjir, kemacetan, hingga suasana politik era 80-an. Ngobrolin soal politik, kondisi Jakarta saat itu sangat rawan dengan premanisme dan permainan para mafia. Korupsi sangat tertutup rapat karena dari satu instansi ke instansi lain selalu ada yang melindungi, siapa lagi kalau bukan yang punya kuasa. “Sekarang ini beda jaman, siapa saja bisa bersuara. Dulu mana bisa kau teriak-teriakin presiden sembarangan. Yang ada malah kau hilang dan tinggal nama,” ujarnya dengan semangat menggebu. Ia sendiri sudah merantau ke Jakarta sejak tahun 1981. Ia bisa saya ajak ngobrol sambil menunggu pekerjaanya usai. Ban motor yang bocor sedang dipanaskan oleh press ban elektrik yang dimilikinya. Hujan belum juga reda. Apa yang dikatakan Pak Gultom benar.

Setengah jam berlalu, tak ada tanda-tanda air dari langit itu akan berhenti. Alam rupanya sedang kembali ke siklusnya: November is Rain, kata GNR. Padahal awal September lalu, kekeringan masih melanda beberapa daerah hingga mengkhawatirkan para petani yang selalu menyediakan logistik bagi orang kota. Kini musim hujan membawa berkah petani, meskipun ini menjadi pertanda ketakutan bagi orang kota seperti Jakarta. Apalagi kalau bukan banjir dan kemacetan seperti terjadi hari Jumat kemarin, 28/11/2014. Linimasa penuh dengan keluh kesah karena tiba ke rumah hampir tengah malam. Belum lagi kalau hari Sabtunya disuruh masuk kantor karena lembur atau karena memang masih jam kerja. Dibanding seorang pemimpin yang galak, macet dan banjir rupanya dua momok paling menakutkan bagi warga Jakarta.

***

“Kamu mah melankolis habis!” hardik seorang kawan melalui pesan singkat daring. Ia tak tahan ketika saya membanding-bandingkan sebuah kondisi dalam sebuah organisasi, kenyataan sekarang dengan keadaan sebelumnya. Saat itu saya berkilah, “Lho, bukannya sejarah masa lalu itu diperlukan sebagai media pembelajaran ya?”. Ada hal baik yang layak dipertahankan, tak sedikit pula yang harus dibuang. Kawan saya masih kesal, terus saja membrondong hardikan, “Melankolis, sanguitis, koleris, plegmatis!”. Agak lebay, saya sempat membayangkan seorang guru sejarah yang sedang mengabarkan kejayaan masa lalu bangsanya kemudian dihardik para murid, “Bapak melankolis, sanguitis, koleris, plegmatis!”

Belakangan saya berpikir, mungkin ada benarnya apa yang ditujukan kawan saya tersebut bahwa saya melankolis.  Kawan saya di Bandung, seorang psikolog pernah bilang bahwa melankolis itu punya kelemahan buruk yang berhubungan erat dengan perasaan haru. Tipe manusia seperti ini sangat sensitif dengan hal-hal yang sifatnya merangsang kejiwaan dan emosi. Misalnya saja, saya mudah terharu dan menangis terbata-bata ketika Indonesia Raya dinyanyikan bersama puluhan ribu orang di dalam stadion.

Ditambahkannya, melankolis juga erat kaitannya dengan aneka rasa yang sering menghampirinya. Rasa penat, rasa yang mengganjal, rasa yang tak mengejawantah, rasa yang membungkam tembok akal. Ia juga tipe yang sulit untuk mengungkapkan perasaannnya kepada orang lain dan lebih memilih, biarlah ia sendiri yang menikmati rasa itu.

***

Seminggu lalu, saya kembali mampir ke bengkel Pak Gultom untuk mengganti pelumas motor. Wajahnya nampak sumringah karena hari itu bengkelnya ramai pengunjung. “Usaha saya tergantung keapesan orang di jalan. Tapi saya tidak serta merta mendoakan mereka bernasib naas. Hehehe,” ujarnya.

Rejeki memang tidak kemana-mana ya, Pak. Sebagaimana cuaca dan rasa, segalanya memang tergantung kesiapan kita. Menghindari ataukah malah asyik menikmatinya dengan gembira seperti tulisan tak penting ini.

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan