/

Dari Presiden ke Presiden…

Dibaca normal 5 menit

Bagi orang Brasil, sepak bola itu alam “bawah sadar”. Entah pemain maupun penontonnya, sepak bola mampu menjauhkan diri dari berbagai persoalan hidup.  Sejak era Zagalo, Vava, Pele,  Garrincha, hingga era Ramires, Hulk, dan Neymar sekarang.  Si kulit bundar mampu melekatkan ikon Brasil sebagai mutiaranya pemain hebat. Pemain-pemain ini mampu menyihir lawannya dengan tipuan fatamorgana. Penonton pun tak tinggal diam. Jika tim nasional bertanding,  mereka melakukan ritual tarian samba di dalam stadion, percis apa yang sering digelar sepanjang Februari di Rio De Jenairo.

Brasil tahun ini adalah tuan rumah Piala Dunia. Dan dinihari nanti mereka masuk semifinal untuk bertemu Jerman. Meski bintang mereka, Neymar, dipastikan absen karena cedera, Brasil justru diuntungkan dengan kondisi psikologis. ”Pemain dalam kondisi fisik dan psikologis bagus dan tahu apa yang harus dilakukan untuk juara dunia,” ujar gelandang Jerman, Bastian Schweinsteiger.

Bagaimana dengan Jerman?

“Piala Dunia tanpa Jerman seperti kita menonton film Star Wars tanpa  Darth Vader,” ujar David Winner, seorang penulis buku Brilliant Orange, the Neurotic of Dutch Football. Ia juga menambahkan, “Jerman adalah pemeran terhebat sejarah sepak bola antarbangsa. “

Usai menundukkan Perancis di fase 8 besar, Jerman mencatat rekor sebagai tim pertama yang lolos ke semifinal Piala Dunia empat kali berturut-turut. Piala Dunia edisi sebelumnya, Jerman lolos ke semifinal pada tahun 2002, 2006, dan 2010.  Sayang, tak satupun tropi dibawa pulang oleh tim berjuluk The Mannschaft.

Kita yang di Indonesia tentu tak mau melewatkan duel dua raksasa Latin dan Eropa ini.  Menariknya, selain semifinal nanti masih di suasana ramadan, besok juga kita akan berpesta demokrasi. Ya, pemilihan Presiden.  Aromanya menjadi menarik karena erat kaitannya dengan dukung mendukung. Sedikit banyak, sepak bola dan hiruk pikuk politik selalu ada sejarah dan hubungan panjang.

Sebagai anak bola, banyak andai-andai di kepala yang berasal dari pertanyaan klasik; kapan ya kita tampil (lagi) di Piala Dunia? Meski bukan tampil dengan nama Indonesia, toh anak-anak bangsa kita ternyata pernah mengisi skuad Johannes van Mastenbroek di Piala Dunia 1938. Keberangkatan tim ini didukung NIVU, Nederlandcshe Indische Voetbal Unie – organisasi sepakbola di bawah naungan pemerintah kolonial Belanda. Ternyata tidak mendapat restu PSSI yang didirikan 8 tahun sebelumnya. FIFA sendiri kemudian lebih mengakui NIVU ketimbang PSSI.

Minggu, 5 Juni 1938, mereka mencatat sejarah sebagai tim Asia pertama yang berlaga di Piala Dunia. Meski babak belur dihajar Hongaria, namun mampu menghibur 10.000 penonton yang memadati Stadion Velodrome di kota Reims, Perancis. Sejumlah catatan menunjukkan, para pemain Hindia Belanda berusia sekitar 25 tahun. Mereka kelahiran antara tahun 1912 dan 1916. Hanya seorang yang kelahiran 1909, yaitu Hans Taihuttu, pemain asal klub VIOS Batavia. Karena posturnya pendek-pendek, walikota Reims bahkan berkelakar, “”Saya seperti melihat 22 pesepakbola Hungaria dikerubuti 11 kurcaci.”

Mari kembali merenung. Sepertinya sepak bola kita tak akan pernah seperti Brasil dan Jerman.  Kalau kita menang, kadung keliru mengapa kita menang. Apalagi saat kalah, tak pernah paham mengapa bisa kalah. Kalau mengacu pada relevansi prestasi sepak bola dengan kemajuan ekonomi, harusnya dibuat bingung dengan Bosnia-Herzegovina yang baru saja pulih dari perang saudara. Bahkan kita tak pernah mengoreksi diri, sampai-sampai puluhan pelatih ditugaskan menangani timnas kita. Seolah-olah mereka punya sihir yang nyata.

Brasil versus Jerman, Prabowo versus Jokowi. Tuhan menjadi begitu dekat. Siapa saja bisa menjadi pendukung. Masing-masing merayu-Nya, berharap Tuhan ada di pihaknya. Ia tak akan bingung hanya karena rayuan hamba-Nya.  Ia hanya menganugerahkan kemenangan bagi semua pihak.

Kita kadang mengenal kemenangan secara monoton; bahwa kemenangan adalah mencetak gol dan kalah adalah kebobolan sebanyak-banyaknya. Bahwa kemenangan adalah menangnya capres A dan kekalahan adalah capres B.  Bukankah hidup itu kata kerja? Hidup itu pergerakan. Jalan. Berputar. Lari. Mundur.

Lupakan soal keberpihakan Tuhan. Mungkin di ramadan ini ada satu renungan nyata; Dari presiden ke presiden, kita adalah penonton abadi piala dunia.

Ali Zaenal

Penafsir ruang dan waktu.

Tinggalkan Balasan