Nama merupakan hal yang pasti dimiliki oleh setiap orang dan rasanya hampir tak mungkin seseorang tidak memiliki nama. Biasanya nama seseorang terdiri paling sedikit dari satu suku kata. Sering kita jumpai nama orang-orang “dulu” hanya terdiri dari satu suku kata, seperti nama paman, kakek, kakek buyut, dan satu generasi di atas kakek buyut saya pun hanya memiliki satu suku kata. Baru generasi saya yang menggunakan lebih nama lebih dari dua suku kata, keponakan saya memiliki nama dengan lima suku kata.
Nama indentik dengan siapa dan di mana ia berasal, dari kelas strata sosial dan agama yang dianut memengaruhi pemberian nama seseorang. Seorang Jawa atau Sunda dengan nama turunan Raden sudah pasti ia berasal dari kalangan menak (Bangsawan), ataupun seorang yang memiliki gelaran Teuku atau Cut/Po Cut dipastikan berdarah Aceh, ataupun nama identik dari suatu suku seperti Meutia dan Keulama yang dipakai oleh anak perempuan di keluarga saya. Nama depan Muhammad, Abdullah, Abdul, hampir dipastikan yang memiliki nama tersebut adalah seorang Muslim. Fransiskus, Theodore, Abraham sebagian besar dipakai oleh orang-orang yang beragama Nasrani. Nama-nama dari orang Minang juga memiliki khas tersendiri, bahkan ada yang bilang jika namanya kebarat-baratan dan Muslim bisa ditebak dia orang Minang, dan juga gemar menamai anak laki-laki dengan akhiran -zul dan akhiran -niar untuk anak perempuannya. Seperti nama kenalan saya Zalzul dan Yusniar. Beberapa contoh nama Barat bukan lagi dominasi nama-nama dari suatu bangsa dan agama tertentu, semisal David, Jack, Tommy, dan sebagainya.
Kadang saya juga menemukan nama-nama untuk bayi diambil dari tren nama pemain sinetron yang sinetronnya terkenal semisal nama Farel. Untuk nama Jawa sudah bisa ditebak vokal suku kata yang didominasi dengan vokal ‘O’. Cerita tentang nama-nama di atas hanya bagian pembuka untuk bahasan tentang nama Tionghoa yang memiliki sejarah nama yang menurut saya cukup kompleks, di mana nama-nama yang mereka gunakan berubah, diubah, hilang, diganti kemudian menjadi tren. Dan kisah-kisah tentang nama Tionghoa yang saya dapat dari orang-orang yang saya kenal. Salah satu contoh, teman saya bernama Melky, asli Tionghoa-Indonesia bermarga Hong (洪) atau Ang dalam dialek Hokkian tapi saya panggil dia dengan nama Cina, De Wen (德文) atau Tik Bun dalam dialek Hokkian.
Nama dalam Kartu Tanda Penduduk dan dokumen resmi lainnya ditulis dengan nama Melky tapi nama orang tuanya masih menggunakan nama Tionghoa. Mungkin sebahagian orang merasa bingung kenapa satu orang memiliki beberapa nama dan kenapa nama orang tua berbeda dengan nama anak secara bahasa. Hal ini tidak lepas dari dinamika politik di Indonesia, juga perpaduan budaya. Contoh lain ketika saya masih berkuliah dalam suatu seminar seseorang ada yang bernama Sakiman, nama itu kalau kita dengar adalah nama Jawa tapi ketika melihat rupa ia adalah seorang Tionghoa. Karena hal itu salah seorang pembicara menceritakan dulu ada ketentuan atau anjuran untuk mengganti nama Cina menjadi nama Indonesia sebagai proses asimilasi warga negara Indonesia “keturunan asing”.
Sebagian orang Tionghoa tidak mengerti atau belum paham betul dengan bahasa Indonesia tentang nama-nama yang umum dipakai. Maka orang tua si anak menyerahkan pemberian nama kepada petugas pembuat akta kelahiran dan jadilah nama-nama yang dibuatkan menurut selera dan pengetahuan nama dari si pembuat akta kelahiran, sebagai mana nama seperti Sakiman di atas.
Tionghoa Perantauan atau Hua Qiao 华侨 (Hoakiao dalam dialek Hokkian) yang datang ke Nusantara sudah jelas menggunakan nama asli seperti nama yang memang berbahasa Tionghoa dan tetap memberikan nama-nama Tionghoa kepada generasi selanjutnya, misalnya Souw Beng Kong, Tan Sin Ko, Soe Hok Gie, Njoo Lay Wa, Tan Tjeng Bok, dan lainnya. Tulisan ini mencoba untuk sedikit menjelaskan tentang evolusi nama-nama Tionghoa khususnya yang ada di Indonesia yang saya pikir cukup menarik untuk dibahas. Nama-nama orang Tionghoa juga yang berbau Belanda. Saya dan teman yang hobi menjelajah kuburan menemukan nisan-nisan Kuburan Cina dengan nama-nama yang unik percampuran marga Tionghoa dan nama Belanda, seperti Helena Van Der Ie, Ny. J. TH. TH. Van Der Ie (Thio Ka Nio) waktu menjelajah Kuburan Cina Kebon Nanas di Jatinegara. Nama orang-orang Tionghoa di Indonesia kebanyakan bunyinya adalah nama dari dialek Hokkian, walaupun ada juga dari dialek lain seperti dialek Hakka dan Thiociu, tergantung dari daerah mana mereka berasal. Misal dalam dialek Hokkian marga Huang (黄)disebut dengan oey (baca = Ui) dan dalam dialek Konghu atau Kanton dibaca Wong. Kuburan juga bisa menjadi salah satu sumber sejarah dan juga sumber bukti otentik tentang nama-nama Tionghoa yang pernah beredar
Dari sedikit penjelasan di atas, saya mencoba untuk menelusuri perubahan nama-nama masyarakat Tionghoa Indonesia dari mulai zaman Kolonial, zaman kemerdekaan, hingga ke zaman yang masih kita sebut zaman reformasi, hingga sekarang yang entahlah. Kebijakan mengganti nama Cina menjadi nama Indonesia juga membuat nama Tionghoa menjadi “hilang”, kehilangan nama dan kehilangan identitas karena sebagian keturunan Tionghoa yang saya kenal juga kadang hanya mengetahui marganya saja tanpa memiliki nama Tionghoa. Bahkan ada yang sudah tidak tahu lagi asal marga leluhurnya. Dalam tulisan ini saya mencoba untuk membuat fase jenis nama-nama Tionghoa pernah dan masih dipakai di kalangan masyarakat Tionghoa Indonesia sampai saat ini.
Pertama, nama dalam bahasa Tionghoa paling sedikit memiliki dua suku kata dengan kata pertama berupa Marga dan kata kedua adalah nama yang diberikan, misal seseorang bernama Huang Xie 黄歇 marganya adalah Huang 黄 dan namanya adalah Xie 歇, dan kebanyakan nama mempunyai tiga suku kata, misal Zhang Zhi Yi 张志义, Jiang Jie Shi 蒋介石, Zhong Wan Xue种万学. Ada juga yang lebih dari tiga suku kata, empat suku kata. Karena marga yang disandang memiliki dua suku kata seperti Zhuge Liang 诸葛亮, Sima Qian司马迁, juga marga-marga orang Manchu dan nama orang-orang dari suku minoritas yang dipindahkan bunyinya ke dalam bahasa Mandarin yang sulit diucapkan dalam bahasa asli, sehingga dicari padanan kata yang mirip bunyi aslinya seperti Niuhoru menjadi Niu Hu Lu 钮祜禄, Aisin Gioro menjadi Ai Xin Jue Luo 爱新觉罗, dan juga marga orang Mongol seperti Borjigit menjadi Bo Er Ji Ji Te博尔济吉特.
Nama tengah dalam tiga suku kata dulu tidak asal diberi, nama tengah dari satu generasi dan generasi lainnya, sebelum dan setelahnya memiliki peran sendiri sebagai penanda generasi yang disebut (Bei 辈). Jadi dalam suatu keluarga besar dengan nama saja kita tahu siapa dia. Setingkat dengan Kakek atau dengan Ayah bisa diketahui dari nama. Misalnya Kaisar terakhir Cina dari Dinasti Qing Aixin Jueluo Pu Yi 爱新觉罗•溥仪, nama anggota sekeluarga yang sama tingkat generasinya dengan Pu Yi adalah Pu Jie 溥杰, Pu Qi 溥倛, Pu Ren 溥任, dan untuk nama saudara perempuan dibedakan. Tetapi sama untuk saudara perempuan yang lain, misalnya Yun Yin韫瑛, Yun He 韫和, Yun Tao 韫涛yang merupakan nama dari kakak beradik Pu Yi dari keluarga Aixin Jueluo. Atau juga bisa dilihat dari contoh nama-nama yang saya temukan pada nisan-nisan di makam Cina yang kebanyak menggunakan dialek Hokkian.
Kedua, jika nama Tionghoa memang khas nama orang yang lahir atau berasal dari Negeri Tirai Bambu, ada juga nama-nama menarik gabungan antara nama Cina dengan nama Indonesia. Beberapa waktu lalu dalam obrolan grup Whatsapp Ngopi Jakarta (Ngojak) ada cerita Sang Playboy Tionghoa yang mati di tiang gantungan di lapangan Stadhuis (sekarang adalah Museum Fatahillah), yang bernama Oey Tamba Sia / Oeij Tambah Sia. Dalam nama tengah kata Tamba/Tambah begitu asing dalam bunyi Bahasa Tionghoa yang lebih dari dua suku kata. Sempat bingung selama beberapa lama ketika tidak mencari tahu tentang asal nama itu. Kemudian ketika membaca buku Anak Cino karya Handoko Widagdo saya menemukan titik terang tentang nama nama tengah tersebut. Jika boleh saya mengutip isi buku pada halaman 6 paragraf kedua ditulis:
Emak saya bernama See Seneng Nio. Saya sendiri juga tidak mengerti kenapa namanya Seneng Nio. See jelas adalah nama marga (she). Nio, adalah nama umum bagi perempuan Cina di Indonesia, seperti yem, nem, atau sri dalam nama Jawa. Namun bagaimana dengan nama Seneng? Apakah ada kata Seneng dalam bahasa Cina? Apakah itu diambil saja dari bahasa Jawa yang artinya ‘senang’?
Kemudian di paragrap ketiga pada halaman yang sama juga tertulis :
Mungkinkah Emak merupakan golongan Babah, di mana ada darah Jawa yang mengalir di dalamnya? Setahu saya, golongan Babah terbiasa mengambil nama Jawa atau Melayu sebagai nama tengahnya. Saudara emak pun memakai nama seperti itu, See Bibit Nio, See Sugih Hien, See Wineh Nio. Wineh adalah kata Jawa yang berarti “benih”. Namun, ketika mereka harus mengganti nama, mereka tetap memilih nama yang lain sama sekali dari nama tengah yang sudah Indonesia atau Jawa Tersebut.
Dari sumber buku yang saya baca tersebut teranglah sudah bahwa memang ada nama jenis tersebut.